Jakarta: Koaksi Indonesia bersama Yayasan Indonesia Cerah merilis laporan sintesis dampak krisis iklim di seluruh sektor kunci di Indonesia. Target dari laporan ini adalah untuk membangun kesadaran publik agar dapat memahami krisis iklim dan dampaknya dengan lebih mudah, serta dapat menjadi referensi bagi media dalam mengembangkan laporan mendalam.
Kesimpulannya jelas, sejumlah riset dalam beberapa tahun belakangan ini menyampaikan hasil yang konsisten ekonomi Indonesia termasuk yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Rumah tangga berpenghasilan rendah dan kelompok marjinal akan lebih banyak menjadi korban.
“Melalui publikasi ini, kami hendak menyampaikan Indonesia masih punya kesempatan untuk melakukan aksi iklim yang lebih ambisius sebelum dampak perubahan iklim makin buruk menimpa sektor-sektor strategis di Indonesia, seperti pangan, infrastruktur, ekonomi, dan tenaga kerja,” kata Direktur Program Koaksi Indonesia Verena Puspawardani, dalam siaran persnya, Jumat, 30 September 2022.
Sebuah penelitian pada 2021 menyebut, pada 2050 Indonesia bisa kehilangan 30-40 persen Produk Domestik Bruto (PDB) jika berada di tingkat emisi sedang hingga tinggi. Padahal, Indonesia bisa “hanya” kehilangan PDB maksimum empat persen jika mampu menjaga suhu jauh di bawah 2°C.
Penelitian tersebut sejalan dengan temuan pada 2015 yang mengungkapkan dalam skenario emisi tinggi, PDB Indonesia bisa merosot 31 persen pada pertengahan abad, dan terjun bebas hingga 78 persen pada akhir abad (2100).
Ada lagi riset yang menyoroti dampak pemanasan global pada ekonomi Indonesia yang sangat besar kecuali emisi dipangkas sesegera mungkin. Diffenbaugh dan Burke pada 2019 menyebut, PDB Indonesia per kapita mungkin sudah 15 persen lebih rendah ketimbang yang bisa tercapai tanpa pemanasan yang disebabkan ulah manusia sejak 1991.
Pertanian dan infrastruktur kena imbasnya
Panas ekstrem merupakan salah satu dampak krisis iklim yang sangat nyata di Indonesia. Hawa panas ini menurunkan hasil panen dan pangan di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam riset Kinose pada 2020. Dalam skenario tinggi emisi, merujuk pada penelitian ini, Pulau Jawa dan wilayah utara Sumatra akan mengalami penurunan panen beras sampai 20-40 persen pada 2040.
Penelitian lain pada 2018 mengatakan, kenaikan suhu berdampak langsung pada penurunan panen kakao di Indonesia. Jika suhu mencapai 27-27,5°C maka hasil panen bakal merosot 67 persen dan bahkan sering mencapai nol. Selain kakao, beras dan kopi juga akan terdampak dari kenaikan suhu dan penurunan curah hujan.
“Kompilasi data dan proyeksi dari berbagai laporan ini dapat menjadi basis bagi aksi iklim bersama oleh berbagai pihak, terutama pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, agar target-target pembangunan Indonesia menuju ekonomi hijau dapat tercapai,” jelas Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia Azis Kurniawan.
Dampak krisis iklim juga dialami sektor infrastruktur. Riset Stone pada 2021 menunjukkan, peningkatan hawa panas membuat permintaan pendingin udara lebih besar, artinya menambah beban pada jaringan listrik. Gangguan pada jaringan listrik penyedia jasa pendinginan saat terjadi gelombang panas dapat menimbulkan korban jiwa. Sejumlah penelitian juga mengungkapkan panas ekstrem akan menurunkan fungsi pembangkit listrik tenaga termal sehingga mengganggu pasokan listrik.
Selanjutnya, mengacu penelitian Dobney pada 2008, rel kereta bisa melengkung dan rusak jika suhu melampaui rancangannya. Tak hanya itu, riset Smoyer-Tomic dan tim pada 2003 mengatakan, suhu tinggi bisa menyebabkan jalan-jalan meleleh dan menempel pada ban kendaraan. Efektivitas pendinginan mesin kendaraan juga akan berkurang dan menambah kemungkinan pecahnya ban, artinya kemungkinan kecelakaan menjadi lebih tinggi.
“Berbagai bukti potensi dampak hawa panas terhadap infrastruktur ini memberikan pertanyaan: apakah perencanaan pembangunan infrastruktur kita sudah dan akan mempertimbangkan potensi dampak krisis iklim? Jika kita memperhitungkan potensi dampaknya, kita sangat dapat melakukan penghematan APBN secara signifikan melalui transisi dari kegiatan ekonomi yang menghasilkan emisi tinggi ke arah ekonomi hijau,: tambah periset senior Yayasan Indonesia Cerah, Wira Dillon.
Dipublikasikannya laporan ini bertepatan dengan rilis dokumen “Enhanced Nationally Determined Contribution Republic Indonesia 2022” pada pekan lalu. Dokumen NDC terbaru ini menjanjikan peningkatan target penurunan emisi menggunakan sumber daya dan
kemampuan sendiri dari 29 persen menjadi 31,89 persen, serta peningkatan dari 41 persen menjadi 43,2 persen bila mendapatkan dukungan internasional.
Namun tentu saja, masih banyak aspek yang perlu ditingkatkan untuk menyelaraskan peningkatan upaya menurunkan emisi yang disampaikan dalam NDC versi terkini dengan pembangunan Indonesia agar selaras dengan skenario perubahan iklim di bawah 1,5°C. Harapannya, laporan ini dapat menjadi referensi bagi aksi iklim yang lebih ambisius di masa mendatang dan terukur pencapaian targetnya.(AHL)