Bulan Suci Ramadhan sejatinya menjadi momen dimana kita belajar untuk lebih banyak mensyukuri nikmat, salah satunya adalah nikmat rezeki berupa ketersediaan makanan di meja makan dan di dalam piring kita setiap harinya. Namun, yang seringkali terjadi adalah momen ramadhan membuat orang-orang justru jauh lebih konsumtif, terutama untuk urusan makanan. Berbagai jenis makanan disiapkan atau dibeli untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang sebenarnya terbatas. Hal ini berpotensi meningkatkan jumlah makanan yang terbuang akibat terlalu banyak yang disisakan di piring makan, yang kemudian harus berujung di tempat sampah dan menjadi limbah (food waste).
Mengutip Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) definisi dari limbah makanan mengacu pada penurunan kuantitas atau kualitas makanan yang dihasilkan dari keputusan dan tindakan oleh pengecer, penyedia layanan makanan dan konsumen[1]. Makanan terbuang dalam banyak hal:
- Produk segar yang tidak sesuai dari apa yang dianggap optimal, misalnya dalam hal bentuk, ukuran dan warna, sering dibuang dari rantai pasokan selama operasi penyortiran.
- Makanan yang dekat dengan, pada atau di luar tanggal “baik dikonsumsi sebelum” sering dibuang oleh pengecer dan konsumen.
- Sejumlah besar makanan sehat yang dapat dimakan sering tidak digunakan atau ditinggalkan dan dibuang dari dapur rumah tangga dan tempat makan.
Lebih lanjut, FAO menyampaikan bahwa lebih sedikit makanan terbuang dan menjadi limbah akan mengarah pada penggunaan lahan yang lebih efisien dan pengelolaan sumber daya air yang lebih baik akan berdampak positif pada perubahan iklim dan mata pencaharian. Data FAO menyebutkan, setidaknya sepertiga dari bahan makanan yang diproduksi di seluruh dunia atau sekitar 1,3 triliun ton, menjadi food loss dan food waste. Selain itu limbah makanan menghasilkan 3,3 miliar ton karbondioksida yang mempercepat perubahan iklim global[2].
Hal ini yang seringkali luput dari perhatian kita, yaitu kenyataan bahwa sepiring makanan yang kita santap merupakan hasil dari proses yang panjang. Dimulai dari bibit, kemudian disemai dan ditanam menjadi aneka tumbuhan pangan, dipelihara, disirami dan dipupuk hingga kemudian dipanen. Bagi kita masyarakat perkotaan, proses ini masih berlanjut ke proses pengemasan, pendistribusian, penyimpanan hingga sampai di supermarket dimana kita biasa membeli bahan makanan.
Jika dikalkulasikan, maka tentu saja energi yang dihabiskan untuk sepiring makanan yang kita peroleh cukup besar, bukan? Terutama di situasi pandemi seperti saat ini, dimana ancaman krisis pangan dan kelaparan mulai menghantui banyak masyarakat di berbagai belahan dunia. Apakah fakta ini masih belum cukup menjadi alasan untuk kita tidak lagi membuang-buang makanan? Bukankah agama kita juga mengajarkan untuk menghindari tindakan yang mubazir?.
Data Barilla Center for Food & Nutrition pada 2016 menunjukkan, Indonesia sebagai pembuang makanan kedua terbanyak setelah Arab Saudi. Menurut data tersebut juga, setiap tahun, satu orang Indonesia membuang sekitar 300 Kilogram (kg) makanan. Lalu, bagaimana caranya agar kita terhindar dari perbuatan yang mubazir tersebut? Berikut beberapa tips yang penulis himpun dari berbagai sumber[3] untuk mengurangi limbah makanan (food waste) yang bisa diaplikasikan di rumah:
- Periksa ketersediaan dan kebutuhan pangan di rumah sebelum berbelanja, jika perlu buat daftar menu makanan sehingga tahu apa saja yang perlu dibeli;
- Buatlah daftar belanja yang sesuai kebutuhan untuk waktu tertentu, misal untuk satu minggu. Tidak perlu belanja terlalu banyak dalam satu waktu karena bahan pangan biasanya tidak dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama;
- Mempraktekkan metode penyimpanan yang baik dan benar, seperti mewadahi makanan secara terpisah agar tahan lebih lama. Selain itu dahulukan mengolah bahan makanan yang tanggal kadaluarsanya lebih dekat;
- Usahakan seminimal mungkin membuang sampah bahan yang tidak bisa dimakan (kulit buah, batang sayur, dan lain-lain) dan memanfaatkan sisa sampah bahan makanan menjadi pupuk kompos;
- Simpan sisa makanan di kulkas/freezer atau berikan sebagian makanan kepada orang-orang di sekitar yang membutuhkan. Selain itu, kita juga bisa memberikannya kepada hewan peliharaan atau yang terlantar, seperti kucing atau ikan di kolam;
- Mengolah kembali sisa makanan menjadi menu lain, misalnya sisa nasi dimasak menjadi nasi goreng, pisang yang terlalu matang dibuat menjadi kue, puding dan lainnya; dan
- Mengajarkan diri sendiri dan anggota keluarga untuk mengevaluasi porsi makan secara berkala. Bisa dimulai dengan mengenali makanan yang disukai dan tidak disukai karena akan berpengaruh terhadap porsi makan yang dihabiskan serta sehat tidaknya kandungan makanan (jika terlalu banyak mengandung lemak, porsi bisa dikurangi) dan lain sebagainya.
Sejatinya di bulan ramadhan yang amat berbeda kali ini, kita seharusnya bisa lebih mengendalikan hawa nafsu serta menjaga kesehatan dengan mengonsumsi makanan yang sehat secara cukup dan tak berlebihan. Beberapa dari kita mungkin punya cukup waktu untuk mengolah makanan sendiri atau bahkan memproduksi pangan secara mandiri dengan bercocok tanam sederhana, seperti menanam sendiri cabai dan tomat di rumah. Ingatlah bahwa setiap suapan makanan yang kita konsumsi punya perjalanan panjang dan dampak yang luar biasa terhadap ekosistem, lingkungan, ekonomi dan kesejahteraan petani kita. Semoga ramadhan kali ini kita lebih bijak ya.
Sumber:
http://www.fao.org/platform-food-loss-waste/food-waste/definition/en/