Meskipun tidak berbahan baku fosil, biodiesel memiliki pro dan kontra tersendiri, terutama dari sisi ekonomi dan lingkungan. Prinsip keberlanjutan ekologis dari produksi minyak kelapa sawit dinilai mampu mengendurkan ketegangan akibat pro dan kontra tersebut.
Biodiesel atau biosolar merupakan bahan bakar nabati yang berbahan baku minyak kelapa sawit mentah. Adapun dari sudut pandang ekonomi, kelapa sawit merupakan produk ekspor unggulan Indonesia.
Berdasarkan data Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia, produksi biodiesel sepanjang Januari-Mei 2019 mencapai 4,19 juta kiloliter (kl) dengan pasar domestik 3,16 juta kl dan ekspor
552.167 kl. Tren data juga menunjukkan adanya peningkatan produksi biodiesel secara tahunan. Pada 2018, angka produksinya mencapai 6,16 juta kl atau naik dari 3,41 juta kl pada 2017.
Asisten Deputi Produktivitas Energi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Andi Novianto menyatakan, pemerintah tengah meningkatkan pemanfaatan biodiesel dalam negeri. Hal ini dimulai dengan perluasan mandatori pemanfaatan campuran biodiesel berbahan kelapa sawit dengan proporsi 20 persen atau B20.
Pengisian bahan bakar B30 ke kendaraan pada peluncuran uji jalan penggunaan bahan bakar B30 di kantor Kementerian ESDM di Jakarta, Kamis (13/6/2019). Uji jalan yang dilepas Menteri ESDM Ignasius Jonan diikuti 3 unit truk dan 8 unit kendaraan penumpang berbahan bakar B30 yang masing-masing akan menempuh jarak 40.000 dan 50.000 kilometer. Bahan bakar B30 adalah campuran biodiesel 30 persen pada bahan bakar solar.
Pada 2020, pemerintah akan meningkatkan komposisi mandatori pemanfaatan biodiesel tersebut menjadi 30 persen atau B30. Kebijakan ini berpotensi membutuhkan biodiesel berbahan baku kelapa sawit sebanyak 6,2 juta kl.
Kementerian Koordinator Perekonomian mencatat, penghematan devisa negara mencapai 1,88 miliar dollar Amerika Serikat (AS) karena pelaksanaan B20 sepanjang 2018. Penerapan B30 sepanjang 2020 diprediksi dapat menghemat devisa sebesar 3 miliar dollar AS.
Pemerintah menargetkan biodiesel berkontribusi dalam bauran energi baru dan terbarukan sebanyak 23 persen pada 2025. Pada 2025, kebutuhan jumlah biodiesel mencapai 13,8 juta kl. Pekerja menaikkan tandan buah segar sawit ke truk di perkebunan kelapa sawit milik PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk di Tanah Raja Estate, Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu.
Aspek lingkungan
Peningkatan kebutuhan kelapa sawit untuk bahan baku biodiesel disoroti oleh Climate and Energy Manager World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia Indra Sari Wardhani. Dia mengkhawatirkan kenaikan kebutuhan lahan untuk kelapa sawit tersebut dapat berdampak pada meningkatnya deforestasi.
Indonesia masih menghadapi isu lahan untuk kelapa sawit karena berasal dari hutan. Isu ini berkembang di domestik ataupun internasional. Oleh sebab itu, Sari berpendapat, ketertelusuran kelapa sawit, termasuk riwayat penggunaan lahannya, mesti terbuka, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Di sisi lain, Sari memaparkan, produktivitas kelapa sawit sebagai bahan bakar nabati lebih baik dibandingkan komoditas lainnya. Berdasarkan data yang dihimpunnya, produktivitas kelapa sawit 3,8 ton per hektar, kacang kedelai (0,36 ton per hektar), biji bunga matahari (0,42 ton per hektar), dan rapeseed (0,59 ton per hektar).
Dari sisi lingkungan, Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia A Azis Kurniawan memproyeksikan, kebutuhan minyak kelapa sawit mentah (CPO) untuk penggunaan biodiesel pada 2025 mencapai 10,58 juta ton. Angka ini dapat dicapai dengan luas lahan 3,78 juta hektar. Kementerian Pertanian mencatat, rata-rata produktivitas perkebunan kelapa sawit saat ini berkisar 3,64 ton per hektar. Padahal, angka tersebut berpotensi meningkat menjadi 7,53 ton per hektar. ”Peningkatan produktivitas lahan menjadi kunci agar kenaikan kebutuhan biodiesel tidak disertai perluasan lahan,” kata Kurniawan.
Isu perluasan lahan kelapa sawit yang mengorbankan hutan menjadi sorotan konsumen yang peduli dengan lingkungan. Di tingkat internasional, konsumen di Benua Eropa tengah menyoroti hal itu.
Kebutuhan minyak kelapa sawit mentah (CPO) untuk penggunaan biodiesel pada 2025 mencapai 10,58 juta ton. Angka ini dapat dicapai dengan luas lahan 3,78 juta hektar.
Vice Chairman European Business Chambers of Commerce (EuroCham) Wichard Von Harrach menyebutkan, konsumen Eropa tengah mencermati prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan pada produk yang dipakainya. Oleh sebab itu, produk kelapa sawit Indonesia memiliki tantangan di pasar Eropa.
Berkelanjutan
Untuk membuktikan penerapan prinsip keberlanjutan pada produk kelapa sawit Indonesia, pemerintah menerbitkan Indonesian Sustainable Palm Oil atau ISPO. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau ISPO menyatakan, salah satu dasar ISPO ialah pembangunan perkebunan diselenggarakan berasaskan kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, efisiensi-berkeadilan, kearifan lokal, dan kelestarian fungsi lingkungan.
Pada dasarnya, ISPO menunjukkan ketertelusuran penerapan prinsip keberlanjutan pada produk kelapa sawit dari hulu ke hilir, dari perkebunan hingga menjadi produk olahan. Kepala Sekretariat Komisi ISPO Azis Hidayat memaparkan, hingga akhir Agustus 2019, pihaknya telah menerbitkan 566 sertifikat ISPO kepada 556 perusahaan, 6 koperasi swadaya, dan 4 koperasi unit desa plasma. Total luas lahan yang telah bersertifikasi ISPO mencapai 5,18 juta hektar.
Menurut Sari, ISPO sudah dapat diperhitungkan sertifikasi keberlanjutan produk kelapa sawit. Namun, masih ada aspek dari sertifikasi ISPO yang berada di ranah abu-abu, seperti konservasi biodiversitas dan dampak lingkungan.
Jembatan informasi
Dengan demikian, tampak setidaknya ada dua sisi terkait pemanfaatan biodiesel di Indonesia. Bukti penerapan prinsip keberlanjutan lingkungan pada tata kelola sawit ditunggu. Di sisi lain, Indonesia tengah mengupayakannya.
Melihat adanya ada dua kutub ini, Kurniawan mengatakan, Koaksi berencana menjadi jembatan informasi. Caranya ialah membuat wadah informasi secara dalam jaringan (daring) yang mengakomodasi tiap penjelasan dan fakta tentang minyak kelapa sawit yang menjadi bahan baku biodiesel dari berbagai pelaku dan pemangku kebijakan terkait.
Kurniawan mengharapkan, wadah informasi yang mendudukkan isu ekonomi, sosial, dan lingkungan terkait minyak kelapa sawit tersebut dapat diakses oleh masyarakat domestik dan internasional. ”Menurut rencana akan soft launching pada Oktober 2019 ini,” katanya.
Kehadiran wadah informasi ini dinilai penting mengingat adanya sentimen negatif dari Uni Eropa terkait biodiesel berbahan baku kelapa sawit yang dinilai tidak berprinsip berkelanjutan secara lingkungan. Menurut Wichard, hal ini dapat diredakan dengan promosi prinsip keberlanjutan dari produk kelapa sawit Indonesia kepada konsumen di wilayah tersebut.
Indonesia tengah berjuang menerapkan dan menunjukkan tata kelola kelapa sawit yang berprinsip keberlanjutan lingkungan. Daya upaya ini mestinya dilihat oleh dunia agar tak lagi memandang sebelah mata sawit dan turunan produknya, termasuk biodiesel.
Penulis: Maria Paschalia Judith Justiari
Sumber: Kompas.id