Usia harapan hidup menjadi salah satu indikator tingkat kesehatan masyarakat. Tinggal di lingkungan yang sehat merupakan satu cara untuk mencapai umur panjang dan tetap produktif.
KOAKSI INDONESIA—Kita pasti tahu bahwa makan dan minum bergizi, istirahat yang cukup, kelola stres, rutin berolahraga, dan cukup tidur penting dilakukan untuk menjaga kesehatan. Namun, ada satu faktor signifikan yang tidak boleh dilupakan jika kita ingin sehat dan berumur panjang, yaitu hidup di lingkungan yang sehat.
Berbicara mengenai kesehatan lingkungan berarti berbicara mengenai berbagai faktor yang memengaruhi kualitas lingkungan yang akan berpengaruh pada kesehatan kita. Faktor-faktor itu antara lain polusi udara, akses terhadap air bersih dan sanitasi, perubahan iklim, paparan zat kimia berbahaya, serta ruang hijau.
- Polusi Udara
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2021 memperkirakan paparan polusi udara menyebabkan jutaan kematian dan kehilangan tahun-tahun kehidupan sehat setiap tahunnya. Polusi udara kini diakui sebagai ancaman lingkungan terbesar bagi kesehatan manusia.
Pada 2015, WHO telah mengadopsi Resolusi A68.8, “Health and the Environment: Addressing the Health Impact of Air Pollution (WHO, 2024). Resolusi mengenai kualitas udara dan kesehatan itu mengakui polusi udara sebagai faktor risiko penyakit tidak menular seperti penyakit jantung iskemik, stroke, penyakit paru obstruktif kronis, asma, dan kanker serta beban ekonomi yang ditimbulkannya (WHO, 2021).
Polusi udara baik di dalam rumah maupun di lingkungan sekitar disebabkan oleh proses pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna yang menghasilkan partikulat (partikel yang sangat kecil yang berisiko terhadap kesehatan). Misalnya, aktivitas rumah tangga memasak dan memanaskan makanan menggunakan minyak tanah dan kayu bakar dapat mengeluarkan polutan yang menurunkan kualitas udara dalam rumah. Sementara pembakaran suhu tinggi pada kendaraan, industri, dan fasilitas pembangkit listrik berkontribusi terhadap polusi udara di lingkungan sekitar.
Salah satu polutan yang paling banyak digunakan sebagai indikator untuk menilai dampak kesehatan akibat paparan polusi udara adalah partikulat (particulate matter [PM]). WHO menetapkan PM 2,5 dan PM 10 sebagai polutan yang paling berisiko terhadap kesehatan. PM mampu menembus jauh ke dalam paru-paru dan memasuki aliran darah yang menyebabkan dampak kardiovaskular (penyakit jantung iskemik), serebrovaskular (stroke), dan pernapasan. Paparan jangka panjang dan jangka pendek terhadap partikulat ini dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular dan pernapasan. Paparan jangka panjang juga dikaitkan dengan dampak perinatal yang merugikan dan kanker paru-paru.
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Air Quality Life Index (AQLI) 2023, Indonesia bersama-sama India, Tiongkok, Pakistan, Bangladesh, dan Nigeria menyumbang tiga perempat beban polusi udara global karena tingkat polusi yang tinggi dan jumlah penduduk yang besar.
Sumber yang sama menyatakan, hampir seluruh dari 673,7 juta penduduk Asia Tenggara tinggal di daerah dengan polusi partikulat halus yang dianggap tidak aman oleh WHO. Polusi ini memangkas harapan hidup rata-rata orang Asia Tenggara hingga 1,6 tahun, dibandingkan dengan harapan hidup apabila mengikuti pedoman WHO. Di beberapa daerah yang paling tercemar, penduduk kehilangan harapan hidup hingga 3,5 tahun.
Berdasarkan AQLI 2023 itu, konsentrasi PM2,5 tahunan Indonesia sebesar 18,8 µg/m3. Apabila konsentrasi itu dapat diturunkan hingga sesuai dengan standar nasional sebesar 15 µg/m3, usia harapan hidup penduduk Indonesia akan bertambah 0,4 tahun. Sementara apabila sesuai dengan standar WHO sebesar 5 µg/m3, usia harapan hidup penduduk Indonesia akan meningkat 1,4 tahun.
- Akses terhadap Air Bersih dan Sanitasi
Ketersediaan air bersih dan sanitasi yang baik membuat masyarakat dapat menerapkan praktik hidup bersih dan sehat. Praktik ini tidak hanya mencegah penyakit diare, tetapi juga infeksi saluran pernapasan akut dan berbagai penyakit tropis terabaikan (WHO, 2023).
Sumber yang sama menyebutkan, pada 2022, secara global, setidaknya 1,7 miliar orang menggunakan sumber air minum yang terkontaminasi tinja. Kontaminasi mikroba pada air minum akibat kontaminasi tinja menimbulkan risiko terbesar terhadap keamanan air minum. Air minum yang terkontaminasi mikroba dapat menularkan penyakit seperti diare, kolera, disentri, tifus, dan polio. Air minum yang terkontaminasi mikroba juga diperkirakan menyebabkan sekitar 505.000 kematian akibat diare setiap tahun.
Selain itu, sekitar 1 juta orang diperkirakan meninggal setiap tahun akibat diare yang disebabkan oleh air minum, sanitasi, dan kebersihan tangan yang tidak aman. Sebenarnya, sebagian besar diare dapat dicegah. Oleh karena itu, kematian 395.000 anak berusia di bawah 5 tahun setiap tahun dapat dihindari apabila faktor risiko ini ditangani dengan baik. Ketidaktersediaan air mungkin menjadi penyebab mencuci tangan bukanlah prioritas, sehingga menambah kemungkinan diare dan penyakit lainnya.
Baca Juga: Hari Zoonosis Sedunia: Pengingat Tahunan untuk Menjaga Lingkungan Demi Kesehatan Masyarakat
Bagaimana dengan Indonesia? Kematian akibat diare dan tengkes (stunting) pada anak dikaitkan dengan layanan air, sanitasi, dan kebersihan (water, sanitation, hygiene [WASH]) yang buruk. Laporan kemitraan global untuk air dan sanitasi (Sanitation and Water for All, 2022) menyebutkan, setiap tahun, 115.000 anak di bawah usia 5 tahun meninggal di Indonesia dengan pneumonia dan diare sebagai penyebab utamanya. Sebanyak 60% kematian akibat diare dapat dikaitkan dengan layanan air, sanitasi, dan kebersihan yang buruk. Dengan 7 juta anak yang mengalami tengkes (stunting) di Indonesia, tengkes bertanggung jawab atas 31% kematian pascaneonatal dan 25% kematian anak setiap tahunnya, dengan sanitasi yang buruk menjadi salah satu penyebab utamanya.
Masih dari sumber yang sama, survei gizi oleh UNICEF telah menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di rumah tangga yang tidak memiliki akses ke air minum yang diolah dengan aman dan tempat buang air yang lebih baik memiliki risiko tengkes tiga kali lebih tinggi. Penyediaan layanan air, sanitasi, dan kebersihan untuk rumah tangga berisiko tinggi ini dapat mempercepat pencapaian pengurangan prevalensi tengkes dari 24,4% pada 2021 menjadi 14% pada 2024.
Akses terhadap air bersih dan sanitasi merupakan kebutuhan manusia yang paling mendasar dan menjadi tujuan keenam pembangunan berkelanjutan (SDG). Sejalan dengan tujuan itu, Pemerintah Indonesia melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024, berusaha mewujudkan 100% akses air minum dan sanitasi. Kini, capaian cakupan layanan air minum telah mencapai 91,05% dan peningkatan akses sanitasi sebesar 80,92%.
- Perubahan Iklim
Dilansir dari Laporan Lancet Countdown 2022, perubahan iklim menyebabkan peningkatan suhu global serta frekuensi, intensitas, dan durasi gelombang panas. Paparan terhadap panas ekstrem dikaitkan dengan cedera ginjal akut; dampak buruk pada kehamilan, pola tidur, kesehatan mental; memburuknya penyakit kardiovaskular dan pernapasan yang mendasarinya; serta peningkatan kematian yang tidak disebabkan oleh kecelakaan dan terkait dengan cedera.
Paparan terhadap panas ekstrem juga memengaruhi kesehatan secara tidak langsung dengan membatasi kapasitas orang untuk bekerja dan berolahraga. Orang lanjut usia, wanita hamil, bayi baru lahir, orang yang kurang mampu secara sosial, dan orang yang bekerja di luar ruangan berisiko lebih tinggi.
Masih dari sumber yang sama, kematian tahunan terkait panas pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun meningkat sekitar 68% antara tahun 2000–2004 dan 2017–2021.
Penelitian lain mengenai dampak perubahan iklim terhadap harapan hidup dengan menggunakan data dari 191 negara yang mencakup periode 1940–2020 yang telah diterbitkan di Jurnal PLOS Climate (2024) menunjukkan beberapa temuan. Pertama, jika suhu rata-rata tahunan meningkat sebesar 1°C, harapan hidup akan menurun sebesar 0,44 tahun atau 5 bulan 1 minggu. Kedua, jika indeks perubahan iklim gabungan (memperhitungkan suhu dan curah hujan) meningkat sebesar 10 poin, harapan hidup akan menurun sebesar 0,50 tahun atau enam bulan. Ketiga, perubahan iklim secara tidak proporsional mengurangi harapan hidup perempuan lebih besar daripada harapan hidup laki-laki.
Studi lain, Dampak Perubahan Iklim di Indonesia: Sebuah Tinjauan Risiko Perubahan Iklim dan Kerugian Ekonomi Maupun Sosialnya memperlihatkan kaitan antara perubahan iklim dengan penyakit dan kematian. Studi yang dirilis pada 2022 oleh Koaksi Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah ini menyatakan bahwa sebagai negara tropis, Indonesia amat rentan mengalami hawa panas dan kelembapan ekstrem yang akan berdampak, salah satunya pada kesehatan manusia. Suhu tinggi dapat menyebabkan penyakit dan kematian. Makin tinggi suhu makin tinggi kejadian penyakit yang berkaitan dengan peredaran darah, pernapasan, penyakit menular, dan gangguan mental. Selain itu, tingginya suhu yang disebabkan oleh emisi secara terus-menerus akan memperbesar terjadinya kebakaran hutan di Indonesia yang disertai dengan konsekuensi kesehatan.
- Paparan Zat Kimia
Sebuah penelitian mengenai polutan zat kima yang diterbitkan di Jurnal Environment International (2021) menyatakan, manusia terpapar zat kimia melalui beberapa cara. Pertama, penggunaan langsung bahan kimia dengan cara yang tidak aman yang diketahui atau tidak diketahui. Misalnya, bahan kimia di tempat kerja, bahan tambahan makanan, dan pengawet. Kedua, tinggal di lingkungan yang tercemar atau di area yang terkena dampak polutan. Misalnya, di dekat lokasi industri lama atau di kota-kota besar. Ketiga, konsumsi bahan makanan yang dipanen dari lingkungan yang terkontaminasi.
Penelitian tersebut memaparkan beberapa hasil penelitian terdahulu yang menunjukkan efek negatif bahan kimia terhadap kesehatan manusia. Penelitian oleh organisasi nonprofit kesehatan lingkungan Blacksmith Institute menunjukkan paparan polutan bahan kimia melalui tanah, air, dan udara (baik di dalam maupun di luar ruangan) mengakibatkan sekitar 8,4 juta kematian di negara-negara berpendapatan per kapita rendah dan menengah. Estimasi selanjutnya oleh The Lancet Commission on Pollution and Health menyebutkan jumlah korban mencapai 9 juta kematian dini, sementara US National Institutes of Health menyebutkan angka tersebut setinggi 13 juta per tahun.
Salah satu zat kimia yang digunakan secara luas dan telah menimbulkan dampak negatif pada kesehatan manusia adalah timbal. WHO (2024) menyatakan timbal digunakan dalam banyak produk, termasuk pigmen, cat, solder, kaca patri, gelas kristal timbal, amunisi, glasir keramik, perhiasan, mainan, beberapa kosmetik tradisional, dan beberapa obat tradisional. Paparan timbal menyebabkan lebih dari 1,5 juta kematian secara global pada tahun 2021, terutama disebabkan oleh efek kardiovaskular.
Baca Juga: Hari Jamu Nasional: Menyelisik Peluang Green Jobs dalam Herba Indonesia
Dalam sumber itu juga disebutkan dampak negatif timbal pada anak-anak. Anak-anak kecil sangat rentan terhadap keracunan timbal karena dengan dosis yang sama, anak-anak dapat menyerap timbal hingga 4–5 kali lebih banyak daripada orang dewasa. Konsentrasi timbal dalam darah serendah 3,5 µg/dL saja dapat mengakibatkan penurunan kecerdasan, kesulitan perilaku, dan masalah belajar pada anak. Selain itu, paparan tanah dan debu yang terkontaminasi timbal akibat daur ulang baterai dan penambangan telah menyebabkan wabah keracunan timbal massal, termasuk kematian pada anak-anak kecil, di beberapa negara.
Penggunaan bahan kimia dalam kehidupan sekarang rasanya sulit dihindari. Oleh karena itu, kita harus memanfaatkannya secara benar dan aman.
- Ruang Terbuka Hijau
Sebuah penelitian mengenai kaitan ruang hijau dengan mortalitas di kota-kota Eropa telah dipublikasikan di The Lancet Planetary Health (2021). Studi ini berfokus pada penduduk dewasa berusia 20 tahun ke atas di 978 kota dan 49 kota besar di 31 negara Eropa. Hasil studi terhadap 169.134.322 responden ini menunjukkan sejumlah besar kematian dini di kota-kota tersebut dapat dicegah dengan meningkatkan paparan ruang hijau sekaligus berkontribusi pada kota yang berkelanjutan, layak huni, dan sehat.
Penelitian lain yang dilansir dari Kompas.id menyoroti kaitan antara usia biologis (usia organ tubuh) dan tempat yang banyak terdapat ruang hijau. Penelitian ini melibatkan lebih dari 900 orang yang tinggal di empat kota di Amerika Serikat, yaitu Birmingham, Chicago, Minneapolis, dan Oakland.
Selama 20 tahun, para peneliti mengamati ruang hijau di sekitar peserta menggunakan citra satelit. Dengan demikian, para peneliti dapat mengukur proporsi tanaman hijau dan keberadaan taman-taman besar di sekitar rumah peserta penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan orang yang tinggal dekat dengan ruang hijau rata-rata 2,5 tahun lebih muda secara biologis daripada mereka yang tinggal di daerah dengan lebih sedikit tanaman hijau.
Baca Juga: Mengenal Bangunan Hijau di Indonesia Beserta Kriterianya
Bagaimana dengan Indonesia? Sebuah studi yang menyoroti hubungan antara ruang terbuka hijau dan tingkat kejadian penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung iskemik, diabetes melitus, artritis reumatoid, dan penyakit ginjal kronis di Indonesia telah dipublikasikan di Jurnal Internasional Urban Forestry & Urban Greening (2022). PTM dipilih karena jumlahnya terus meningkat hingga telah menjadi penyebab utama kematian, terutama untuk kelompok usia menengah.
Data studi ini berupa kejadian PTM di tingkat provinsi selama 15 tahun (penyakit jantung iskemik, diabetes melitus, artritis reumatoid, dan penyakit ginjal kronis), dikaitkan dengan data tutupan lahan hijau dan pengindraan vegetasi yang diperoleh dari satelit (NDVI) dan disesuaikan dengan variabel sosial dan ekonomi dalam statistik multilevel.
Hasil penelitian menunjukkan, makin terpapar dengan ruang terbuka hijau makin mengurangi risiko terjadinya PTM.
Tiga penelitian di atas yang dilakukan di benua berbeda menunjukkan betapa pentingnya ruang terbuka hijau bagi kesehatan manusia. Secara spesifik hasil penelitian tersebut memang tidak menyebutkan jumlah pertambahan usia harapan hidup. Namun, yang paling penting dalam kehidupan kita adalah hidup sehat agar tetap produktif sehingga tidak “membebani” keluarga, masyarakat, dan negara.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang yang mensyaratkan ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. UU ini seharusnya bisa menjadikan warga kota sehat dan produktif.
Beberapa studi di atas menunjukkan betapa pentingnya lingkungan yang sehat bagi kehidupan kita. Oleh karena itu, jangan tunda lagi untuk memelihara lingkungan kita demi kesehatan dan kesejahteraan hidup di masa sekarang hingga masa depan bahkan hingga anak cucu kita.