Hari Rabu lalu, 7 Juli 2021, Koaksi Indonesia menyelenggarakan diskusi multipihak dengan topik “Menjawab Tantangan Industri Biodiesel dan Kendaraan Listrik yang Lebih Berkelanjutan untuk Sektor Transportasi Rendah Emisi” dengan pemateri utama Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), dan dilanjutkan dengan pemaparan dari Siti Koiromah, peneliti Koaksi Indonesia yang menyampaikan hasil studi terakhir sebagai pemantik diskusi, yaitu: laporan ringkas “Menuju Sektor Transportasi yang Lebih Bersih: Kebijakan Biofuel dan Kendaraan Listrik Indonesia” dan naskah kebijakan “Tinjauan Strategis Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Dalam Pembangunan Rendah Karbon Indonesia” Koaksi Indonesia.
Verena Puspawardani, Direktur Program Koaksi Indonesia, memberikan konteks bahwa sektor transportasi memiliki peran penting dalam mobilitas, distribusi, lapangan pekerjaan, hingga pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, pertumbuhan jumlah kendaraan dan penggunaan energi di sektor transportasi masih didominasi bahan bakar fosil yang tidak ramah lingkungan dan tidak terbarukan. “Koaksi melihat program EV memiliki peluang mendorong sektor transportasi menjadi lebih bersih, terutama melihat tren kebijakan beberapa negara yang meninggalkan kendaraan berbahan bakar minyak pada tahun 2030. Tren global ini dapat menjadi kiblat bagi perkembangan sektor transportasi Indonesia ke depan, mengingat saat ini dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) masih mencerminkan adanya program biodiesel hingga tahun 2050. Tahun 2020, Koaksi bersama dengan beberapa organisasi merumuskan tantangan dan peluang mendorong penguatan standar berkelanjutan agar program biodiesel nasional layak secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Karena program biodiesel masih akan diandalkan pemerintah sebagai upaya menurunkan emisi GRK, seperti tertuang dalam RPJMN) 2020—2024, maka perlu strategi agar program biodiesel tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar dan mulai melakukan transisi penggunaan kendaraan listrik yang dipasok oleh energi terbarukan,” jelas Verena.
Tambahan lagi, Koaksi Indonesia memandang perlu untuk mengajak para pemangku kepentingan yang terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan kerja advokasi terkait kebijakan biodiesel dan kendaraan listrik untuk duduk bersama menyelaraskan persepsi dan bersinergi agar industri biodiesel dan kendaraan listrik Indonesia lebih berkelanjutan. Berkelanjutan yang dimaksud adalah menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup, dengan tata kelola yang baik. Tidak hanya perwakilan pemerintah, turut hadir penanggap dari perwakilan masyarakat sipil dan akademisi. Diskusi dapat didengarkan ulang lewat Youtube Coaction Indonesia.
Dari paparan yang disampaikan oleh Bapak Dadan Kusdiana, program biodiesel dan kendaraan listrik yang dicanangkan oleh pemerintah cukup ambisius. Hal ini terlihat dari kebijakan yang dikeluarkan sejak tahun 2019, yaitu kebijakan mandatori biodiesel sejak tahun 2015 dan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 yang memiliki target meningkatkan pasar kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di Indonesia. Pelaksanaan program biodiesel nasional dan kendaraan listrik ini dipimpin oleh KESDM, sedangkan penyiapan spesifikasi kendaraan serta transformasi menuju kendaraan listrik dilaksanakan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
“Berdasarkan statistik, hingga saat ini kita masih banyak menggunakan BBM/Gasoline dan masih cukup banyak bergantung dengan impor. Kita punya (cadangan) batu bara yang banyak, namun kita akan kehilangan pasar (batu bara) dalam beberapa tahun kedepan,” jelas Dadan.
Sementara, Siti Koiromah, periset Koaksi Indonesia, mengangkat bahwa program biodiesel pun belum memberikan dampak positif baik secara lingkungan, sosial dan juga ekonomi. “Kebun sawit yang bersertifikasi pun masih sedikit. Crude Palm Oil (CPO) yang menjadi bahan baku pun belum bisa dipastikan apakah ini dari kebun yang memiliki standar keberlanjutan atau tidak. Program kendaraan listrik juga belum memiliki standar berkelanjutan, baik di hulu (tambang nikel/timbal/lithium), manufaktur, dan di hilir (pabrik kendaraan listrik/SPLU hingga dan daur ulang baterai). Bauran pembangkit masih didominasi oleh energi fosil (64%) dan porsi EBT hanya 15% dari keseluruhan. Anggaran juga masih banyak dialokasikan untuk subsidi energi fosil,” jelas Koiromah.
Dalam studi yang dikeluarkan, Koaksi Indonesia merekomendasikan untuk mendorong standar keberlanjutan baik, di industri kendaraan listrik maupun biodiesel, mendorong opsi bahan bakar nabati dari limbah (contoh: minyak jelantah), mendorong pengembangan energi terbarukan, dan juga menyusun roadmap transportasi rendah emisi.
Sebagai penanggap, Koaksi mengundang perwakilan dari berbagai institusi yang terlibat dalam rantai pasok biodiesel dan kendaraan listrik, antara lain International Chemical Industry (ABC Battery), Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Perusahaan Listrik Negara (PLN), Transjakarta, SBM – ITB, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), dan Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB).
“Kita jangan terjebak untuk kendaraan terfokus pada 4-wheeler (mobil) saja, kita juga harus fokus dengan public transportation. PLN punya pengalaman (penggunaan listrik) dengan KRL, MRT, dan LRT tidak ada masalah,” ujar Zainal Arifin, Executive Vice President Engineering and Technology, Perusahaan Listrik Negara (PLN). Menyambung pendapat tersebut, Candra Rakhmat, Kepala Departemen Perancangan dan Standarisasi Armada TransJakarta, menjelaskan bahwa bus listrik saat ini memang belum menggunakan energi terbarukan. Namun, sebagai catatan bersama penggunaan kendaraan listrik akan lebih mudah mengukur emisi karbonnya. Menurutnya, ini salah satu keuntungan kendaraan listrik di transportasi publik.
Bus listrik pun saat ini masih lebih mahal dari bus diesel, bahkan selisih harganya mencapai 2,5 – 3 kali lipatnya. Menurut Agung Wicaksono, “Negara bisa hadir melalui skenario subsidi terhadap baterai sehingga akan meningkatkan demand. Transisi energi berimplikasi pada jobs transition, seperti mekanik Transjakarta yang tidak lagi bisa mengerjakan bus berbahan bakar BBM saat Transjakarta sudah menggunakan bus listrik. Dengan memanfaatkan program kampus merdeka, perguruan tinggi dapat bekerja sama dengan industri dalam pengembangan program studi baru yang membantu pengembangan kendaraan listrik,” jelas dosen SBM-ITB ini.
Harapan kedepan, diskusi multipihak ini dapat dikelola bersama dalam proses mengawal transisi energi menuju energi terbarukan yang berkelanjutan, dari sisi pasokan di hulu ke sisi hilir hingga berkontribusi konkrit pada terwujudnya transportasi rendah emisi. GK
***
Narahubung
Gabriela Kalalo, Koordinator Komunikasi
gabriela.kalalo@coaction.id|+6287789921994
Catatan untuk Editor
Tentang Koaksi Indonesia
Coaction Indonesia, atau Koaksi Indonesia dalam bahasa Indonesia, adalah organisasi nirlaba yang berperan sebagai simpul jejaring dan simpul pembelajaran ide-ide inovatif untuk berkontribusi pada program-program pembangunan berkelanjutan di seluruh wilayah Nusantara. Koaksi bekerja sama dengan pembuat kebijakan, sektor swasta, akademisi, organisasi masyarakat sipil, komunitas, dan penggerak muda untuk memberikan solusi dan aksi konkret dalam rangka percepatan pengembangan energi terbarukan yang nantinya akan menjadi pendorong inisiatif perubahan di sektor-sektor lain, seperti transportasi berkelanjutan dan pangan.
Spesifik pada sektor energi terbarukan, Koaksi menyasar pada energi berkelanjutan, akses energi yang terjangkau di daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) dengan bentuk-bentuk intervensi yang inovatif, dan sisi ekonomi energi dan ketahanan energi. Pendekatan yang dilakukan Koaksi adalah advokasi kebijakan, kampanye untuk mendapatkan dukungan publik, dan pengembangan kolaborasi strategis dengan berbagai mitra.
Informasi lebih lengkap: www.coaction.id
Media Sosial:
Instagram : @coaction.id
Facebook : Coaction Indonesia
Twitter : @coactionid
YouTube : Coaction Indonesia