Bonus demografi Indonesia seringkali dianggap menjadi sebuah tantangan. Padahal, jika ingin mendorong terjadinya perubahan, Indonesia hanya perlu mengubah tantangannya tersebut menjadi peluang. Statistik Pemuda Indonesia 2019 menyatakan bahwa Indonesia diharapkan dapat meraup keuntungan dari bonus demografi, dimana penduduk yang produktif lebih banyak daripada penduduk yang tidak produktif terhitung mulai tahun 2020 sampai dengan tahun 2035. Indonesia dapat memperoleh keuntungan itu jika mampu meningkatkan daya saing anak muda di tingkat regional dan global, melalui, salah satunya, menyediakan akses yang lebih baik ke pendidikan tinggi dan peluang kerja berkualitas tinggi, termasuk salah satunya dari sektor energi terbarukan.
Anak muda perlu memiliki kesadaran, minat, dan kemauan dengan mengambil tindakan melalui berbagai cara, salah satunya menyediakan akses informasi yang luas terkait manfaat kehadiran energi terbarukan yang bisa diperoleh masyarakat, mulai dari ketersediaan air bersih dan sanitasi, akses informasi dan pendidikan, peningkatan ekonomi lokal, literasi keuangan, hingga ketahanan pangan. Dalam upaya penyediaan akses informasi inilah, Selasa (03/11) lalu, Koaksi Indonesia berkolaborasi dengan Uni Eropa menyelenggarakan talkshop dan workshop yang mengangkat topik “Green Jobs: Ini Baru Peluang Kerjanya Anak Muda untuk Indonesia yang Lebih Bersih”.
Kedua acara ini dilakukan dalam satu rangkaian acara dan menjadi bagian dari kegiatan tahunan Climate Diplomacy Week (Pekan Diplomasi Iklim) 2020 oleh Uni Eropa, bertajuk “Act Today for Our Tomorrow”, dimulai sejak 24 Oktober hingga 6 November 2020. Koaksi berkontribusi untuk mengisi tema A Greener Economy, yang mengelaborasi pilihan yang kita buat sekarang akan membentuk masa depan yang lebih cerah dan berkelanjutan. Talkshop dan workshop ini dilaksanakan secara virtual dan disiarkan langsung di kanal Youtube Koaksi Indonesia, dengan melibatkan narasumber dari berbagai latar belakang, serta 27 kolaborator dari berbagai organisasi anak muda di seluruh Indonesia.
“Koaksi mengangkat isu peluang kerja masa depan dalam kegiatan ini karena memperkenalkan green jobs di fase Adaptasi Baru adalah krusial dan menjadi langkah awal agar pekerjaan ini menjadi pilihan utama anak muda Indonesia. Dengan terjun ke green jobs, anak muda akan memiliki keunggulan kompetitif merespon pandemi global dan gelombang perubahan iklim yang lebih besar. Bahkan anak muda Indonesia bisa menjadikan pekerjaan ini identitas dan kebanggaan diri karena turut berkontribusi pada dampak sosial yang lebih baik dan sekaligus mengurangi tekanan buruk pada alam Indonesia,” jelas Verena Puspawardani, Direktur Program, Koaksi Indonesia.
Dalam acara talkshop, peserta mendapatkan inspirasi dari para praktisi green jobs secara langsung, yaitu Tiza Mafira, Associate Director Climate Policy Initiative; Dally Chaerul Shaffar, Business Director Biops Agrotekno; Ratu Ommaya, Head of Marketing Communication The Body Shop Indonesia; Daniel Sibbald, Chief Marketing Officer Sinari; dan Denia Isetianti, Co-founder Cleanomic. Sedangkan pada acara workshop, mereka yang mengejar impian mengembangkan start-up energi terbarukan mendapatkan sesi khusus penajaman ide dan bagaimana menyampaikan ide secara atraktif dari Aditya Mulya Pratama, Manajer Program New Energy Nexus Indonesia; Trio Aditia, Indo Electric Instrument; Aki Soehartono, Inovasi Dinamika Pratama; dan Azis Kurniawan, Manajer Riset dan Pengembangan, Koaksi Indonesia.
Di sesi talkshop, Tiza Mafira, Associate Director Climate Policy Initiative menjelaskan pentingnya penanganan krisis iklim untuk mencapai ketahanan dan bagaimana dalam proses tersebut akan menciptakan lapangan-lapangan pekerjaan yang baru. Dia menyampaikan kondisi Indonesia saat ini sedang berada di tengah-tengah krisis pandemic Covid-19 dan ekonomi Indonesia sedang mengalami resesi. Di balik persoalan itu, Indonesia juga masih memiliki krisis lain, yaitu krisis iklim. “Perekonomian di Asia Tenggara akan menerima dampak terparah dari krisis iklim karena perekonomian di Asia Tenggara banyak bergantung pada perkebunan (agriculture) oleh karena itu kita harus melihat kepada masa depan yang tidak lagi bergantung pada ekonomi yang memperparah krisis iklim” ujar Tiza.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk membentuk ekonomi yang berdaya tahan terkait krisis iklim yang tidak dapat diprediksi. Pertama, dengan dekarbonisasi ekonomi; kedua dengan mendorong green jobs melalui berbagai kebijakan; ketiga dengan mendiversifikasi dan mendesentralisasi kebutuhan dasar (essential needs) untuk menciptakan lebih banyak pekerjaan. “Kebutuhan dasar di Indonesia diupayakan untuk tidak bergantung lagi dengan negara lain (impor). Apabila kita dapat mandiri dalam menyediakan kebutuhan mendasar, ketika terjadi shock terhadap sistem atau terjadi krisis kita masih dapat survive. Energi adalah salah satu kebutuhan dasar yang masih didominasi oleh salah satu sumber. Jika kita diversifikasi energi ke energi terbarukan kita dapat memiliki beberapa opsi (air, angin, solar) dan apabila kita bisa desentralisasi kita punya pilihan off-grid dalam memenuhi kebutuhan energi. Kita ingin pemerintah memahami masa depan adalah milik industri-industri, UKM, profesi yang green jadi kita tidak ingin melihat investasi publik/swasta yang berinvestasi di dirty industries.” tegas Tiza.
Ketahanan pangan juga menjadi masalah serius di Indonesia, Dally Chaerul Shaffar selaku Business Director dari Biops Agrotekno yang merupakan salah satu start-up energi terbarukan di bidang irigasi pintar, menjelaskan kondisi ketahanan pangan Indonesia yang dikategorikan memiliki serious problem oleh Global Hunger Index 2019. Artinya, kita memiliki permasalahan pemenuhan pangan yang sangat serius. “Dari segi kuantitas Indonesia masih belum bisa memenuhi kebutuhan pangan, apalagi dari segi kualitasnya” ujar Dally.
Masih dari penjelasan Dally, dari seluruh air yang tersedia di Indonesia, 80,5 persen digunakan hanya untuk aktivitas agricultural purposes atau food production sector. “Sedangkan kita masih membutuhkan air untuk kebutuhan-kebutuhan lain seperti sanitasi, air minum, dan untuk perindustrian. Hal ini menunjukan agriculture di Indonesia dalam proses produksi pangan masih unsustainable.” terang Dally. Untuk itu Biops Agrotekno mencoba mengimplementasikan teknologi di sektor pertanian demi membantu para petani Indonesia untuk mengatasi permasalahan ketahanan pangan yang tengah terjadi dengan indikator sustainable agriculture.
Tidak hanya berlaku pada organisasi nirlaba dan usaha rintisan, di sektor bisnis retail yang sudah cukup mapan, Ratu Ommaya dari The Body Shop Indonesia menceritakan pengalamannya mengenai bagaimana The Body Shop menerapkan sustainability dalam proses produksinya. “Produk The Body Shop masuk ke dalam kategori sustainable product karena packaging merupakan plastik hasil daur ulang yang dapat didaur ulang lagi, lalu paper bags yang digunakan terbuat dari kertas daur ulang dan tintanya berbahan dari serat kedelai, setelah itu untuk online buyers, The Body Shop menggunakan box daur ulang dan tidak lagi menggunakan plastik atau bubble wrap untuk pengemasan.” jelas Ratu.
Tidak hanya menjalankan konsep sustainable dalam menjalankan bisnisnya, The Body Shop juga memperkenalkan dan menerapkan waste responsibility dalam aktivitas internal perusahaan. Bangunan kantor The Body Shop Indonesia telah dinobatkan menjadi Green Office, dimana sumber energi listriknya disuplai dari panel surya. Selain itu, para karyawan yang bekerja dikantor diwajibkan menjalani waste responsibility. “Waste responsibility ini akhirnya menjadi sebuah habbit yang dapat ditularkan di rumah dan lingkungan disekitarnya. The Body Shop Indonesia sejak 2008 juga memiliki program bring back our bottles sebagai upaya tanggung jawab atas kemasan produk yang dibeli oleh customer juga sebagai upaya edukasi untuk para customer kami” terang Ratu.
Sementara itu, isu akses energi di daerah rural juga patut mendapat perhatian. Daniel Sibbald dari Sinari, sebuah start-up energi terbarukan untuk masyarakat di wilayah rural menyampaikan bagaimana kondisi daerah-daerah terpencil yang masih memiliki keterbatasan akses listrik yang akhirnya membuat para petani daerah tidak dapat meningkatkan perekonomian mereka. “Mereka tidak dapat menambahkan komoditas mereka, tidak mendapatkan akses informasi yang ada di pasaran, yang pada akhirnya mereka menjual produk dengan harga murah kepada pengepul (unfair trade). Sinari memberikan solusi dengan membangun rumah pengolahan yang di elektrifikasi oleh tenaga matahari untuk mengatasi permasalahan akses listrik guna meningkatkan stabilitas hidup petani dari pendapatan, kuantitas, dan dapat membuka lahan pekerjaan untuk komunitas masyarakat lokal ” jelas Daniel.
Menutup sesi talkshop, Denia Isetianti dari Cleanomic berbagi pengalamannya bagaimana ia menjalankan gaya hidup yang ramah lingkungan. Denia menyampaikan bahwa semua inisiatif bisa berawal dari rumah. “Dapat dimulai dengan menerapkan zero waste dalam keseharian kita, upaya ini dapat dilakukan dengan memilah sampah di kantor, menyediakan galon untuk isi ulang air minum dan ajak staff bawa tumbler, menyisihkan profit untuk #bluecarbon, dan spread green message to customer. Menggunakan brand lokal yang menerapkan proses produksi ramah lingkungan dan melakukan sustainable investment dengan melakukan investasi ke perusahaan atau proyek-proyek yang ramah lingkungan” papar Denia.
Denia bahkan telah berhasil mewujudkan cita-citanya membangun rumah ramah lingkungan, yang salah satu fiturnya adalah penggunaan solar panel sehingga mampu menghemat tagihan listrik hingga 40 persen. Denia juga berpesan bahwa di era konten digital yang membanjiri media sosial saat ini, kita harus mampu mengimbangi konsumsi konten dengan informasi-informasi yang bermanfaat. “Kalau kamu tidak tahu, kamu tidak akan peduli kalau kamu tidak peduli kamu ga akan berubah! Generasi kitalah yang akan menentukan apakah kita dapat mewujudkan green economy atau tidak, semua itu bisa dimulai dari mengedukasi diri kita sendiri dengan cara mengimbangi konsumsi konten”, tutup Denia.
Di sesi workshop yang mengusung tema Green Jobs: Building Up Your Own Energy Start-Ups, peserta secara aktif mendiskusikan ide mereka untuk membangun start-up energi terbarukan. Peserta dibagi menjadi dua kategori yaitU ide di bidang energi terbarukan dan di bidang efisiensi energi serta didampingi oleh dua fasilitator yaitu Trio Aditia dari Indo Electric Instrument dan Aki Soehartono, dari Inovasi Dinamika Pratama. Namun, sebelumnya peserta diberikan pembekalan materi Aditya Mulya dari New Energy Nexus, inkubator dan akselerator untuk start-up energi terbarukan, yang menyampaikan beberapa hal penting yang perlu menjadi perhatian para peserta. Beberapa poin kunci yang harus dijawab oleh para peserta dalam mengembangkan ide mereka mewujudkan start-up impian masing-masing. Beberapa diantaranya yaitu: merumuskan problem, solution, what for who, why now, market, competition and substitutes, product, lean model canvas, terakhir mengenai team and management.
Di penghujung acara, diumumkan tiga pemenang ide start-up terpilih dari total sebelas ide yang masuk dan diseleksi oleh para juri. Selain itu, para peserta diajak memberikan komitmen mendukung dan menggapai peluang green jobs melalui situs web Coaction.id. Komitmen bersama ini hendak membuktikan bahwa bonus demografi anak muda adalah peluang emas. Pilihan masa depan yang lebih baik merupakan momentum yang harus diciptakan dan dimanfaatkan oleh anak muda. Nah, kamu juga bisa ikut menunjukkan komitmen kamu dalam mendukung percepatan energi terbarukan lho #EnergiMuda, langsung klik disini ya 🙂
(Randika Anwar dan Yessi Febrianty/Coaction Indonesia)