Desember 2019 lalu, Indonesia mengirimkan delegasi untuk memperjuangkan kepentingan dan menunjukkan aksi serta capaian dalam Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of Parties (COP) 25 di Madrid, Spanyol. Jalur negosiasi yang diperjuangkan delegasi Indonesia di konferensi ini membahas implementasi dari Paris Agreement (COP 21). Sebelumnya, pada COP 21 di Paris tahun 2015 lalu, Indonesia melalui Presiden Joko Widodo menyatakan komitmennya menggunakan energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025 nanti. Indonesia juga menyatakan komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 29 persen dengan upaya Indonesia sendiri dan 41 persen dengan bantuan Internasional.
Di COP 25, Paviliun Indonesia menjadi wahana diplomasi Indonesia untuk menunjukkan sejumlah aksi yang dilakukan oleh pemerintah, organisasi masyarakat sipil, pelaku usaha, hingga masyarakat di tingkat tapak untuk mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global yang memicu perubahan iklim. Komitmen Indonesia tersebut diperkuat melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Republik Indonesia yang pertama pada bulan November 2016 dengan ditetapkannya target unconditional sebesar 29 persen dan target conditional sampai dengan 41 persen dibandingkan skenario business as usual (BAU) pada tahun 2030.
Secara nasional, target penurunan emisi pada tahun 2030 berdasarkan NDC adalah sebesar 834 juta ton CO2e pada target unconditional (CM1) dan sebesar 1,081 juta ton CO2e pada target conditional (CM2). Demi memenuhi target tersebut, telah dilakukan berbagai aksi mitigasi pada semua sektor oleh berbagai sektor yang dilakukan secara nasional. Salah satu upaya yang juga tak kalah penting dalam mitigasi dampak perubahan iklim adalah dengan mengajak dan mengedukasi masyarakat untuk ikut memantau serta mendorong tercapainya target penurunan emisi, khususnya di Indonesia.
Hal inilah yang dilakukan oleh Koaksi Indonesia melalui diskusi publik RuangAksi ke 19, yang telah diselenggarakan pada Kamis, 30 Januari 2020 lalu. Menghadirkan narasumber yang mewakili institusi serta organisasi yang terlibat langsung dalam upaya mitigasi perubahan iklim, diantaranya adalah Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Henriette Imelda, Regional Advocacy Officer Green and Inclusive Energy Hivos Southeast Asia, Elok Faiqotul Mutia, Direktur Eksekutif Enter Nusantara dan Kevin Alexander, Periset Koaksi Indonesia. Dimoderasi oleh Eva Fitrina, Direktur Operasional dan Keuangan Koaksi Indonesia, diskusi ini mengangkat tema: “Pesan dari Madrid untuk Masa Depan Penurunan Emisi di Indonesia”.
Sebagai perwakilan dari KLHK yang mengikuti agenda COP 25 di Madrid, Ruandha menyampaikan bahwa COP Madrid merupakan kelanjutan dari Paris Agreement yang menyatakan bahwa semua negara memiliki posisi yang sama dalam berpartisipasi pada upaya penurunan perubahan iklim, baik dari sisi jumlah penurunan tonase emisi karbon juga kontribusi pendanaannya. Ruandha juga menyampaikan salah satu capaian bagi Indonesia di COP 25 lalu adalah dimasukkannya isu ocean dalam diskusi perubahan iklim yang dihadiri 196 negara tersebut.
Terkait dengan penghitungan emisi, Ruandha menyampaikan idealnya pemerintah daerah memasukan data ke pemerintah nasional sehingga data tersebut dikolektif untuk menjadi data nasional. “Saat ini cara menghitungnya dari data nasional misalnya dari Pertamina, transportasi, hutan dan lain-lain. Saat ini kondisinya dari 29 persen sudah mencapai 24 persen untuk target di tahun 2030. Tapi karena terjadinya kebakaran hutan maka emisi Indonesia naik 19-20 persen. Pencegahan kebakaran hutan adalah prioritas nomor satu untuk menurunkan emisi di negara ini” tegas Ruandha.
Sehubungan dengan target menjaga kenaikan suhu bumi di angka 1.5 – 2oC, Kevin berpendapat angka itu berdampak signifikan terhadap kehidupan di bumi. “Seberapa signifikannya perubahan suhu tersebut? Saat suhu bumi meningkat 2oC, akan terjadi kekeringan yang berkepanjangan, intensive wave, dan menyebabkan gagal panen sehingga bahan pokok mahal. Selain itu juga, terjadi kenaikan muka air laut yang dapat menyebabkan kebanjiran. Hal ini dapat terjadi dimana saja bukan hanya di Jakarta” ungkap Kevin.
Sedangkan menurut Imelda yang selama ini bekerja dengan masyarakat di wilayah terdepan, yang harus disadari oleh semua pihak bahwa terdapat hal-hal yang harus dilakukan terlebih dahulu untuk menurunkan emisi. “Harus disadari bahwa tidak dapat menurunkan emisi tanpa tiga hal yaitu peningkatan kapasitas, teknologi, dan pendanaan” ungkap Imelda.
Selain itu, Imelda menilai isu pendanaan merupakan isu yang paling outstanding. “Isu yang paling outstanding adalah long term finance yang didesain pada tahun 2013, yang isinya negara maju harus memobilisasi pendanaan sebesar 100 milyar dolar pada tahun 2020. Jika era Paris Agreement dimulai setelah tahun 2020, maka setelah Paris Agreement dana diperoleh dari mana? Karena pendanaan ini akan menjadi kewajiban seluruh negara” jelas Imelda.
Imelda menjelaskan pada era sebelum Paris Agreement ada perspektif bahwa negara berkembang tidak memiliki kewajiban, sedangkan era setelah Paris Agreement semua negara memiliki kewajiban kecuali negara kecil yang masuk dalam 2 kelompok. Kelompok tersebut adalah List Develop Countries yang merupakan negara terbelakang dan Small Island Developing States yaitu negara-negara pulau kecil.
(Yessi Febrianty/Coaction Indonesia)