Dunia keprofesian dikategorikan sebagai ranah kerja-kerja pribadi maupun kelompok di dalam dunia kerja. Peran masing-masing dari kita di dalam dunia keprofesian salah satunya untuk melakukan suksesi demi tujuan bersama. Profesi hijau yang notabenenya mewarisi tugas mulia dalam megawal keseimbangan alam ketika terjadi perubahan iklim maupun permasalahan ekologi sangatlah harus dikawal bersama dalam kerja-kerja kolaborasi tiap profesi. Pandangan terhadap kerusakan lingkungan disebabkan oleh mayoritas masyarakat yang menyepelekan kesadaran lingkungan, kadang ditepis dengan pandangan bahwa dominasi kerusakan lingkungan dilakukan oleh minoritas para pelaku pekerja di pemerintahan atau pejabat negara, yang melakukan kebijakan non-pro lingkungan.
Jajaran kepemerintahan dalam peranannya memberikan kebijakan, memanglah tidak luput dari aturan main menggunakan keutamaan kepentingan di dalamnya. Kepentingan yang terkandung menjadikan sebuah kebijakan biasanya melibatkan partai politik sebagai pemangku politik kekuasaan itu sendiri, yang berafiliasi khusus di dalam suatu pemerintahan. Profesi pejabat pemerintah dan kader partai politik sebagai pemangku kepentingannya haruslah memenuhi asas profesi hijau.
Profesi di dalam jajaran pemerintah/pejabat publik kelembagaan haruslah menjadi garda terdepan dalam patron pengendalian masyarakat untuk pelestarian lingkungan secara masif dan berkelanjutan. Semuanya harus responsif atas permasalahan isu lingkungan yang terjadi, seperti sebuah grand issue global yaitu tantangan perubahan iklim. Menanggapi tantangan tersebut, respon pemerintah dalam ranah gerak politikal justice nya harus memberikan impak terhadap penyelamatan lingkungan, salah satunya yaitu dengan bingkai politik hijau dalam kepemerintahan maupun partai politik.
Problematika lingkungan hidup di Indonesia sudah mencapai babak baru. Tercatat terumbu karang dengan kondisi baik hanya 6%, hutan rusak mencapai 2 juta hektar/tahun, bencana erosi dan longsor terjadi dimana-mana. Hasil studi IPB mencatat bahwa tahun 2010 sebanyak 55 DAS dan Sub DAS mengalami deforestasi lebih besar dari 20%. Tahun 2015 menjadi 120 DAS, tahun 2020 menjadi 123 dan perkiraan prediksi pada tahun 2025 nanti menjadi 126 DAS yang mengalami deforestasi lebih dari 29% areal DAS, hal ini menjadi ironi lingkungan hidup di Indonesia.
Politik hijau merupakan sebuah gagasan konserfatif yang mengedepankan pemulihan maupun pelestarian lingkungan. Dengan pendekatan responsifitas yang tinggi dalam mengawal isu lingkungan di dalam beberapa aspek pengambilan keputusan menjadikan politik hijau sebagai jawaban atas isu lingkungan secara universal. Dalam kajian apapun seperti pembangunan, kebijakan, pemerataan, dan regulasi undang-undang ataupun penegakan aturan terbarukan, harus menggunakan tata unsur asas keselamatan lingkungan.
Giat dari politik hijau dalam dunia keprofesian di dalam lembaga pemerintahan tidak lain untuk menggencarkan kembali kegiatan positif berkelanjutan, seperti reboisasi hutan, penanaman mangrove di wilayah potensi abrasi, pengembalian ekosistem habitat flora dan fauna, penegakan hukum yang berat untuk para pelaku kerusakan lingkungan dalam bentuk apapun.
Periodesasi perpolitikan ketika pesta demokrasi di Indonesia adalah kurun waktu lima tahunan, di mana pasti akan ada arah baru maupun agenda-agenda baru dalam kontestasi perpolitikan dan perebutan kekuasaan sebagai jembatan meraih jabatan di dalam kelembagaan pemerintahan. Acap kali regulasi dan kebijakan akan berubah seiring masa pemerintahan yang berlaku. Maka dalam hal ini profesi pejabat pemerintah sebagai publik figur kenegarawanan yang berhasil memenangkan kekuasaan perpolitikan, harus membuat kajian yang strategis dan sustainable. Profesi pejabat pemerintah yang strategis memberikan keleluasaan dalam kajian hukum dan tindakan yang luas serta masif. Dengan mengutamakan profesi hijau sebagai lambang keikutsertaan kita dalam mengawal isu lingkungan, serta politik hijau sebagai arah dan pedoman ketercapaian atas tujuan penyelamatan lingkungan, maka diperlukan indikator ketercapaian sebagai berikut :
1. Setiap pemangku kekuasaan harus membuat visi misi yang mengutamakan kepentingan kelestarian lingkungan di samping kepentingan pribadi maupun kelompok.
2. Merevitalisasi kembali program-program penyelamatan lingkungan di setiap lembaga kepemerintahan.
3. Membangun sinergisitas dengan segala elemen masyarakat dan komitmen tinggi kelembagaan pemerintah demi penyelamatan lingkungan.
4. Meregulasi ulang maupun mengkaji kembali peraturan yang merugikan lingkungan hidup.
5. Proaktif dalam giat-giat penyelamatan, pemulihan, dan Pelestarian lingkungan hidup dengan menjadi bagian dari profesi hijau.
Kelima capaian di atas sejalan dengan prinsip politik hijau yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut : Eckersley mengungkapkan bahwa Pandangan ekosentris menempatkan fokus utamanya pada lingkungan atau ekosistem dalam aspek kehidupan, kemudian Goddin berpendapat Mengedepankan sumber nilai sebagai fakta dari sesuatu yang dibentuk oleh proses alamiah sejarah dan lebih dari sekedar peran manusia, lalu Barry mengungkapkan pendapat mengenai Tiga prinsip utama teori distribusi (intergenerasional) antara lain keadilan, komitmen terhadap proses demokratisasi dan usaha untuk mencapai keberlangsungan ekologi. Sedangkan Dosbon Menolak pandangan antroposentrisme seperti yang telah diungkapkan Ekscersly sebelumnya, yaitu perlu adanya batasan pertumbuhan, yang merupakan penyebab munculnya krisis lingkungan secara alami.
Maka harapan politik kepemerintahan yang ideal dan pro lingkungan bukan lagi sebuah wacana, apabila manifestasi tindakan mengutamakan lingkungan hijau sebagai tujuan dan para pemegang kekuasaan sebagai pelaksana.
Periodesasi kajian penyelamatan lingkungan apabila diterapkan secara garis vertikal hierarki dari atas ke bawah, maka akan cepat menjadi kemajuan yang bersifat revolusioner agar lingkungan hijau dapat tercapai. Namun apabila pergerakan kajian penyelamatan lingkungan di awali dari masing-masing kelas dengan kepentingan lain, dan penyelamatan lingkungan hanya menjadi gimik belaka maka sudah jelas perubahan tidak akan terjadi sempurna, sekalinya terjadipun akan membutuhkan waktu yang lama, dan dimulai dari kesadaran masing-masing secara mendasar secara profesi serta kepentingannya bersifat evolusioner.
Apapun profesi setiap warga negara semuanya harus mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Sebab kerusakan lingkungan merupakan persoalan berlanjut di Indonesia, serta dinilai belum cukup mampu untuk mendorong transformasi narasi politik hijau menjadi platform para pelaku partai politik maupun pemerintahan, sebagaimana yang terjadi di negara lain. Urgensi keterwakilan politik hijau dalam mengawal isu lingkungan di negara kita, harus selalu dikaji secara proaktif agar pejabat pemerintah memiliki subtansi dari profesi hijau.
Artikel ini telah tayang di www.kompasiana.com dengan judul “Perspektif Profesi Hijau Pejabat Pemerintahan melalui Bingkai Politik Hijau Kelembagaan”.
DISCLAIMER
Tulisan ini merupakan salah satu pemenang dari “Lomba Menulis Populer Profesi Hijau Indonesia” yang diselenggarakan oleh Bastra ID dengan menjalin kolaborasi bersama Coaction Indonesia.