Koaksi Indonesia diwakili oleh Direktur Program Verena Puspawardani turut serta menjadi bagian pada acara Plus Minus yang diselenggarakan CNN Indonesia dalam menghangatkan kontestasi debat calon wakil presiden (cawapres) bertemakan “Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat, dan Desa”, Minggu, 21 Januari 2024.
KOAKSI INDONESIA–Acara Plus Minus yang dipandu oleh Senior Assignment Editor CNN Indonesia Iman D. Nugroho itu turut mengundang Manajer Kampanye WALHI Nasional Uli Arta dan Koresponden Senior CNN Indonesia Yogi Tujuliarto sebagai penanggap.
Membuka acara, sebagai pemanasan, Iman bertanya kepada para penanggap terkait isu penting yang perlu dibahas dalam debat.
Verena mengatakan, visi dan misi yang telah ditetapkan para pasangan calon (paslon) akan memengaruhi ketercapaian target kebijakan nasional dan Indonesia Emas Tahun 2045. Menurutnya, dalam konteks penanganan perubahan iklim, Indonesia memiliki target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2030 yang ditetapkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dan Net Zero Emission (NZE).
“Sebagai contoh, visi dan misi para paslon di sektor energi termasuk untuk melakukan transisi energi berkeadilan perlu diterjemahkan dalam kebijakan dan strategi yang jelas dan konsisten sehingga pembahasan transisi energi berkeadilan seperti pengelolaan mineral terutama nikel perlu dibahas dalam debat kedua cawapres malam ini,” jelas Verena.
Penanggap lainnya, Uli, menjelaskan bahwa klaim “hijau” yang sering dikampanyekan oleh para paslon perlu menjadi perhatian utama masyarakat agar tidak terjebak dalam solusi palsu.
“Visi dan misi para paslon memang memasukkan konsep ekonomi hijau. Akan tetapi, klaim “hijau” tersebut perlu ditinjau lebih jauh, seperti pelaksanaannya harus menjamin lingkungan hidup tetap lestari serta memperhatikan kebutuhan, kepentingan, dan hak kelompok rentan. Strategi para paslon untuk mewujudkan ekonomi hijau yang mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial perlu menjadi topik debat malam ini,” ungkap Uli.
Baca Juga: Pajak Karbon Sebagai Alat Kebijakan untuk Mengatasi Perubahan Iklim: Implikasi dan Implementasi
Tidak kalah menarik, Yogi mengatakan bahwa perencanaan para paslon terkait pemenuhan akses dan pengelolaan sumber daya pangan, air, dan energi perlu menjadi materi debat kedua cawapres.
“Sejauh ini upaya mengatasi masalah atau isu lingkungan hidup masih bersifat normatif. Pengelolaan sumber daya alam terutama pangan, air, dan energi perlu direncanakan secara matang. Debat kedua cawapres malam ini perlu membahas strategi para paslon untuk mengelola ketiga sumber daya tersebut agar manfaatnya bisa dirasakan oleh semua orang,” kata Yogi.
Strategi Paslon terhadap Pembangunan Rendah Karbon
Acara Plus Minus dilanjutkan dengan menonton debat kedua cawapres yang disiarkan langsung dari Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat.
Segmen kedua membahas topik terkait strategi pengarusutamaan pembangunan rendah karbon yang berkeadilan, upaya mengatasi korupsi tambang, serta langkah menanggulangi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan (gizi) masyarakat.
Selanjutnya, pertanyaan dari panelis debat yang dibahas pada segmen ketiga adalah upaya pemenuhan hak masyarakat adat, strategi meningkatkan minat masyarakat untuk tinggal dan membangun desa, serta rencana mewujudkan reforma agraria yang adil, berkelanjutan, dan inklusif.
Meskipun pertanyaan tersebut telah disusun dengan substansi yang memadai, namun jawaban dari para paslon masih terkesan gimik serta belum memberikan klarifikasi yang jelas dan konkret terhadap isu tersebut.
Sebagai contoh ketika jeda iklan antara segmen kedua dan ketiga, Verena berkomentar bahwa jawaban para paslon terhadap pertanyaan panelis debat belum menggambarkan strategi atau program kerja untuk mengatasi masalah di lapangan.
“Pada segmen pertama, Paslon Nomor 02 menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 3.686 gigawatt (GW). Paslon Nomor 02 juga menyatakan bahwa ekonomi hijau berpotensi menciptakan 19 juta lapangan pekerjaan dan 5 juta dari jumlah tersebut merupakan green jobs. Akan tetapi, para paslon belum menjelaskan langkah konkret untuk mengoptimalkan peluang tersebut. Bahkan ketika menjawab pertanyaan dari panelis debat, para paslon belum menjelaskan rencana yang solutif dan konkret,” tegas Verena.
Baca Juga: Perumusan Koperasi Hijau Dukung Pembiayaan Iklim
Hirilisasi menjadi Strategi yang Sering Digaungkan
Verena melanjutkan, hilirisasi sebagai salah satu strategi yang sering disebut dalam debat kedua cawapres belum dijelaskan secara rinci.
“Hilirisasi merupakan salah satu upaya mewujudkan ekonomi hijau. Akan tetapi, sejauh ini praktik hilirisasi di lapangan menunjukkan dampak yang merugikan bagi masyarakat. Debat kedua cawapres seharusnya menjadi kesempatan para paslon untuk menjelaskan rencana pelaksanaan hilirisasi secara komprehensif. Sebagai contoh, para paslon seharusnya dapat menerjemahkan pelaksanaan hilirisasi tersebut dalam bentuk strategi atau program kerja yang dapat mendukung target kebijakan nasional seperti NZE,” lanjut Verena.
Uli juga mengomentari jawaban para paslon belum solutif untuk mengatasi masalah saat ini. Misalnya, salah satu paslon menyebutkan bahwa pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) merupakan langkah mengatasi korupsi di sektor pertambangan. Pencabutan tersebut belum dapat dikatakan sebagai solusi. Sejauh ini pencabutan IUP dilakukan karena perusahaan sudah tidak beroperasi, bukan lantaran adanya praktik korupsi atau tambang ilegal.
“Korupsi di sektor pertambangan menimbulkan kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan. Pencabutan IUP belum menyelesaikan kedua masalah tersebut. Dalam konteks ini, hilirisasi yang diusung oleh para paslon berpotensi melanggengkan masalah-masalah saat ini dan menimbulkan dampak baru yang merugikan. Masyarakat perlu meninjau lebih dalam terkait rencana tersebut agar hilirisasi tidak dilaksanakan secara ugal-ugalan dan intimidatif,” jelas Uli
Yogi menambahkan, rencana hilirisasi juga perlu mempertimbangkan kontribusinya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Hilirisasi yang direncanakan oleh para paslon perlu berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat dan ekonomi lokal sehingga manfaat hilirisasi dapat dirasakan oleh masyarakat secara langsung,” kata Yogi.
Baca Juga: Tindakan Adaptasi Iklim dengan Memanfaatkan Potensi HHBK
Debat cawapres kedua juga memberikan kesempatan kepada para paslon untuk bertanya kepada paslon lainnya. Pada momen tersebut terdapat dua topik debat yang berkaitan dengan transisi energi berkeadilan.
Pertama, pertanyaan terkait baterai lithium ferro-phosphate (LFP) atau litium besi fosfat yang digunakan kendaraan listrik. Pertanyaan tersebut diajukan oleh Paslon Nomor 02 kepada Paslon Nomor 01.
Menurut Verena, baterai LFP merupakan teknologi yang sudah ada sejak 1990-an. Kendaraan listrik dapat berperan untuk mempercepat transisi energi berkeadilan. Baterai LFP sebagai salah satu komponen kendaraan listrik merupakan hal yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan transisi energi berkeadilan.
“Sebagai contoh, seluruh rantai pasok kendaraan listrik perlu menerapkan prinsip keberlanjutan. Di sektor hulu, para paslon perlu menetapkan rencana pengelolaan mineral di Indonesia agar memenuhi kebutuhan (demand) kendaraan listrik yang semakin meningkat. Di sektor hilir, para paslon perlu merencanakan strategi penjualan komoditas mineral atau kendaraan listrik untuk meningkatkan ekonomi masyarakat,” jelas Verena.
Senada dengan tanggapan tersebut, Uli menanggapi bahwa jawaban dan tanggapan para paslon belum menjelaskan bagaimana aspek teknologi seperti baterai kendaraan listrik dapat mempercepat transisi energi berkeadilan.
“Masyarakat memiliki praktik baik di tingkat lokal untuk melindungi alam. Pembukaan tambang baru untuk produksi baterai dan kendaraan listrik berpotensi menghilangkan praktik baik tersebut sekaligus merusak alam. Para paslon seharusnya menyampaikan strategi mereka untuk mengoptimalkan praktik baik berbasis lokal guna mendukung transisi energi berkeadilan,” kata Uli.
Yogi merespons, debat kedua cawapres sebaiknya menjadi ajang untuk mengkritisi gagasan satu sama lain. Pada kesempatan tersebut para paslon seharusnya menjelaskan terobosan aspek teknologi untuk mewujudkan transisi energi berkeadilan.
“Baterai LFP merupakan salah satu teknologi pendukung kendaraan listrik. Para paslon seharusnya memaparkan strategi mereka menciptakan inovasi teknologi agar produksi kendaraan listrik tidak bergantung terhadap satu komoditas saja,” ungkap Yogi.
Greenflation, Inflasi Kebijakan Iklim
Topik debat lainnya yang berkaitan dengan transisi energi berkeadilan adalah greenflation. Pertanyaan terkait greenflation diajukan oleh Paslon Nomor 02 kepada Paslon Nomor 03.
Verena menjelaskan bahwa greenflation merupakan komponen inflasi yang dipengaruhi oleh kebijakan iklim.
“Salah satu upaya mengatasi perubahan iklim adalah melalui transisi energi berkeadilan. Pada tahap awal transisi energi berkeadilan memerlukan biaya besar sehingga berpotensi mengakibatkan inflasi (kenaikan harga). Akan tetapi, perencanaan pengelolaan sumber daya alam yang optimal dapat mengurangi risiko inflasi tersebut,” kata Verena.
Setuju dengan tanggapan tersebut, Uli menjawab bahwa evaluasi pelaksanaan pembangunan terutama dampak negatif terhadap aspek ekonomi dan lingkungan dapat menjadi pembelajaran untuk periode selanjutnya.
“Risiko inflasi akibat kebijakan iklim atau kebijakan transisi energi berkeadilan perlu dipertimbangkan sejak tahap perencanaan. Hasil evaluasi melalui tindakan korektif terhadap pelaksanaan pembangunan sebelumnya dapat menjadi pembelajaran untuk periode selanjutnya. Dengan demikian, dampak merugikan yang mungkin muncul termasuk risiko inflasi dapat dicegah,” ungkap Uli.
Sebagai media massa, Yogi menanggapi bahwa masyarakat merupakan salah satu subjek utama yang perlu dilibatkan dalam proses mengatasi masalah lingkungan hidup. Akan tetapi, kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap isu lingkungan hidup relatif masih rendah. Salah satu alasannya karena diskusi isu lingkungan sering menggunakan istilah atau bahasa yang sulit dipahami masyarakat.
“Munculnya “greenflation” menjadi contoh nyata bahwa diskusi isu lingkungan hidup sering menggunakan istilah yang sulit dipahami. Para paslon seharusnya lebih fokus mengedukasi masyarakat terkait program kerja mereka, ketimbang mengajukan pertanyaan terkait istilah baru yang sulit dipahami,” jelas Yogi.
Acara ini ditutup dengan kesimpulan bahwa masyarakat perlu meninjau secara mendalam visi dan misi para paslon untuk mengatasi masalah dan mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pengecekan fakta (fact checking) melalui sumber atau lembaga yang kredibel. Tujuannya agar masyarakat tidak terjebak dalam kampanye solusi palsu yang justru berpotensi memperparah kerusakan lingkungan saat ini.