Dalam industri pengolahan sawit, aktivitas yang dilakukan adalah ekstraksi minyak sawit kasar dari Tandan Buah Segar (TBS). Sehingga, produk utama yang dihasilkan adalah minyak sawit kasar (Crude Palm Oil; CPO) dan minyak inti sawit (Palm Kernel Oil; PKO). Ditinjau dari neraca material umum proses pengolahan sawit, akan diperoleh produk utama sebesar 24% untuk CPO dan 2,5% untuk PKO. Sisanya adalah produk samping yaitu cangkang, serabut, janjangan kosong dan limbah cair sawit. Semua produk samping sawit dapat dikelompokkan sebagai biomassa karena potensinya yang bisa diolah lebih lanjut menjadi bioenergi. Misalnya, saat ini setiap pabrik kelapa sawit (PKS) menggunakan kombinasi cangkang dan serabut sebagai bahan bakar boiler. Uap panas yang dihasilkan boiler dimanfaatkan untuk produksi listrik. Kemudian sebagian besar listrik didistribusikan ke internal pabrik untuk mendukung proses olah. Sedangkan untuk janjangan kosong, saat ini lebih banyak digunakan sebagai bahan campuran pembuatan kompos dengan limbah cair sawit pada komposisi tertentu.
Dari segi jumlah, limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) atau yang lebih sering disingkat menjadi POME (Palm Oil Mill Effluent), memiliki angka produksi tertinggi dibandingkan dengan jumlah produk samping lainnya. Sebagai gambaran, dalam 1 ton TBS yang diolah maka dapat dihasilkan 0,6 ton POME. Untuk bisa memberikan pengolahan yang tepat, maka perlu diperhatikan karakteristik POME. Secara umum, POME yang baru dihasilkan dari pengolahan TBS biasa dikenal dengan istilah untreated or raw POME. Untreated POME diketahui memiliki kandungan organik tinggi (lihat nilai COD dan BOD di Tabel 1) dan dapat dikonversi menjadi biogas melalui sistem pengolahan tanpa oksigen (anaerob). Karakteristik inilah, didukung dengan jumlah produksi POME yang tinggi serta selalu tersedia setiap hari, yang menjadi pertimbangan utama PKS untuk membangun sistem biogas. Selain itu dari segi biaya instalasi, sistem pengolahan anaerob masih cenderung lebih murah dibanding pengolahan aerob (dengan oksigen).
Tabel 1. Karakteristik POME sebelum diolah serta nilai baku mutu sesuai peraturan
Sumber: Buku Panduan Konversi POME menjadi Biogas, Pengembangan Proyek di Indonesia hal. 8
Berdasarkan kapasitas PKS di Indonesia, rentang kapasitas pengolahan TBS bervariasi dari 30, 45 dan 60 ton/ jam. Sehingga, dalam sehari jumlah POME yang dihasilkan dapat mencapai 720 ton (asumsi densitas POME sama dengan air, 1 kg/L, kapasitas 60 ton/jam dan waktu operasional pabrik 20 jam/hari). Jumlah ini cukup besar, sehingga sangat disayangkan jika POME tidak melalui pengolahan limbah yang tepat. Jika diasumsikan efisiensi pengurangan COD (COD removal) adalah 95% dan rasio produksi metana (CH4) terhadap COD adalah 35%, maka 720 ton POME/ hari tadi akan mendekati 20.000 m3 CH4/hari. Potensi energi listrik kemudian dihitung dengan nilai kandungan energi gas CH4 yaitu 36 MJ/m3, 1 kWh sama dengan 3,6 MJ dan efisiensi gas engine 38% sehingga diperoleh 72 MWh dalam sehari.
Namun demikian, kenyataannya saat ini tidak setiap PKS memiliki sistem biogas. Padahal setiap PKS pasti menghasilkan POME sebagai produk samping olahan sawit. Pun jika PKS telah memiliki sistem biogas, ternyata belum semua biogas digunakan sebagai sumber energi terbarukan. Umumnya sebagian biogas digunakan untuk membantu pasokan listrik pabrik dan kelebihannya akan dibakar (flaring). Persentase kelebihan biogas bervariasi, mulai dari 40% sampai 55%. Banyaknya jumlah biogas flaring mengindikasikan bahwa sebetulnya PKS kelebihan bahan bakar. Hal ini masuk akal karena PKS telah memanfaatkan cangkang dan serabut sebagai bahan bakar boiler dan sumber utama penghasil listrik, sehingga posisi biogas dalam PKS saat ini masih sebatas pendukung kebutuhan listrik pabrik.
Optimasi pemanfaatan biogas perlu dilakukan agar kelebihan biogas tidak terbuang sia-sia. Alternatif pertama yang dapat dilakukan memasang instalasi pendukung agar biogas dapat dikonversi menjadi energi listrik dan didistribusikan ke lingkungan perumahan sekitar PKS atau lintas daerah maupun provinsi. Hal ini dapat menjadi salah satu solusi kekurangan listrik di luar pulau Jawa. Potensi energi listrik dari biogas sawit, yaitu 72 MWh/ hari, dapat didistribusikan ke lebih dari 3.500 rumah. Hal ini berdasarkan perkiraan konsumsi energi listrik perumahan yang berkisar 20 kWh/ hari.
Distribusi PKS di Indonesia, sebagian besar terletak di pulau Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan data statistik ketenagalistrikan (2019), rasio elektrifikasi kedua pulau tersebut belum mencapai 100%. Riau (98,34%) dan Sumatera Selatan (98,30 %), misalnya, memiliki rasio elektrifikasi paling kecil diantara provinsi-provinsi lain di Sumatera. Sedangkan di Kalimantan, rasio elektrifikasi terendah berada pada Kalimantan Tengah (94,60%) dan Kalimantan Barat (97,96%). Permasalahan ini dapat diatasi dengan adanya distribusi listrik dari biogas sawit ke daerah-daerah yang belum mendapatkan listrik dari PLN. Selain itu, PKS juga berpotensi mendapatkan penghasilan tambahan karena telah membantu PLN menyediakan listrik.
Alternatif yang kedua adalah distribusi biogas sebagai pengganti gas tabung LPG atau kayu bakar dalam aktivitas memasak di rumah tangga. Secara geografis, lokasi PKS di Indonesia berada di daerah terpencil sehingga ada kemungkinan kendala pada distribusi gas LPG bagi penduduk yang tinggal disekitarnya. Beberapa daerah lain juga masih ditemukan menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Bahan bakar ini biasanya menjadi alternatif pada daerah yang tidak terjangkau gas LPG. Waktu pengumpulan kayu sendiri dapat memakan waktu yang lama, sekitar 3 sampai 4 jam. Selain itu, pembakaran kayu di dapur akan memicu peningkatan risiko kerusakan sistem pernafasan manusia. Adanya pemanfaatan biogas yang disalurkan ke rumah tangga, diharapkan dapat mengatasi kebutuhan daerah akan gas yang tidak terjangkau distributor gas LPG ataupun sebagai pengganti bahan bakar kayu.
Dengan adanya optimasi pemanfaatan biogas dari limbah sawit, industri sawit Indonesia dapat meningkatkan kontribusinya dalam meningkatkan porsi bioenergi dalam target bauran energi terbarukan tahun 2030, yaitu 23%. Selain kedua alternatif tersebut di atas, kajian lebih lanjut diperlukan terutama peninjauan terhadap pilar-pilar keberlanjutan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Hal ini bertujuan agar pemanfaatan biogas sawit dapat digunakan secara terus menerus dan tidak berhenti di tengah jalan karena salah satu pilar tersebut tidak terpenuhi.
Penulis: Novelita Wahyu Mondamina
Instagram penulis: @novelitawm
DISCLAIMER
Semua artikel dan opini yang dipublikasikan pada Blog Energi Muda menjadi tanggung jawab dari masing-masing penulis. Koaksi Indonesia membantu mereduksi bahasa dan penulisan sesuai kaidah KBBI, logika dan kata di dalam tulisan yang masuk ke redaksi. Koaksi Indonesia tidak bertanggung jawab jika terdapat plagiarisme, kesalahan data dan fakta serta kekeliruan dalam penulisan nama, gelar atau jabatan yang terdapat di dalam artikel dan opini.