Jakarta, 29 Agustus 2024–Dua bulan sebelum masa jabatannya berakhir, Presiden Joko Widodo melantik Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menggantikan Arifin Tasrif. Dalam rapat perdana dengan Komisi VII DPR hari ini, Kamis (29/8), dengan jabatan barunya sebagai Menteri ESDM, organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Transisi Energi Berkeadilan mendesak agar Menteri Bahlil memprioritaskan kebijakan energi terbarukan (ET).
Desakan ini disampaikan mengingat Bahlil memiliki sejumlah catatan terkait kebijakan di sektor energi. Pertama, peran Bahlil pada sektor energi fosil cukup besar dengan kecenderungannya yang banyak mendorong hilirisasi bahan mineral menggunakan energi fosil untuk PLTU industri. Yang terbaru, Bahlil memberi rekomendasi agar badan usaha milik organisasi massa keagamaan memperoleh izin usaha pertambangan khusus (IUPK) batu bara dari Kementerian ESDM.
Kedua, optimalisasi kerja Bahlil sebagai Menteri ESDM yang baru dipertanyakan, mengingat masa pemerintahan Jokowi akan berakhir kurang dari dua bulan. Ketiga, sektor yang diurusi terkait mineral dan batubara, sangat rawan konflik kepentingan dengan latar belakang Bahlil sebagai pengusaha batu bara sekaligus ketua umum partai politik.
Meski dalam pernyataannya, Bahlil menyebut bahwa potensi konflik kepentingan tersebut dapat dihindari. Namun, perlu pembuktian, misalnya dengan menunjukkan keberpihakan pada pembangunan ET yang saat ini sangat perlu diprioritaskan. Perkembangan energi terbarukan di Indonesia sangat memprihatinkan, dengan hanya mencapai 13,1% bauran energi, dari target 23% tahun depan.
Plt. Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim ICEL, Syaharani berpendapat, potensi konflik kepentingan bisnis batu bara dapat menghambat komitmen energi terbarukan yang lebih ambisius. “Kecenderungan keberpihakan pada bisnis energi fosil akan menghambat ambisi transisi energi Indonesia. Dalam rapat perdana ini, Kementerian ESDM harus menegaskan bahwa Indonesia memang berkomitmen untuk akselerasi energi terbarukan. Karena, untuk sejalan dengan target 1,5°C, Indonesia perlu setidaknya meningkatkan bauran energi terbarukan hingga 60% pada 2030”.
Apalagi, semua mata saat ini tertuju pada pada Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), karena akan menjadi penentu masa depan transisi energi di Indonesia. Sebagaimana diketahui, pemerintah berencana menurunkan target bauran ET dalam RPP KEN menjadi 19–22% pada tahun 2030. Saat ini, RPP KEN hanya menargetkan 36-40% bauran ET pada 2040.
Menurut Agung Budiono, Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH, keputusan Presiden Jokowi untuk mengganti Menteri ESDM hanya dua bulan sebelum akhir masa jabatannya menunjukkan ada persoalan mendesak yang harus segera diselesaikan oleh menteri baru.
“Selama ini, rekam jejak Pak Bahlil menunjukkan kecenderungan untuk lebih mengutamakan energi fosil. Namun, kita berharap bahwa isu mendesak ini terkait penetapan RPP KEN tanpa mengurangi target bauran ET, yang menjadi pondasi krusial bagi arah transisi energi kita. Dari segi ekonomi, hal ini akan memberikan manfaat jangka panjang bagi Indonesia,” ujar Agung.
Di akhir masa jabatannya, Presiden Jokowi seakan lupa dengan komitmen transisi energi berkeadilan yang disampaikan di periode pertama pemerintahannya. RPP KEN seakan menjadi legitimasi turunnya komitmen ET menjadi 17-19% pada 2025 dan pemanfaatan energi yang tidak berkeadilan. Naiknya Bahlil dan desakannya terhadap pengesahan RUU EBET seakan memberi lampu hijau untuk melenggangkan aturan yang berpihak pada kepentingan tertentu, bukan rakyat.
Pengkampanye Energi Terbarukan dari Trend Asia, Beyrra Triasdian mengatakan, “Kedua rancangan regulasi baik RPP KEN maupun RUU EBET yang digadang-gadang akan mendorong akselerasi energi terbarukan, nyatanya merupakan solusi palsu yang justru memperpanjang pemanfaatan sumber energi fosil. Dampaknya, pemerintah harus mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar untuk subsidi dan dukungan finansial maupun non finansial lainnya untuk energi fosil.”
Anggi Prayoga Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI) menyoroti kebijakan RPP KEN dan RUU EBET masih menempatkan hutan dan kawasan hutan sebagai komoditas. FWI memproyeksikan, jika kebijakan co-firing tetap diberlakukan maka ada 4,65 juta hektare hutan alam Indonesia yang rusak melalui pembangunan Hutan Tanaman Energi. Selain itu, pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan energi panas bumi menunjukan ketidakadilan, di saat masyarakat adat masih dieksklusi dari kawasan konservasi.
Berdasarkan studi Institute for Essential Services Reform (IESR), deep decarbonization of Indonesia’s energy system menunjukkan bahwa secara teknis dan ekonomis murni, Indonesia bisa menyuplai kebutuhan energi dengan 100% energi terbarukan pada 2050 dengan biaya sistem energi yang kompetitif. Kebutuhan investasi dan biaya sistem memang akan meningkat untuk membantu integrasi energi terbarukan menuju 2030, namun antara 2030–2050 akan jadi lebih murah akibat makin turunnya biaya teknologi energi terbarukan.
Studi yang dilakukan Koaksi Indonesia memperlihatkan, terdapat potensi lapangan kerja langsung sebesar 432 ribu tenaga teknik pada 2030, dan 1,12 juta pada 2050.
Menurut Indra Sari Wardhani, Plt. Direktur Program Koaksi Indonesia, “Beralih dari energi fosil ke energi terbarukan tidak hanya berkontribusi terhadap lingkungan maupun perubahan iklim, tetapi juga semakin membuka lapangan pekerjaan hijau. “Tidak hanya itu, berkembangkanya inisiatif bisnis di tingkat global yang berkomitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan pada rantai pasoknya, akan memberikan dorongan yang kuat bagi industri dan pasar hijau di Indonesia.”
Pelantikan Bahlil menjadi menteri ESDM di akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo, sekali lagi menunjukan ketidakseriusan pemerintah untuk mendorong pengembangan energi terbarukan. “Seharusnya pemerintah melakukan evaluasi dan berbenah diri pada akhir periode pemerintahan untuk mendorong proses transisi energi yang lebih cepat dan adil dengan membuka partisipasi publik dalam proses pembangunan dan operasionalnya. Pemerintah bisa mempercepat capaian bauran energi terbarukan nasional dengan mengajak publik berpartisipasi dalam pembangunan pembangkit energi skala komunitas.” kata Hadi.