JAKARTA – Buruknya kualitas udara di DKI Jakarta yang belakangan ramai diperbincangkan dinilai disebabkan oleh banyak faktor. Oleh karenanya, diperlukan upaya nyata pemerintah daerah (pemda) melalui kebijakannya untuk menekan tingkat polusi di Ibu Kota Republik Indonesia (RI) ini.
Hal itu mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Kualitas Udara dan Energi” yang digelar Koaksi Indonesia yang digelar di Jakarta, Kamis 15 Agustus 2019 malam lalu. Dalam diskusi terungkap, baik buruknya kualitas udara DKI Jakarta kembali kepada kebijakan pemda setempat. Terlebih, udara sehat menjadi hak konstitusional warga negara.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, sumber polusi ibu kota terbagi menjadi empat, yakni transportasi darat (75 persen), pembangkit listrik dan pemanas (9 persen), pembakaran industri (8 persen), dan pembakaran domestik (8 persen).
Climate and Energy Researcher Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari menyatakan, permasalahan tersebut harus segera dicarikan solusinya. Sebagai langkah awal, kaya dia, harus dilakukan inventarisasi emisi, termasuk parameter apa yang digunakan untuk mengukur kualitas udara DKI Jakarta itu.
“Selain itu, lokasi keberadaan (penyebab), seperti industri yang kebanyakan berada di luar wilayah DKI Jakarta. Apakah langsung berpengaruh ke DKI Jakarta? Lalu, bagaimana dengan kendaraan bermotor bernomor polisi luar DKI Jakarta, seperti Tangerang dan Bekasi yang juga banyak memasuki wilayah DKI Jakarta,” beber Adila dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Jumat (18/8/2019) malam.
Bahkan, diperlukan pula inventarisasi keberadaan pembangkit listrik sebagai salah satu faktor yang digadang-gadang menjadi penyebab buruknya kualitas udara Jakarta. Menurut dia, pembangkit listrik batu bara (PLTU) milik PLN sendiri tidak hanya terletak di luar kota, namun jauh dari potensi menyebarkan polusi.
“Karena itu, perlu ditilik lagi sumbernya disebabkan oleh apa saja, seperti misalnya pembakaran sampah. Selain itu, perlu dipertimbangkan kebijakan apa yang diambil (Pemda DKI Jakarta) terkait hal tersebut,” katanya.
Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia Azis Kurniawan mengatakan, Gubernur DKI Jakarta telah mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Percepatan Pelaksanaan Pengendalian Kualitas Udara Jakarta sekaligus sudah memerintahkan seluruh gedung milik pemerintah daerah dipasangi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) rooftop.
“Hal itu sejalan dengan penggunaan listrik surya atap yang dikampanyekan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Pemda DKI Jakarta juga akan segera mengikuti arahan menteri ESDM tersebut. Targetnya, pemasangan PLTS rooftop di DKI Jakarta akan selesai 2022 mendatang,” jelasnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Tanpa Timbal Ahmad Safrudin (Puput) mengatakan, upaya lain untuk menekan emisi gas buang kendaraan bermotor, salah satunya dapat dilakukan melalui uji emisi.
Menurut dia, uji emisi penting dilakukan karena kendaraan bermotor menjadi penyumbang terbesar polusi udara. Dia menyebutkan, setiap hari, 19.000 polutan keluar dari kendaraan bermotor.
“Sedangkan penyumbang terbesar emisi polutan adalah sepeda motor yang besarnya 10 kali lipat dari emisi kendaraan bermotor 2000 cc,” sebutnya.
Pengendalian Pencemaran Udara dan Penggunaan Energi Terbarukan
Sejalan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kendati pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) baru berkontribusi sebesar 13 persen dalam bauran energi nasional, namun dalam RUEN telah ditetapkan, pemerintah akan terus meningkatkan pemanfaatan energi baru dan energi penggunaan bahan bakar pembangkit listrik di dalam negeri.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Herman Darnel Ibrahim mengatakan, penggunaan bahan bakar pembangkit listrik di dalam negeri turut berpengaruh terhadap kecepatan mengatasi terjadinya pemadaman listrik secara mendadak.
“Jika bahan bakar pembangkit listrik itu berupa air atau sinar matahari, maka pembangkit listrik tersebut bisa bangkit atau hidup lagi dalam tempo sekitar 30 menit hingga satu jam setelah down,” ungkap Herman yang juga akan segera menempati kursi anggota DPD RI ini.
“Namun, jika bahan bakarnya adalah batu bara, maka setidaknya dibutuhkan waktu dua jam untuk bisa menghidupkan lagi pembangkit listrik tersebut,” sambung Herman.
Herman mengakui, dalam kondisi dimana pelanggan menuntut tarif listrik yang murah dan terjamin, termasuk kontinuitas pasokan bahan bakar, penggunaan bahan bakar batu bara masih dibutuhkan.
“Besaran biaya listrik itu dihitung dari biaya bahan bakar, distribusi, dan operasional. Sehingga, jika mau murah, penggunaan batu bara menjadi solusinya,” katanya.
Meski begitu, Herman tetap meminta dilakukannya penggunaan bahan bakar air dan tenaga surya serta gas, seperti yang sudah diterapkan PLN di Pembangkit Listrik Muara Karang dan Pembangkit Listrik Tanjung Priok.
“Kombinasi penggunaan bakar itu tetap diperlukan guna menjaga emisi gas buang, tarif murah, dan kontinuitas pasokan (bahan bakar),” jelasnya.
Dia juga menyarankan, ke depan, sumber energi utama yang dipakai pembangkit listrik PLN berasal dari energi terbarukan, adapun gas serta batu bara dijadikan sumber energi cadangan.(abs)
Sumber: SindoNews
Penulis: Agung Bakti Sarasa