Green Jobs Class sudah sampai pada gelaran terakhir yaitu kelas ke-5 yang mengusung judul “Sharing Session from Successful Green Jobs Creators”. Koaksi Indonesia menghadirkan Asri Saraswati, seorang Ibu dengan dua orang anak yang juga Co-founder Agradaya yaitu sebuah Entitas Bisnis Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di sektor manufaktur rempah herbal.
Baca juga: Green Jobs: Peluang Karir Cemerlang Sembari Melestarikan Lingkungan
KOAKSI INDONESIA — Pada sesi kelas terakhir yang dilaksanakan pada 21 November 2023 ini, Green Jobs Class memberikan contoh sukses nyata bisnis yang tidak hanya berfokus pada nilai ekonomi, tetapi juga nilai lingkungan yang berkelanjutan. Kelas ini bisa menjadi modal untuk anak muda dalam membangun sebuah bisnis yang dalam perjalanannya akan memiliki banyak tantangan.
Dimoderatori oleh Shendy dari Indorelawan, Asri menceritakan bisnis yang sudah berjalan sejak 2015 ini tepatnya di Jogja. Menurut Asri, bisnis yang berkelanjutan bisa dimulai melalui pendekatan pada lingkungan sekitar kita. “Saya bertemu dengan Ibu Poniyah yang tidak ingin menjual rempahnya ke tengkulak saat harga murah, katanya lebih baik olah sendiri supaya punya nilai tambah,” cerita Asri tentang perjalanan bisnisnya ini.
Dari berbagai analisisnya bersama sang suami yang juga Founder Agradaya, terdapat gap yang cukup besar antara hasil panen masyarakat dengan standar produk industri sehingga banyak produk masyarakat yang akhirnya harus dijual murah.
“Agradaya membangun ekosistem untuk mengisi gap tersebut melalui peningkatan kualitas produk dengan budi daya yang ramah lingkungan, instalasi teknologi pengeringan rempah di lokasi petani, pelatihan pengolahan produk yang berstandar (HACCP, BPOM, & Halal), dan pasar yang diciptakan B2B (Business to Business) untuk perusahaan makanan juga B2C (Business to Consumer) ke retail,” tambah Asri.
Social enterprise atau sociopreneur merupakan sebuah lembaga yang berada di antara dua entitas secara spektrum yaitu non-profit organization dan business as usual. Di satu sisi, program Agradaya punya kesempatan untuk didanai secara penuh oleh grantee. Di sisi lain, perlu perencanaan bisnis yang matang agar produk dapat diterima pasar dan roda ekonomi berputar.
Baca juga: Start-Up Pengelolaan Sampah, Terobosan Green Jobs oleh Generasi Milenial Menuju Bonus Demografi
‘‘Tidak cukup hanya menjadi aktivis. Seperti lilin, kita tidak bisa hanya menerangi orang lain namun diri sendiri hilang meleleh terkena panas api sehingga kita perlu melihat lagi apa yang bisa membuat kita tetap bertahan dan menerangi orang lain. Dari situ, Agradaya memilih menjadi social enterprise sehingga dua keresahan terkait lingkungan dan ekonomi mendapatkan solusi,” tegas Asri.
Pentingnya bisnis yang berkelanjutan merupakan sebuah pembuktian bahwa ekonomi dan lingkungan dapat berjalan beriringan sehingga tidak hanya manusia yang mendapatkan nilai tambah. Namun, lingkungan yang menjadi sumber penghidupan juga menjadi lebih baik sehingga memperlambat dampak perubahan iklim.
Pada sesi “Memulai Bisnis yang Ramah Lingkungan”, Asri menjelaskan bahwa ada beberapa nilai yang perlu dimiliki dan salah satunya adalah empati. Persis seperti yang diceritakan Asri sebelumnya bahwa pergerakan bottom up yang dimulai dari empati dan kesadaran masing-masing individu untuk berkembang akan membentuk sense of belonging community lebih kuat.
“Empati perlu untuk selalu diolah. Namun, ada poin lain yang cukup penting saat memulai green jobs yaitu pemetaan potensi diri karena kekuatan kita bisa jadi modal untuk ke depan.”
Selain itu, menurut Asri masalah dan solusi harus ditemukan dengan merujuk pada Sustainable Development Goals (SDGs), dan terakhir tentunya memiliki Social Business Model Canvas. Alat bantu ini sangat penting sehingga kita bisa membuat pemetaan terkait produk yang akan kita buat. “Orang mau beli itu realistis aja, bukan hanya kita jual cerita lho, kalau produk kita gak enak ya gak akan repeat order makanya perlu Bisnis Model Canvas yang baik,” tambah Asri.
Strategi, kesabaran, dan tentunya support system yang baik menjadi modal utama di balik kesuksesan Agradaya. Saat ini bisnisnya tidak hanya di Pulau Jawa, tetapi sudah merambah ke Nusa Tenggara Timur tepatnya di Ngada, Bajawa.
Bagi Asri dan suami yang memiliki latar belakang pendidikan teknik, tantangan yang paling sulit adalah berjualan. Tidak pernah terbesit sebelumnya bahwa Asri harus mengikuti berbagai bootcamp bisnis untuk meningkatkan skill dan melatih jiwa bisnisnya. Selain itu, riset dari berbagai sisi perlu dilakukan untuk menghasilkan produk yang terbaik dan menjawab kebutuhan konsumen. “Dulu, saya dan suami buat produk yang baik menurut pendapat saya sendiri. Ternyata itu salah, kita perlu punya skill untuk mendengarkan berbagai masukan konsumen.”
Latar belakang pendidikan dirinya dan suami, menurut Asri, tidak serta-merta dibuang, justru berubah bentuk dengan berbagai aplikasinya di dunia industri terutama saat terjun ke green jobs. Menurutnya akan selalu ada celah untuk berbagai jurusan terjun ke green jobs.
Dari kolom komentar pada aplikasi zoom, banyak peserta yang mengamini cerita-cerita Asri. Salah satu peserta yaitu Kendrick mengungkapkan keresahannya terkait produk-produk ramah lingkungan. “Kalau saya amati, produk-produk ramah lingkungan ini dijual dengan harga yang lebih tinggi ya, Kak. Apakah produk sosial bisnis ini memang harus mahal?”
“Produk-produk hasil sosial bisnis ini memiliki added value lebih tinggi sehingga ada biaya yang perlu dibayar. Selain itu, adanya perbedaan nilai investasi, kuantitas produksi, penggunaan alat yang belum bisa dikejar oleh sociopreneur jika dibandingkan dengan industri besar. Contohnya, produsen lokal kalah saing dengan produk Tiongkok yang lebih murah harganya. Alasannya, mereka merupakan negara produsen dengan kapasitas besar,” terang Asri.
Kelas penutup dari rangkaian Green Jobs Class ini telah berhasil memikat para peserta dengan segala keaktifannya. Melalui kelas daring ini diharapkan muncul berbagai inisiatif baru dari anak muda untuk terjun ke green jobs.