Akhir Maret 2019 lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis hasil kajiannya bersama 11 doktor dan guru besar Universitas Gadjah Mada dan menemukan sebuah hipotesis bahwa kondisi cuaca dan iklim memengaruhi penyebaran Novel Corona Virus Disease (COVID-19). Hasil sementara penelitian ini juga menyatakan bahwa iklim tropis mampu meminimalisir penyebaran virus ini. Namun, apakah benar iklim Indonesia dapat membuat virus COVID-19 tidak dapat bertahan?
Meraba Hubungan Iklim dengan COVID-19
Pada umumnya COVID-19 memperlihatkan pola perkembangan yang signifikan di daerah yang relatif dingin dan kering. Pendahulunya, yaitu SARS-CoV-1 dikaitkan dengan kondisi iklim yang serupa. Menurut beberapa penelitian, daerah dengan iklim kering dan dingin cenderung diminati oleh coronavirus, sedangkan daerah dengan iklim lembab dan tropis dinilai bisa menghambat perkembangannya.
Namun ternyata penyebaran kasus COVID-19 yang terjadi di seluruh dunia tidak pandang bulu. Kasus-kasus COVID-19 kian bermunculan, baik di daerah tropis maupun daerah 4 musim. Hal ini mematahkan semua hipotesis yang menyatakan bahwa COVID-19 tidak bertahan di iklim tropis. Luasnya sebaran kasus COVID-19 ini menyebabkan ketidakpastian pengaruh faktor iklim dalam penyebarannya, terutama di sebagian besar daerah tropis seperti Afrika sub-Sahara, Amerika Latin dan Asia Tenggara. Oleh karena itu, prediksi-prediksi penyebaran epidemi di daerah tropis lebih banyak memanfaatkan data demografi dan mobilitas manusia sebagai prediktor persebaran. Faktor-faktor cuaca dan iklim menjadi kurang relevan dalam memprediksi penyebaran kasus COVID-19 ini.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Melanie Bannister, berdasarkan data penyebaran COVID-19 di 46 negara (tidak termasuk Indonesia) per tanggal 29 Februari 2020, temperatur yang sesuai untuk perkembangan COVID-19 berada pada interval suhu -5 hingga 10oC.
Jika melihat grafik tersebut, tentunya masyarakat Indonesia dapat menghela napas karena hampir seluruh provinsi di Indonesia memiliki suhu rata-rata diatas 25oC keatas.[2] Namun, Melanie Bannister memberi catatan bahwa penelitian ini masih sekadar studi pendahuluan karena keterbatasan data COVID-19, sehingga faktor temperatur bisa jadi tidak memengaruhi penyebaran COVID-19 pada tingkat global. Hal serupa juga dikemukakan oleh Marco yang menyebutkan bahwa meningkatnya kasus COVID-19 di tingkat global tidak dipengaruhi oleh kondisi iklim.[3] Hal ini disebabkan karena virus ini sangat cepat bermutasi, sehingga dapat beradaptasi sesuai dengan kondisi iklim lokal daerah yang dijangkiti.
Catatan: kedua penelitian ini masih dalam status “not been peer-reviewed” sehingga belum sepenuhnya kredibel.
Membandingkan Novel Coronavirus COVID-19 dengan Kerabatnya
Banyak yang meyakini bahwa daerah dengan temperatur lebih hangat dapat menghentikan penyebaran novel coronavirus COVID-19. Dimulai dari Presiden Trump yang mencoba meyakinkan masyarakatnya bahwa perubahan musim semi menuju panas bisa menghambat virus corona[4], hingga Menteri Luhut yang menyatakan bahwa virus corona tak tahan cuaca panas, sehingga tidak cocok hidup di iklim Indonesia yang tropis.[5] Hal ini juga senada dengan siaran pers yang diterbitkan oleh BMKG bahwa temperatur Indonesia yang cenderung hangat bisa menghambat perkembangan COVID-19.[6] Sayangnya kajian lengkap dari siaran pers tersebut tidak bisa diakses oleh publik dan hingga kini belum ada ahli di bidang kesehatan publik Indonesia yang mampu memvalidasi pernyataan tersebut, karena COVID-19 merupakan virus “novel”. Sebagai virus novel, masih banyak pertanyaan yang belum dapat terjawab oleh para ahli, termasuk pola perkembangan, penyebaran, apalagi pengaruh cuaca dan iklim.
Novel (bukan novel karya sastra[7] ya, walaupun penulisannya sama) merupakan istilah yang digunakan untuk virus yang sebelumnya belum pernah teridentifikasi.[8] Sebagian besar virus novel yang teridentifikasi, awalnya hanya menjangkit hewan (zoonotic) yang kemudian berevolusi sehingga bisa menjangkit tubuh manusia. Virus ini juga bisa jadi berasal dari virus zaman dahulu yang terisolasi di dalam natural reservoir. Natural Reservoir ini biasanya berbentuk gletser yang kemudian mencair karena pemanasan global, sehingga melepaskan kembali virus non-aktif (dormant) yang terkandung dalam gletser ke lingkungan, yang kemudian kembali aktif pada suhu yang lebih hangat.
Walaupun statusnya “novel”, kita masih bisa membandingkan virus COVID-19 dengan virus flu lainnya yang memiliki karakteristik sama. Contohnya virus influenza, penderita penyakit influenza selalu meningkat ketika terjadi penurunan suhu. Pada negara dengan 4 musim, biasanya penderita influenza memuncak ketika musim dingin. Sedangkan pada negara tropis, kasus influenza lazimnya terjadi sepanjang tahun dengan puncaknya berada di musim hujan.[9]
Contoh lain yang paling mendekati virus COVID-19 adalah pandemi virus corona dengan strain SARS yang terjadi pada tahun 2000-an. Penelitian yang dilakukan oleh Chan pada tahun 2011 menunjukkan pengaruh temperatur terhadap perkembangan SARS, pada suhu 22-25oC dengan kelembapan 40-50%, SARS berkembang dengan baik. Namun, pada suhu diatas 38oC dengan kelembapan >95%, perkembangan SARS terhambat. Hal ini dapat menjelaskan mengapa kasus SARS di daerah tropis seperti Malaysia, Indonesia atau Thailand yang memiliki temperatur dan kelembapan tinggi, tidak terlalu terpengaruh oleh SARS.[10] Jika dibandingkan, penderita SARS di Indonesia pada tahun 2000-an hanya terdeteksi 2 kasus, sedangkan COVID-19 per tanggal 16 April 2020 mencapai 5.136 kasus dan masih akan bertambah, seiring tes massal yang masif dilakukan.
Hubungan Perubahan Iklim dengan Pandemi/Epidemi
Secara historis, beberapa pandemi yang disebarkan melalui vektor (hewan/serangga yang menyebarkan penyakit, contoh: nyamuk, kutu, dst) akan lebih luas dan cepat penyebarannya jika berada pada daerah dengan suhu yang lebih tinggi, salah satu contohnya adalah malaria. Pada tahun 2005, Kristie L. Ebi melakukan penelitian terkait kesesuaian iklim terhadap penyebaran malaria di Zimbabwe. Dimana dia menjelaskan bahwa temperatur menjadi faktor yang major dalam penyebaran dan penambahan kasus virus malaria. Temperatur mempengaruhi parasit Plasmodium yang menyebabkan penyakit malaria pada tubuh manusia, dan nyamuk Anopheles yang menyebarkan penyakit. Parasit dan nyamuk ini tidak kuat berkembang biak pada daerah dengan suhu 18oC, dan memiliki kondisi berkembang biak yang ideal pada 22-32oC.[11] Jika terjadi kenaikan suhu sebesar 1-2oC saja, maka daerah-daerah pegunungan yang asalnya dingin akan menjadi hangat. Hal ini akan menyebabkan daerah yang dingin (daerah dataran tinggi, contoh: pegunungan, bukit, dst) menjadi daerah yang ideal bagi virus malaria untuk berkembang biak.
Catatan : warna ungu menandakan daerah dengan suhu rendah sehingga climate suitabilitynya rendah, warna merah menandakan daerah dengan suhu tinggi. Semakin merah daerah tersebut, maka semakin ideal bagi virus malaria untuk berkembang.
Jadi Adakah Hubungannya Antara Perubahan Iklim dengan COVID-19?
Hingga saat ini belum ada penelitian yang bisa dengan tegas mengidentifikasi hubungan antara COVID-19 dengan iklim. Hal ini disebabkan karena perkembangan COVID-19 yang sangat cepat di belahan dunia manapun, baik di daerah subtropis maupun tropis. Namun sudah jelas bahwa dampak perubahan iklim pada ekosistem akan mempengaruhi perilaku virus, terutama kemampuan mereka untuk menginfeksi manusia.
Pada tingkat lokal, banjir yang disebabkan oleh permukaan laut ataupun hujan lebat dapat memfasilitasi penyebaran penyakit yang ditularkan melalui air, sedangkan badai dan peristiwa ekstrim lainnya dapat menambah kemungkinan penyebaran penyakit melalui udara. Bila banjir yang terjadi pada awal tahun di Jakarta kembali terjadi saat ini, bisa terbayang dampaknya akan masif. Droplet atau percikan cairan tubuh yang bisa saja mengandung virus COVID-19 dapat dengan mudah “menyelinap” ke air banjir, yang kemudian menginfeksi manusia. Social distancing pun akan sulit dilakukan di hunian-hunian sementara karena banyaknya masyarakat yang mengungsi.
Siaran Pers dari BMKG yang Menyatakan Iklim di Indonesia Tidak Ideal untuk COVID-19
Pada siaran pers yang sempat dirilis oleh BMKG dan tim peneliti yang telah disampaikan kepada Presiden dan beberapa Kementerian terkait pada tanggal 26 Maret 2020 lalu menunjukkan adanya indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran pandemi COVID-19. Dalam kajian berjudul ‘Pengaruh Cuaca dan Iklim Terhadap Penyebaran COVID-19’ BMKG menyebut bahwa COVID-19 tidak bisa bertahan dalam iklim tropis seperti di Indonesia yang memiliki suhu udara dan kelembaban yang tinggi.[12] Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, dalam kajian pihaknya juga menggunakan literatur yang telah berstatus peer-reviewed pada tahun 2011 terkait pandemi SARS COVID yang terjadi sebelumnya. Dalam literatur penelitian tersebut disebutkan, bahwa penyebaran virus tersebut dikontrol oleh lintang tinggi atau suhu dan kelembapan yang rendah. Sementara itu, Dwikorita mengemukakan bahwa sebagian besar literatur yang dikumpulkan dalam kajian BMKG berjudul ‘Pengaruh Cuaca dan Iklim Terhadap Penyebaran COVID-19’ tersebut merupakan hasil kajian baru antara bulan Januari hingga Maret 2020.
Lalu, kenapa kasus COVID-19 di Indonesia terus meningkat dari hari ke hari?
Tim peneliti BMKG dan UGM melakukan kajian dan mendapat hipotesis atau kajian sementara bahwa iklim bukan satu-satunya yang membuat penyebaran COVID-19 meluas. Iklim memang diduga menjadi salah satu faktor penyebaran COVID-19 pada gelombang pertama, namun ada faktor lain yang lebih kuat yang membuat penyebaran menjadi masif, yaitu demografi, mobilitas orang serta interaksi sosial dan intervensi kesehatan masyarakat. Gelombang ke-2 COVID-19 telah menyebar di Indonesia sejak awal Maret 2020 yang lalu diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh, daripada faktor cuaca dalam penyebaran gelombang pertama pandemi COVID-19 di Indonesia. Selain upaya pencegahan penularan virus COVID-19, pemerintah pun melakukan usaha pendeteksian potensi terinfeksi pada seseorang. Beberapa tes yang dilakukan oleh pemerintah dan tenaga kesehatan seperti Rapid Test dan Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan menguji sampel lendir (swab) harus didukung sepenuhnya untuk mempercepat deteksi COVID-19 yang ada pada masyarakat. Bahkan meskipun jika benar iklim tropis Indonesia dapat menghambat perkembangan COVID-19. Negara yang memiliki kombinasi karakteristik antara densitas manusia yang tinggi dan absennya respon kebijakan yang pro-aktif terhadap pandemi COVID-19 bisa mengakibatkan situasi outbreak, karena virus ini mudah menyebar dari manusia ke manusia.
Jadi, apa dong yang harus kita lakukan?
#DiRumahAja dan tetap #JagaJarak. Sungguh! Dengan kita tetap bertahan di tempat tinggal, tidak berkumpul dan berkerumun di ruang publik, menjaga kebersihan diri dan makan makanan sehat, kita sudah termasuk membantu kerja-kerja petugas kesehatan di garda terdepan untuk memperlambat laju penyebaran COVID-19 ini. Dengan diam di rumah, kita sudah melindungi sesama dan meminimalisir penyebaran yang dapat muncul di kerumunan, karena yang tampak sehat belum tentu bebas dari COVID-19. Patuhi imbauan untuk belajar, bekerja dan beribadah dari rumah. Meski berkegiatan di rumah, kita sesungguhnya masih bisa terhubung dengan dunia luar melalui berbagai cara. Tetap semangat untuk teman-teman yang harus keluar rumah dan tetap bekerja, tetap gunakan masker dan selalu peduli protokol kesehatan, demi kebaikan kita semua.
[1]M. Bannister-Tyrell. 2020. Preliminary evidence that higher temperatures are associated with lower incidence of COVID-19, for cases reported globally up to 29th February 2020. Sumber : https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.03.18.20036731v1 (not been peer-reviewed paper)
[2]Badan Pusat Statistik. 2015. Suhu Minimum, Rata-Rata, dan Maksimum di Stasiun Pengamatan BMKG (oC), 2011-2015. Sumber: https://www.bps.go.id/statictable/2017/02/09/1961/suhu-minimum-rata-rata-dan-maksimum-di-stasiun-pengamatan-bmkg-oc-2011-2015.html
[3] C. P. T. Marco. 2020. Exponential phase of covid19 expansion is not driven by climate at global scale. Sumber: https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.04.02.20050773v1 (not been peer-reviewed paper)
[4] Beals K. R. 2020. Trump Believes Coronavirus Will Vanish with April Temps — Experts Are Skeptical Warm Weather Alone is Enough. Sumber: https://www.marketwatch.com/story/trump-believes-coronavirus-will-vanish-with-april-temps-experts-are-skeptical-warm-weather-alone-is-enough-2020-03-12
[5] Tobing S. 2020. Luhut Sebut Virus Corona Tak Tahan Cuaca Panas, Ini Analisa Ilmiahnya. Sumber: https://katadata.co.id/berita/2020/04/03/luhut-sebut-virus-corona-tak-tahan-cuaca-panas-ini-analisa-ilmiahnya
[6] Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. 2020. Pengaruh Cuaca dan Iklim Terhadap Pandemi COVID-19. Sumber: https://www.bmkg.go.id/press-release/?p=pengaruh-cuaca-dan-iklim-terhadap-pandemi-covid-19&tag=press-release&lang=ID
[8] World Health Organization. 2020. Coronavirus Disease (COVID-19) Outbreak. Sumber: http://www.euro.who.int/en/health-topics/health-emergencies/coronavirus-covid-19
[9] World Health Organization. 2018. Influenza (Seasonal). https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/influenza-(seasonal)
[10] Chan K. H. et al. 2011. The Effects of Temperature and Relative Humidity on the Viability of the SARS Coronavirus. Sumber: https://www.hindawi.com/journals/av/2011/734690/
[11] Ebi L. K., et al. 2005. Climate Suitability for Stable Malaria Transmission in Zimbabwe Under Different Climate Change Scenarios. Sumber: https://www.researchgate.net/publication/226472976_Climate_Suitability_for_Stable_Malaria_Transmission_in_Zimbabwe_Under_Different_Climate_Change_Scenarios
[12]Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. 2020. Pengaruh Cuaca dan Iklim Terhadap Pandemi COVID-19. Sumber: https://www.bmkg.go.id/press-release/?p=pengaruh-cuaca-dan-iklim-terhadap-pandemi-covid-19&tag=press-release&lang=ID