Rekayasawan kehutanan merupakan mereka yang bergerak dalam menjaga, memanipulasi dan merancang ekosistem hutan dengan prinsip-prinsip rekayasa. Mereka yang bekerja di bidang ini memiliki peran penting terhadap memperbaiki kondisi kehutanan baik secara ekologis, secara kebijakan, dan pengamanan. Indonesia sebagai negara urutan ketiga pemilik hutan hujan tropis terbesar tidak terlepas dari permasalahan kehutanan di dalamnya, dari mulai deforestasi hingga kebijakan pengelolaan. Menurut Sigit Hardwinarto, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, deforestasi bersih pada tahun 2018-2019 mencapai 462.4 ribu hektar yang digunakan untuk industri kelapa sawit, pertambangan, pertanian, dan lainnya.
Apa sebenarnya peran rekayasawan kehutanan pada hal ini?
Indonesia telah berkomitmen kepada pengurangan emisi gas rumah kaca melalui pencapaian puncak emisi gas rumah kaca nasional di tahun 2030. Sektor yang dilibatkan adalah Forestry and Other Land Use (FoLU) yang mencapai kondisi net sink dimana sektor tersebut menyerap emisi karbon lebih besar dibanding emisi yang dihasilkan. Karbon menjadi permasalahan utama pada konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Rekayasawan kehutanan sangat berperan dalam hal ini karena langkah-langkah mitigasi dalam mencapai kondisi tersebut berkaitan dengan bidang mereka. Mereka dapat melakukannya dalam berbagai pendekatan seperti konservasi, rehabilitasi, dan produksi.
Rekayasawan kehutanan berbeda dengan lulusan kehutanan baik dari segi gelar maupun kompetensi. Seperti yang saya alami selama menempuh pendidikan di rekayasa kehutanan Institut Teknologi Bandung, kami dibekali untuk memiliki kompetensi sehingga dapat melakukan praktik konservasi, rehabilitasi, dan produksi. Kami dibekali mata kuliah mengenai flora dan fauna serta pengetahuan konservasi, seperti Sustainable Forest Management. Dalam aspek rehabilitasi, kami dibekali pengetahuan mengenai ilmu tanah dan sumber daya lahan, teknik silvikultur dan mata kuliah pendukung lainnya. Sementara dalam hal produksi, kami juga dibekali dalam melakukan pemuliaan pohon, teknik silvikultur, dan genetika kehutanan.
Menurut Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, Ruandha A. Sugardiman, komitmen Indonesia dalam mencapai Carbon Net Sink di sektor FoLU 2030 dilakukan melalui aksi-aksi mitigasi utama. Upaya mitigasi tersebut antara lain kegiatan pengurangan laju deforestasi dan degradasi hutan (REDD+), pembangunan hutan tanaman indutstri, pengelolaan hutan lestari. Selain itu, mitigasi yang dilakukan juga berupa rehabilitasi hutan, pengelolaan lahan gambut termasuk hutan mangrove, dan peningkatan peran konservasi keanekaragaman hayati.
Pengelolaan hutan lestari atau Sustainable Forest Management akan berkaitan dengan praktik kebijakan dan penerapan teknik silvikultur. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Ruandha, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, dalam pengelolaan hutan lestari diantaranya dilakukan melalui upaya penerapan Silvikultur Intensif (SILIN), Reduced Impact Logging (RIL)-C. Penerapan ini perlu dilakukan dalam mengurangi dampak dalam penebangan yang dilakukan dengan melakukan tebang pilih pada pohon-pohon tertentu. Lalu bagaimana dengan upaya mitigasi lainnya? Apakah berkaitan dengan profesi rekayasa kehutanan?
Dalam melakukan praktik rehabilitasi hutan dan lahan, kami mempunyai kompetensi pada ilmu tanah dan sumber daya lahan serta teknik silvikultur. Melalui kompetensi tersebut, kami bisa menyesuaikan kondisi tanah dengan melakukan prinsip rekayasa sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik. Hal ini berkaitan dengan teknik silvikultur dimana dalam melakukan penanaman, kami dapat memilih spesies-spesies yang fast-growing, dapat memperbaiki kondisi tanah, dan berdampak pada fungsi ekologi. Selain itu juga, kami mempunyai kompetensi dalam praktik persemaian hingga ke penanaman serta merancang tempat persemaian. Praktik-praktik tersebut juga berakitan dengan prinsip-prinsip produksi sehingga dapat berkontribusi pada penyerapan karbon di hutan tanaman dalam bentuk biomassa berupa kayu.
Satu hal yang sangat menarik perhatian saya adalah dimana alumni-alumni rekayasa kehutanan pernah melakukan penelitian dalam perancangan hutan kota. Hal ini sangat berkaitan dengan konsep forest city untuk Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur. Menurut pengalaman pribadi penulis bersama teman kelompok yang juga pernah melakukan riset perancangan hutan kota, kami dituntut untuk mengetahui kondisi tanah untuk lokasi perancangan, menentukan fungsi yang ingin dicapai dengan dibangunnya hutan kota, serta pemilihan spesies yang dapat mendukung tercapainya fungsi-fungsi tersebut. Para rekayasawan juga dituntut untuk inovatif dalam melakukan model dan metode yang dapat digunakan dalam prinsip perakayasaan.
Saya berpikir bahwa rekayasawan kehutanan dapat menjadi salah satu green job yang populer beberapa tahun ke depan seiring berjalannya upaya mitigasi Indonesia dalam mencapai Carbon Net Sink di sektor FoLU 2030. Sayangnya, profesi ini masih belum terlalu ramai diperbincangkan dan mengingat program studi belum terkenal di Indonesia.
Artikel ini telah tayang di www.kompasiana.com dengan judul “Rekayasawan Kehutanan dan Indonesia Net Sink FoLU 2030, Apa Hubungannya?”.
DISCLAIMER
Tulisan ini merupakan salah satu pemenang dari “Lomba Menulis Populer Profesi Hijau Indonesia” yang diselenggarakan oleh Bastra ID dengan menjalin kolaborasi bersama Coaction Indonesia.