Koaksi Indonesia sejak awal mengawal proses RUU EBET menjadi RUU ET dan menyarankan untuk hanya berfokus pada energi terbarukan sehingga substansi di luar energi terbarukan tidak dimasukkan ke Undang-Undang.
KOAKSI INDONESIA — Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) awalnya dirancang khusus untuk mendorong pengembangan energi terbarukan. Namun, justru memuat banyak pasal yang bertolak belakang dengan tujuan tersebut. Salah satunya adalah terminologi “energi baru” yang bersumber dari energi fosil dan nuklir.
Sebagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus dalam membangun ekosistem transisi energi yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan, sejak awal Koaksi Indonesia memang telah mengawal proses RUU EBET menjadi RUU ET. Koaksi Indonesia menjadi salah satu dari hanya 5 LSM yang masuk di lingkaran ESDM dan FGD rekomendasi Kementerian/Lembaga dalam RUU EBET.
Baca juga: Perkembangan Kebijakan Energi dan Kedudukan Energi Terbarukan di Indonesia Saat Ini
Menurut Azis Kurniawan, Manajer Kebijakan dan Advokasi Koaksi Indonesia, penerapan UU EBT cukup problematik karena substansi di dalamnya bertolak belakang dari energi baru yang sebetulnya tidak menggunakan teknologi yang baru dan masih menggunakan feedstock fosil.
“Turunan batu bara untuk energi baru juga tercampur dalam alinea dalam Undang-Undang tersebut. Hal ini tentunya jika digabung dengan energi baru terbarukan akan kontra produktif. Oleh karena itu, kami dari Koaksi Indonesia menyarankan untuk hanya berfokus pada energi-energi yang menggunakan teknologi baru terbarukan dalam penerapan pada Undang-undang. Poin terakhir adalah substansi di luar energi terbarukan sebaiknya tidak masuk dalam UU ini,” ujar Azis.
Kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya yang belakangan ini berada di level tidak sehat disinyalir disebabkan tingginya polusi udara. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dianggap dapat berperan sebagai payung hukum untuk menjaga kualitas udara sehat di seluruh Indonesia.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih menyuarakan aspirasi menolak “energi baru” dalam RUU EBET menyelenggarakan media briefing bertajuk “Ubah RUU EBET jadi RUU ET: Akselerasi Energi Terbarukan untuk Perangi Polusi Udara” di Jakarta, Jumat, 22 September 2023. Koalisi yang pembentukannya didorong oleh Koaksi Indonesia ini berhasil menghadirkan berbagai pihak mulai dari organisasi masyarakat sipil (CSO), akademisi, anggota DPD RI, hingga mahasiswa dalam acara itu.
Senada dengan Azis, Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, “Pemerintah dan DPR mestinya fokus saja mengatur energi terbarukan, tidak perlu lagi ditambahkan dengan energi baru yang sumbernya kita tahu dari mana. Penggunaan energi baru yang bersumber dari bahan bakar fosil justru berdampak buruk pada kesehatan jangka panjang, melalui penurunan kualitas udara.”
Sementara itu, Yulinda Adharani, Dosen Hukum Lingkungan Universitas Padjadjaran, menyoroti tujuan awal RUU ini dibuat yaitu untuk mendorong transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan. Namun, RUU EBET yang saat ini sedang dibahas antara DPR dan pemerintah masih jauh dari yang diharapkan. “Ketika Indonesia seharusnya lebih ambisius dalam mencapai target bauran energi terbarukan, rencana regulasi yang sedang disusun malah tidak sejalan dengan ambisi itu.”
Ketua BEM Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) Naufal Ammar Motota yang juga menjadi perwakilan mahasiswa menekankan bahwa komitmen dan implementasi Indonesia terhadap bauran energi terbarukan masih tidak sejalan. “Pemerintah seperti salah arah karena mencampuradukkan antara energi baru dan energi terbarukan dalam RUU EBET. Ketidakjelasan prioritas ini yang kemudian akan menjadi problematika tersendiri untuk transisi energi di Indonesia di masa depan.”
Baca juga: Prahara Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan