Transisi energi menjadi hal penting yang harus segera dilakukan untuk menjamin keberlanjutan hidup manusia serta kelestarian alam. Penggantian bahan bakar dari fosil ke energi terbarukan akan menghasilkan energi yang lebih bersih. Diperlukan strategi dan peran lintas sektor agar upaya menghasilkan energi bersih berkeadilan dapat terwujud.
KOAKSI INDONESIA — Fenomena pemensiunan dini yang akan diterapkan kepada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan industri batu bara di Indonesia sudah menunjukkan kemajuan yang positif.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam siaran pers “Masa Transisi Energi Menuju Net Zero Emission”, pada Jumat, 18 Februari 2022 mengungkapkan bahwa transisi energi adalah rangkaian panjang menekan karbon perubahan iklim untuk meningkatkan pemanfaatan energi bersih.
“Minyak dan gas bumi serta batu bara akan menjadi sumber energi perantara sebelum digantikan dengan energi terbarukan di pembangkit listrik. Transisi energi juga menunjukkan komitmen Indonesia dalam mewujudkan teknologi yang terjangkau dan bersih untuk meningkatkan ekonomi berkelanjutan dan lebih hijau,” jelas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif.
Baca juga: Perempuan dalam Transisi Energi
Target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) Indonesia tahun 2025 yang diharapkan menjadi 23% mulai menunjukkan kemajuan positif. Hal ini dibuktikan dengan kajian yang dilakukan oleh Koaksi Indonesia mengenai perlunya upaya untuk memenuhi gap tersisa sebesar 32,7 GW untuk mencapai target EBT 23% pada tahun 2025. Upaya pemenuhan tersebut dapat diwujudkan dengan penggunaan sumber energi terbarukan seperti sumber daya air, bioenergi, panas bumi, tenaga surya, dan bayu/angin. Berita pensiun dini PLTU dan industri batu bara merupakan kabar yang melegakan sekaligus membuat tanda tanya besar. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana mengupayakan semua sektor untuk dapat mewujudkan target transisi energi ini.
Menelisik dari kegiatan seminar hibrid “Sunset Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Industri Batubara: Meninjau Arah & Dampak Multisektoral” yang dilakukan Institute for Essential Services Reform (IESR) pada 27 September 2023, Fabby Tumiwa selaku Direktur IESR menyatakan bahwa permintaan batu bara domestik akan mencapai puncaknya pada 2030 dan tahun selanjutnya mulai mengalami penurunan signifikan. Hal ini diperkuat dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2022 terkait Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, Pemerintah menyatakan tidak berencana membangun PLTU baru dan hanya akan menghabiskan rencana pembangunan dengan PLN yang memang sudah disepakati jauh sebelumnya.
“Selain faktor domestik, faktor luar seperti negara target ekspor batu bara Indonesia yakni Tiongkok dan India, sudah mulai melakukan peak emission. Tiongkok sendiri sudah mulai membatasi impor batu bara demi mencapai tujuan net zero emission tahun 2060. Begitu juga dengan negara ekspor lainnya seperti India, Malaysia, Vietnam, dan Filipina akan beralih pada energi bersih tahun 2030. Konsekuensinya adalah Indonesia harus melakukan penurunan produksi batu bara dan membutuhkan 5–10 tahun untuk penyesuaian diri,” tambah Fabby.
Baca juga: Menakar PP Nomor 33 Tahun 2023 Tentang Konservasi Energi
Hadir pula beberapa pembicara; Nizhar Marizi, Ph.D. dari perwakilan Bappenas, Dr. Ahmad Subhan, S.IP., M.Si. selaku perwakilan Bappeda Jambi, Dosen Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Dr. Haris Retno Susmiyati, S.H., M.H. mewakili akademisi, serta Grita Anindarini dari Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) selaku perwakilan CSO.
Nizhar Marizi dari Bappenas mengungkapkan strategi alternatif yang lebih berkelanjutan masih akan ditinjau dan diperlukan pendanaan/full fund untuk melakukan transisi energi di daerah. Sementara itu, Dr. Ahmad Subhan menambahkan bahwa Provinsi Jambi turut mendukung penuh kegiatan transisi energi, meski menurutnya tidak perlu terburu-buru karena membutuhkan proses yang panjang dan terencana.
“Masyarakat Kalimantan itu sudah sangat kreatif, dari awal mula eksploitasi kayu kemudian kayunya habis ada muncul biogas, beralih lagi ke ekstraksi batu bara. Sekarang batu bara sudah mau ditutup, masyarakat harus bagaimana lagi? Selama ini proses pendanaan terkait perubahan iklim itu tidak pernah memperhatikan faktor risiko yang diterima masyarakat. Sekarang jika terjadi banjir, krisis pangan dan sumber air, masyarakatlah yang menanggung risiko tersebut,” ujar Dr. Haris Retno Susmiyati.
Sementara Grita menambahkan, “Masalah terberat dari transisi energi adalah bagian realisasinya, boleh jadi kebijakannya ada, namun tidak cukup bijak dalam pengaplikasiannya.”
Baca juga: Bisakah Target Energi Baru dan Terbarukan Tahun 2025 Tercapai?
Sebagai perwujudan proses panjang tersebut, perjanjian terkait pendanaan transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP) di Indonesia resmi membentuk badan kesekretariatan. Dilansir dari pernyataan Kementerian ESDM, tujuan Sekretariat JETP adalah mengembangkan energi bersih, percepatan pensiun dini PLTU batu bara, dan peningkatan program pengembangan industri pendukung EBT.
Sebelumnya pada KTT Pemimpin G20 di Bali November 2022, Indonesia mendapat dukungan pendanaan awal dalam perjanjian JETP dari negara-negara anggota International Partners Group (IPG) sebagai upaya mewujudkan transisi sektor energi di Indonesia. Pendanaan sebesar 20 miliar dolar AS atau setara 310 triliun rupiah yang diserahkan melalui Sekretariat JETP ini akan digunakan dalam periode waktu tiga sampai lima tahun mendatang.
Pada intinya, kebijakan penutupan PLTU dan industri batu bara merupakan langkah yang tepat untuk dilakukan. Kajian yang dilakukan Koaksi Indonesia menunjukkan, upaya transisi energi akan menjadi peluang besar dalam perwujudan capaian pengurangan emisi di Indonesia mengingat emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari sektor energi merupakan salah satu yang terbesar. Sekalipun masih banyak tantangan, peluang dari kebijakan transisi energi ini mulai menunjukkan peluang positif. Perlu dipastikan lagi upaya mitigasi dan adaptasi yang matang dari berbagai sektor baik pemerintah, akademisi, perusahaan/industri maupun keterlibatan masyarakat secara luas. Dengan demikian, tidak ada pihak mana pun yang merasa dirugikan serta kebermanfaatan dari kebijakan ini dapat dirasakan bersama.