Penulis: Adhi Triatmojo
Presiden Joko Widodo menargetkan program B30 yang akan berlaku pada awal tahun 2020. Dengan adanya kebijakan ini, Indonesia akan menjadi negara pionir dalam pencampuran bahan bakar nabati terbesar ke dalam diesel untuk konsumsi dalam negeri. Malaysia juga akan menyusul Indonesia dengan program mandatori B20 pada tahun 2020.
Hal yang tidak kalah menarik untuk dibahas adalah sektor hulu dari biodiesel, yaitu bahan bakunya atau proses produksi Crude Palm Oil (CPO). Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara yang mendominasi pasar CPO dunia. Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, pada tahun 2017, total lahan sawit di Indonesia mencapai 14,04 juta Ha, sedangkan Menurut data The United States Department of Agriculture (USDA) atau Kementerian Pertanian Amerika Serikat, Malaysia memiliki 5,3 juta Ha. Sayangnya, keunggulan luas lahan sawit di Indonesia tidak diimbangi dengan produktivitas lahan yang baik. Malaysia memiliki produktivitas lahan sawit sebesar 3,96 ton/Ha.tahun, sedangkan Indonesia hanya memiliki produktivitas lahan sawit sebesar 2,70 ton/Ha.tahun.
Dalam artikel ini, penulis mencoba melihat permasalahan produktivitas lahan sawit secara holistik. Isu produktivitas lahan sawit tentunya selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas karena erat kaitannya dengan permasalahan lahan. Semakin besar produktivitas lahan sawit, maka risiko pembukaan lahan akan berkurang. Setelah membaca berbagai sumber berita dan artikel ilmiah, penulis menyimpulkan bahwa terdapat lima faktor utama yang mempengaruhi produktivitas lahan sawit, yaitu: kematangan pohon sawit, penggunaan pupuk, hama atau penyakit yang menyerang tanaman, tata kelola perkebunan, dan lahan yang digunakan.
Kematangan Pohon Sawit
Pada umumnya sawit dibagi menjadi 6 kelompok umur, yaitu :
Tabel 1. Klasifikasi Fase Umur Tanaman Sawit
Fase | Umur (tahun) | Produktivitas/Ha |
Muda | 0-3 | Belum menghasilkan |
Remaja | 3-4 | Sangat rendah |
Taruna | 5-12 | Mengarah naik (eksponensial) |
Dewasa | 12-20 | Posisi puncak |
Tua | 21-25 | Mengarah turun (decline) |
Renta | >26 | Sangat rendah |
Sumber : (Tampubolon, 2016)
Data United States Department of Agriculture – Foreign Agricultural Services (USDA-FAS) pada tahun 2013, 25 persen dari total lahan sawit di Indonesia berada pada kategori immature (umur 2-3 tahun) sehingga produktivitasnya tergolong rendah. Hal ini berbeda dengan Malaysia yang pada umumnya memiliki lahan sawit yang lebih mature (umur 8-14 tahun), dimana hanya 14 persen dari total lahannya tergolong immature. Menurut Wilmar, lahan sawit dengan pohon yang sudah dewasa dapat menghasilkan 18-30 ton tandan buah segar/hektar atau 4,3-7,2 ton CPO/hektar tiap tahunnya.
Penggunaan Pupuk
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Heffer pada tahun 2013, penggunaan pupuk pada kebun sawit di Malaysia lebih intensif digunakan daripada di Indonesia. Pada tabel 2 bisa dilihat bahwa penggunaan fosfat dan potasium Indonesia masih dibawah Malaysia. Meski demikian, menurut Rankine dan Fairhursy (dalam Woittiez, 2016), konsentrasi pupuk yang direkomendasikan untuk lahan sawit di Indonesia dan Malaysia masih tergolong rendah.
Tabel 2. Perbandingan Penggunaan Pupuk Antara Malaysia dan Indonesia
Deskripsi | Malaysia | Indonesia |
Nitrogen (kg/ha.tahun) | 91 | 95 |
Fosfat (kg/ha.tahun) | 19 | 11 |
Potassium (kg/ha.tahun) | 199 | 111 |
Sumber : (Heffer, 2013)
Tabel 3. Rekomendasi Penggunaan Pupuk
Parameter | Kg/ha.tahun | Catatan |
Nitrogen | 260 | Pengurangan produksi 50 persen, jika kekurangannya parah |
Phosphorus | 130 | N/A |
Potassium | 350 | Pengurangan produksi 50 persen, jika kekurangannya parah |
Magnesium | 70 | N/A |
Boron | 20 | Pengurangan produksi 50 persen, jika kekurangannya parah |
Copper | 10 | 10-25 persen Penambahan produksi |
Zinc | 10 | 10-80 persen Penambahan produksi |
Sumber : (Woittiez, 2016)
Jika melihat rekomendasi konsentrasi pupuk yang digunakan pada tabel 3, penggunaan pupuk di Indonesia bahkan tidak sampai dari setengah jumlah yang direkomendasikan. Tentunya, bila Indonesia menginginkan lahan sawit yang lebih produktif, maka penggunaan pupuk dengan kadar yang optimum perlu dilakukan.
Hama/Penyakit
Penyakit tanaman kelapa sawit yang umum di asia tenggara adalah jamur patogen bernama Ganoderma boninense. Penyakit Ganoderma ini dapat mengakibatkan penurunan produktivitas lahan hingga 50 persen di Sumatera Utara (Lisnawita, 2016). Berbeda dengan kasus di Malaysia, dengan pengelolaan sanitasi lahan dan bibit yang baik, secara total Ganoderma hanya mengakibatkan penurunan produktivitas lahan sebesar 3,7 persen (Abas, 2012).
Ganoderma seringkali baru terdeteksi ketika sawit sudah berumur matang (10-15 tahun), sehingga penanganannya terlambat. Pada studi kasus di Kebun Bukit Kijang Sumatera Utara, lahan yang memiliki penurunan produktivitas sebesar 50 persen diakibatkan oleh inokulum Ganoderma. Menjangkitnya inokulum tersebut telah terjadi sejak sawit masih dalam bentuk bibit. Selain itu, Ganoderma dapat menyebar lebih cepat pada lahan yang memiliki komposisi pasir yang besar (Lisnawita, 2016).
Tata Kelola Perkebunan
Salah satu faktor produktivitas lahan yang rendah adalah manajemen pengelolaan lahan yang tidak baik. Hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan adanya lembaga khusus yang mendampingi petani dalam mengelola lahan. Seperti halnya di Malaysia, terdapat badan pemerintah yaitu Federal Land Development Authority (FELDA) yang menaungi para petani plasma. FELDA berfungsi untuk melakukan riset, membina pengelolaan perkebunan dan memberikan bantuan finansial, sehingga produktivitas lahan dapat meningkat (lebih lengkap : http://www.fgvholdings.com/2017/12/).
Jumlah petani plasma yang benar-benar independen di Malaysia hanya sebesar 11 persen. Sedangkan di Indonesia masih belum ada badan pemerintah yang dapat menaungi para petani plasma dalam jumlah besar. Rata-rata produktivitas lahan dari petani plasma di Indonesia hanya sebesar 13 ton/ha, namun beberapa petani plasma yang dinaungi oleh skema OPHIR PTPN VI berhasil meningkatkan produktivitas lahan hingga 22-29 ton/ha (Woittiez, 2016. lebih lengkap mengenai Ophir : http://ptpn6.com/berita-unit-usaha-ophir.html).
Deskripsi | Malaysia | Indonesia |
Smallholder (w/ Government) | 29 persen | N/A |
Smallholder (Independent) | 11 persen | 40 persen |
Private Sector | 60 persen | 60 persen |
Sumber : RSPO, 2016
Letak Lahan Perkebunan
Berdasarkan data dari Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, sekitar 1 juta Ha perkebunan sawit ditanam di daerah lahan gambut (Sihombing, 2017). Lahan gambut merupakan lahan yang tidak subur atau lahan sub optimal karena pH tanah rendah dan kandungan unsur-unsur hara makro dan mikro rendah. Hal ini bisa menjadi salah satu faktor mengapa produktivitas lahan perkebunan sawit di Indonesia cukup rendah.
Penutup
Berikut adalah perbandingan secara ringkas mengenai produktivitas lahan sawit antara Malaysia dengan Indonesia :
- Selisih produktivitas lahan sawit di Indonesia dengan Malaysia adalah 1,26 ton/ha. Indonesia 2,7 ton/ha, sedangkan malaysia 3,96 ton/ha.
- Lahan perkebunan sawit yang belum matang di Indonesia adalah 25 persen dan Malaysia hanya 14 persen. Hal ini menyebabkan produktivitas TBS/ha Malaysia lebih tinggi.
- Penggunaan pupuk Potassium di Malaysia hampir 2 kali lipat lebih banyak daripada di Indonesia. Indonesia perlu meningkatkan penggunaan pupuk untuk mengoptimalkan produktivitas lahan.
- Insiden penyakit Ganoderma di Indonesia lebih tinggi daripada di Malaysia. Hal ini diakibatkan buruknya sanitasi lahan dan minimnya penggunaan biocontrol.
- Peran pemerintah Malaysia dalam mengembangkan petani plasma sawit lebih intens daripada pemerintah Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya skema FELDA menaungi 75 persen petani plasma yang tersebar di Malaysia.
- Secara geografis, persebaran perkebunan sawit di Indonesia sangat luas. Hal ini menyebabkan sulitnya pemerintah dalam melakukan fungsi kontrol. Banyak lokasi lahan perkebunan sawit yang dilakukan pada lahan yang tidak subur, atau malah ilegal ( ex : wilayah hutan konservasi, dan lahan gambut).
Daftar Pustaka
Abas R., dan Seman I. A. 2012. Economic Impact of Ganoderma Incidence on Malaysian Oil Palm Plantation – A Case Study in Johor. URL: http://palmoilis.mpob.gov.my/publications/OPIEJ/opiejv12n1-Roslan.pdf
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. 2018. Statistik Perkebunan Indonesia komoditas Kelapa Sawit 2017 – 2019. Jakarta : Kementerian Pertanian. URL: http://ditjenbun.pertanian.go.id/?publikasi=buku-statistik-kelapa-sawit-palm-oil-2011-2013
Heffer P. 2013. Assessment of Fertilizer Use by Crop at the Global Level. URL : https://www.fertilizer.org/images/Library_Downloads/AgCom.13.39%20-%20FUBC%20assessment%202010.pdf
Lisnawati et al. 2016. Survey of Basal Stem Rot Disease on Oil Palms (Elais guineensis Jacq.) in Kebun Buit Kijang, North Sumatera, Indonesia. URL : http://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/41/1/012007/pdf
Woittiez L. S., et al. 2016. Yield Gaps In Oil Palm: A Quantitative Review of Contributing Factors. URL: https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1161030116302131#bib1220
Murphy D. J. 2014. The Future of Oil Palm as a Major Global Crop: Opportunities and Challenges. URL: http://jopr.mpob.gov.my/wp-content/uploads/2014/03/joprv26mac2014-denis1.pdf
Sihombing, Martin. 2017. PP Gambut Kurangi Lahan Sawit Indonesia 1 Juta Ha. URL : http://industri.bisnis.com/read/20170427/99/648893/Permen%25252520LHK%25252520Soal%25252520Gambut%25252520Perlu%25252520Dievaluasi
USDA. 2012. Malaysia : Stagnating Palm Oil Yields Impede Growth. Commodity Intelligence Report. URL: http://www.pecad.fas.usda.gov/highlights/2012/12/Malaysia/
Tampubolon N. S. H. 2016. Pengaruh Umur Tanaman Terhadap Produktivitas Kelapa Sawit (Elais guineensis) Studi Kasus: Perkebunan Rakyat di Kecamatan Pegajahan, Serdang Bedagai. URL: https://jurnal.usu.ac.id/index.php/ceress/article/view/17459
Wilmar. 2018. Harvesting & Oil Palm Yield. URL : https://www.wilmar-international.com/our-businesses/plantation