Mineral kritis merupakan unsur kimia yang sangat penting dalam teknologi energi terbarukan. Ketidaktersediaan mineral ini dapat menjadi hambatan yang signifikan. Sejauh mana tantangan yang kita hadapi dalam memastikan pasokan mineral ini sehingga transisi energi berjalan optimal?
KOAKSI INDONESIA — Seiring dengan upaya global untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mengurangi dampak perubahan iklim, terjadi pergeseran besar dalam sektor energi menuju sumber daya terbarukan. Meskipun inisiatif ini penting untuk masa depan bumi, perhatian juga harus difokuskan pada peran mineral kritis dalam memungkinkan transisi energi.
Sebagai organisasi, Koaksi Indonesia mendukung proses transisi energi dengan melakukan riset, advokasi, dan kampanye terkait implementasi energi terbarukan. Peran energi terbarukan diharapkan dapat mengurangi emisi dari sektor pembangkit listrik. Namun dalam pengembangannya, teknologi ini membutuhkan mineral hasil pertambangan sebagai bahan baku utama. Beberapa di antaranya adalah mineral kritis yang digunakan sebagai media penyimpanan energi (energy storage).
Baca juga: Lika-liku Transisi Energi yang Berkeadilan
Mineral Kritis: Apa Itu dan Mengapa Penting?
Mineral kritis menjadi salah satu fokus pemerintah dengan adanya peraturan khusus terkait ini. Dalam Keputusan Menteri ESDM disebutkan bahwa mineral kritis merupakan mineral yang mempunyai kegunaan penting untuk perekonomian nasional dan pertahanan keamanan negara yang memiliki potensi gangguan pasokan dan tidak memiliki pengganti yang layak. Indonesia memasukkan 47 jenis mineral ke dalam kategori kritis, di antaranya adalah litium dan nikel yang menjadi bahan baku utama baterai.
Penetapan jenis mineral tersebut didasarkan atas kebutuhan bahan baku dalam industri strategis nasional, memiliki nilai manfaat untuk perekonomian nasional dan pertahanan keamanan negara, memiliki risiko tinggi terhadap pasokan, serta tidak memiliki pengganti yang layak. Dengan demikian, komoditas ini harus memiliki regulasi yang kuat serta implementasi yang baik dalam proses pengambilannya.
Kebutuhan Mineral Kritis dalam Berbagai Sektor
Komoditas yang menjadi penunjang industri strategis nasional ini telah digunakan di berbagai sektor. Contohnya di sektor kesehatan, mineral kritis seperti galium dan skandium digunakan untuk peralatan medis. Di sektor keamanan dan pertahanan, mineral kritis digunakan untuk membuat senjata dan komponen kedirgantaraan. Pada kehidupan sehari-hari, mineral kritis digunakan dalam komponen-komponen peralatan elektronik.
Dalam konteks transisi energi, mineral kritis digunakan sebagai bahan baku komponen pembangkit listrik serta baterai. Dalam Keputusan Menteri ESDM ditunjukkan mineral kritis yang paling banyak digunakan adalah tembaga, nikel, dan aluminium. Hampir semua pembangkit energi terbarukan memerlukan mineral tersebut, seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), pembangkit listrik tenaga mikrohidro/air (PLTMH/A), jaringan listrik, serta kendaraan listrik dan penyimpanan energi.
Kebutuhan mineral masa depan ini diprediksi akan meningkat, sejalan dengan rencana transisi energi baik di Indonesia maupun di dunia. Hasil perhitungan International Energy Agency (IEA) menunjukkan, pada tahun 2040 permintaan total terkait mineral untuk pengembangan teknologi energi bersih di tingkat global diperkirakan akan berlipat ganda atau bahkan 4 kali lipat. Masih dalam laporan yang sama, dengan adanya peningkatan permintaan tersebut diperkirakan akan ada 50 tambang litium baru, 60 tambang nikel baru, dan 17 tambang kobalt baru.
Baca juga: Menakar PP Nomor 33 Tahun 2023 Tentang Konservasi Energi
Potensi dan Tantangan
Dengan adanya potensi pembukaan tambang baru untuk memenuhi kebutuhan mineral kritis, tentunya akan muncul tantangan lain. Mengingat pembukaan lahan tambang baru membutuhkan pembukaan lahan yang masif, dampak lingkungan akibat proses tersebut perlu diperhitungkan karena kebutuhan mineral ini untuk mencapai target transisi energi.
Keputusan Menteri ESDM menyajikan data bahwa Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia yang setara dengan 23% dari total cadangan dunia. Saat ini pun Indonesia menjadi negara dengan produksi nikel terbanyak di dunia yang setara dengan 29% dari total produksi di Indonesia. Potensi ini tentunya akan menjadi peluang jika direncanakan dengan matang.
Sayangnya, hingga saat ini belum ada regulasi terkait yang mengatur produksi mineral kritis dari hulu hingga hilir untuk kebutuhan transisi energi. Padahal, regulasi dari hulu hingga hilir produksi mineral ini dapat menjadi safeguard agar tujuan transisi energi dapat tercapai.
Mineral ini memainkan peran penting dalam transisi energi ke sumber daya terbarukan. Dengan upaya global untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan beralih ke teknologi ramah lingkungan, pasokan mineral ini akan menjadi aspek yang semakin penting. Dalam rangka memastikan bahwa transisi ini berjalan dengan lancar, penting bagi pemerintah, industri, dan masyarakat untuk bekerja sama dalam mengatasi tantangan ketersediaan mineral kritis. Dengan langkah-langkah yang tepat, kita dapat memastikan bahwa sumber daya ini tetap tersedia untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.
Baca juga: Bisakah Target Energi Baru dan Terbarukan Tahun 2025 Tercapai?