Pengelolaan energi dengan menerapkan konsep keadilan sudah ada payung hukumnya. Namun, ketidakadilan masih terus terjadi. Penerapan 4 prinsip transisi energi berkeadilan seharusnya dapat mengatasi masalah itu.
Baca juga: Lika-liku Transisi Energi yang Berkeadilan
KOAKSI INDONESIA — Untuk mewujudkan visinya sebagai lembaga terdepan yang mendorong energi bersih dan berkelanjutan, Koaksi Indonesia senantiasa aktif melakukan berbagai upaya mendorong akselerasi transisi energi yang inklusif dan berkeadilan baik dengan terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat, melakukan advokasi maupun kampanye.
Sebagai contoh, Koaksi Indonesia membantu revitalisasi Pembangkit Listrik Mikro Hidro (PLTMH) di Desa Air Tenam, Kecamatan Ulu Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu, yang sempat berhenti beroperasi karena banjir bandang.
Dalam upaya advokasi, Koaksi Indonesia secara aktif menghasilkan kajian dan analisis komprehensif terkait transisi energi. Salah satunya, studi Green Jobs dan Potensinya dalam Transisi Energi di Indonesia, yang menunjukkan bahwa transisi energi memiliki dampak positif menciptakan lapangan pekerjaan hijau di Indonesia.
Melalui kampanye, Koaksi Indonesia aktif mengedukasi masyarakat, terutama generasi muda, agar mereka dapat memainkan peran dalam menciptakan perubahan sistemik yang diperlukan untuk mempercepat transisi energi yang inklusif, adil, dan berkelanjutan. Seperti pelaksanaan Youth Leaders Program 2023 baru-baru ini yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas generasi muda Indonesia dalam mendukung pemulihan ekonomi berkelanjutan dengan fokus pada penciptaan pekerjaan hijau yang terkait dengan transisi energi di Indonesia.
Payung Hukum Transisi Energi Berkeadilan
Konsep pengelolaan energi yang memegang prinsip berkeadilan sebenarnya telah diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Energi dan Kebijakan Energi Nasional (KEN). UU Energi Pasal 2 menyebutkan bahwa salah satu asas pengelolaan energi adalah efisiensi berkeadilan, yang dalam undang-undang ini didefinisikan sebagai pemerataan akses terhadap energi dengan harga ekonomis dan terjangkau.
Kemudian, KEN Pasal 2 dan 6 menegaskan kembali bahwa kebijakan energi nasional merupakan kebijakan pengelolaan energi berdasarkan prinsip berkeadilan. Ketercapaian prinsip ini ditandai dengan masyarakat memiliki akses energi secara adil dan merata.
Bentuk Ketidakadilan dalam Sistem Energi
Penggunaan kerangka keadilan energi sebagai alat kebijakan bertujuan untuk menganalisis bagaimana sistem energi yang sekarang diterapkan berperan dalam menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat, khususnya kelompok rentan dan marjinal, dan bagaimana keadilan dapat diwujudkan, terutama dalam konteks transisi energi.
Ketidakadilan dalam sistem energi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti ketimpangan penguasaan sumber daya alam, ketimpangan politik dan ekonomi, faktor geografis, ketidakadilan generasi, ketidakadilan gender dan kelompok rentan, serta perampasan ruang demokrasi dan partisipasi publik.
Contoh ketimpangan penguasaan sumber daya alam tercermin dari data WALHI dan Auriga, yang menunjukkan bahwa dari total 39,9 juta hektar lahan yang dialokasikan oleh pemerintah, hanya 3,1 juta hektar (8%) yang diperuntukkan bagi masyarakat, sementara sebagian besar, yaitu 36,8 juta hektar (92%), dikuasai perusahaan-perusahaan (korporasi). Dari jumlah tersebut, sebanyak 0,5 juta hektar lahan digunakan untuk izin pinjam pakai kegiatan pertambangan.
Baca juga: Perkembangan Kebijakan Energi dan Kedudukan Energi Terbarukan di Indonesia Saat Ini
Ketimpangan politik dan ekonomi di Indonesia termanifestasi dalam fakta bahwa pihak yang telah lama menjadi penyumbang besar emisi cenderung memengaruhi kebijakan publik, melalui berbagai intervensi dalam regulasi di tingkat daerah dan nasional, untuk kepentingan mereka sendiri, sambil tetap menjalankan aktivitas industri ekstraktif yang merugikan masyarakat lokal dan adat. Di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, misalnya, terdapat banyak perusahaan tambang nikel ilegal. Praktik ini terus berlangsung dengan dukungan pejabat daerah dan pusat yang duduk sebagai komisaris perusahaan-perusahaan ini. Bahkan, beberapa perusahaan tambang yang dimiliki oleh politikus dan pejabat mendapat perlindungan dari aparat kepolisian.
Selanjutnya, pengaruh faktor geografis terhadap ketidakadilan dalam sistem energi merujuk pada ketidaksetaraan akses, manfaat, dan dampak dari upaya transisi energi di berbagai wilayah geografis. Ketidakadilan geografis dapat mengakibatkan beberapa daerah atau kelompok masyarakat terdampak lebih parah atau lebih bermanfaat daripada yang lain. Salah satu contohnya, kebijakan energi yang cenderung sentralistis mengakibatkan wilayah Jawa-Bali kelebihan pasokan listrik, sedangkan di wilayah lain, seperti Indonesia bagian timur, terutama Provinsi Papua dan Nusa Tenggara Timur masih banyak rumah tangga dan desa yang belum teraliri listrik.
Ketidakadilan generasi dalam konteks transisi energi merujuk pada ketidaksetaraan dalam dampak dan manfaat transisi energi antara generasi yang berbeda. Dengan kata lain, keputusan dan tindakan saat ini terkait energi akan memiliki dampak jangka panjang yang akan dirasakan oleh generasi masa depan. Ketidakadilan generasi dapat terjadi ketika generasi masa kini mengambil keuntungan dari sumber energi yang tidak berkelanjutan dan berkontribusi pada perubahan iklim. Akibatnya, generasi yang akan datang menghadapi dampak negatif yang lebih besar. Misalnya, ketergantungan sektor ketenagalistrikan nasional pada pembangkit listrik tenaga batu bara telah menyebabkan tingginya emisi karbon dioksida dan polusi udara. Generasi saat ini mungkin mengambil keuntungan dari sumber energi yang cenderung murah ini, namun generasi masa depan akan menanggung akibatnya berupa dampak perubahan iklim yang lebih parah.
Berkaitan dengan kelompok gender dan masyarakat rentan, ketidakadilan dalam sistem energi mengacu pada ketidaksetaraan akses, manfaat, dan dampak dari transisi energi antara berbagai kelompok gender dan masyarakat rentan. Artinya, dalam upaya untuk mengadopsi energi yang lebih berkelanjutan, sejumlah kelompok, mungkin mengalami dampak yang lebih besar atau kesulitan dalam mendapatkan manfaat dari transisi tersebut. Misalnya hingga saat ini hanya 5% perempuan Indonesia yang menduduki jabatan strategis, termasuk pengambil keputusan di sektor energi.
Ketidakadilan selanjutnya tercermin dari sempitnya ruang demokrasi dan partisipasi, yang membuat proses pengambilan keputusan di sektor energi rentan disalahgunakan oleh aktor politik. Sebagai contoh, pembangunan Rempang Eco City di atas lahan seluas 17.000 hektar, yang terdiri dari tujuh zona dan salah satunya mencakup zona hutan dan pembangkit listrik tenaga surya, telah mengancam 16 kampung adat dengan penggusuran. Upaya warga untuk mempertahankan tempat tinggal mereka menyebabkan bentrokan dengan aparat gabungan TNI dan kepolisian, yang berujung pada penangkapan enam warga dan perempuan beserta anak-anak menjadi korban tembakan gas air mata.
4 Prinsip Transisi Energi Berkeadilan
Salah satu upaya mengatasi ketidakadilan dalam sistem energi melalui pelaksanaan transisi energi berkeadilan. Dalam kerangka teori mengenai keadilan energi, terdapat tiga prinsip yang banyak digunakan oleh literatur, yaitu keadilan distributif, rekognitif, dan prosedural. Dalam perkembangannya, terdapat tambahan, yaitu prinsip keadilan korektif untuk menguatkan implementasi transisi energi berkeadilan.
- Keadilan distributif berkaitan dengan memastikan bahwa manfaat dan kerugian sistem energi didistribusikan secara merata kepada seluruh anggota masyarakat. Dengan menerapkan keadilan distributif, pemerintah dapat memastikan bahwa manfaat dari sumber daya energi didistribusikan secara merata kepada seluruh lapisan masyarakat. Ini berarti memastikan akses yang setara terhadap sumber daya energi, mengurangi ketidakadilan ekonomi, dan meratakan ketimpangan geografis.
- Prinsip keadilan rekognitif untuk mengakui kelompok yang mungkin diabaikan dalam pengambilan keputusan terkait energi. Dengan melaksanakan prinsip ini berarti mengakui hak individu untuk diwakili secara adil dan mempertimbangkan kebutuhan serta kepentingan kelompok-kelompok rentan yang sering terpinggirkan.
- Keadilan prosedural berperan untuk memastikan bahwa prosedur yang digunakan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi di sektor energi adalah adil dan melibatkan semua pemangku kepentingan tanpa diskriminasi. Ini akan membantu memastikan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, memerangi ketidakadilan politik, dan meningkatkan transparansi.
- Keadilan korektif berfokus pada tanggung jawab mutlak bagi pihak yang menyebabkan emisi atau kerusakan lingkungan. Dalam konteks ini, pemerintah dan perusahaan harus bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas mereka dan harus memberikan perbaikan dan kompensasi yang diperlukan.
Dengan menerapkan berbagai prinsip keadilan ini, Indonesia dapat mencapai tujuan transisi energi yang adil dan berkelanjutan. Dengan demikian, Indonesia dapat mengatasi ketidakadilan dalam sistem energi sekaligus memastikan bahwa seluruh masyarakat dapat menikmati manfaat transisi energi.
Baca juga: Ruang Aksi 5: Masa Depan Biodiesel yang Berkelanjutan dan Berkeadilan