Perubahan iklim serta dampaknya yang kian hari kian signifikan, menjadikannya sebuah isu yang sangat serius diperbincangkan di kancah internasional.
Disetujuinya Perjanjian Paris pada peringatan Hari Bumi, 22 April tahun 2016 silam menjadi bukti keseriusan masyarakat dunia untuk bersatu bersama-sama menekan laju pemanasan global.
Sebanyak 103 negara, termasuk Indonesia, mengadopsi atau meratifikasi Perjanjian Paris menjadi undang-undang sebagai wujud komitmen untuk berpartisipasi membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C dari tingkat pra-industrialisasi dan melakukan upaya membatasinya hingga di bawah 1,5°C.
Emisi gas rumah kaca adalah salah satu penyebab utama perubahan iklim dan naiknya suhu global. Diratifikasinya Perjanjian Paris menjadi itikad baik pemerintah Indonesia untuk mulai serius memperhatikan masalah emisi gas rumah kaca di tanah air.
Dilansir dari katadata.co.id, Indonesia termasuk ke dalam 10 negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Hingga awal 2018, Indonesia berada di peringkat ke-8 dan bertanggung jawab atas kurang lebih 965,3 metrik ton CO2e atau setara 2% emisi gas rumah kaca global.
Berbagai rencana strategis dan regulasi turunan kemudian mulai diformulasikan di meja pemerintahan agar ratifikasi Perjanjian Paris tak berakhir di atas kertas semata, tanpa tindakan nyata.
Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang berisikan target nasional penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030, disahkan sebagai rencana strategis.
Lalu Pajak Karbon yang akan segera efektif pada bulan Juli 2022 menjadi regulasi turunannya. Pemerintah telah menetapkan target dan membuat aturan mainnya, akan tetapi semua ini akan sia-sia jika para pemangku kepentingan tidak ikut mengusahakannya.
Respons dan partisipasi para pemangku kepentingan di skala nasional, regional sampai individual diperlukan untuk dapat mengurangi emisi gas rumah kaca secara efektif.
Para pemangku kepentingan membutuhkan informasi yang relevan, andal, dapat dipahami dan dapat dibandingkan, agar bisa mengevaluasi, memberikan respons dan mengambil keputusan yang tepat terkait emisi gas rumah kaca.
Hal inilah yang kemudian mendorong profesi akuntan untuk bertransformasi menjadi lebih hijau. Akuntan dan praktik akuntansi konvensionalnya dituntut untuk berubah agar dapat mengakomodasi kebutuhan pemangku kepentingan akan informasi yang kini lebih dari sekadar informasi finansial. Alhasil, lahirlah profesi akuntan hijau dan praktik akuntansi hijau.
Akuntan hijau adalah akuntan yang melakukan praktik akuntansi hijau. Prof. Dr. Andreas Lako dalam bukunya yang berjudul Akuntansi Hijau (2018:99), mendefinisikan akuntansi hijau sebagai:
“Suatu proses pengakuan, pengukuran nilai, pencatatan, peringkasan, pelaporan, dan pengungkapan secara terintegrasi terhadap objek, transaksi, atau peristiwa keuangan, sosial, dan lingkungan dalam proses akuntansi agar menghasilkan informasi akuntansi keuangan, sosial, dan lingkungan yang utuh, terpadu, dan relevan yang bermanfaat bagi para pemakai dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan ekonomi dan non-ekonomi.”
Berdasarkan definisi di atas, ruang lingkup akuntansi saat ini tidak lagi terbatas pada perihal keuangan semata, tetapi meliputi juga perihal sosial dan lingkungan. Integrasi dari akuntansi keuangan, sosial, dan lingkungan itulah yang kemudian diberi nama akuntansi hijau.
Di masa sekarang ini, ketika emisi gas rumah kaca menjadi isu prioritas di tanah air, akuntan hijau ikut ambil bagian dalam menanganinya. Akuntan hijau mempraktikan akuntansi hijau dengan menggunakan teknik akuntansi karbon untuk mengkuantifisir emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh suatu organisasi.
Sehingga organisasi tersebut dapat melihat dan memahami dampak iklim yang ditimbulkan dari operasi mereka, lalu tersadarkan dan mengambil keputusan untuk mulai membatasi atau bahkan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka.
Melalui akuntansi karbon, akuntan hijau menghitung jejak karbon, di mana berbagai macam emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida, metana, dan hidrofluorokarbon yang dihasilkan dari suatu peristiwa atau organisasi selama setahun, ditotalkan dan dikonversi ke dalam satuan karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Dengan demikian harga yang harus dibayar untuk setiap emisi gas rumah kaca yang dihasilkan memungkinkan untuk ditetapkan. Akuntansi karbon dan perhitungan jejak karbon dapat diaplikasikan pada berbagai level, mulai dari level nasional, level organisasi, bahkan sampai ke level produk sekalipun.
Level Nasional
Pada level nasional, akuntansi karbon memungkinkan sebuah negara untuk mengukur dan memantau perubahan emisi gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer dari tahun ke tahun di negaranya.
Di Indonesia sendiri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Perhutanan dengan bantuan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional tengah mengembangkan Sistem Penghitungan Karbon Nasional Indonesia (Indonesian National Carbon Accounting System).
Sistem ini dirancang sebagai sistem perhitungan emisi gas rumah kaca terintegrasi yang mendukung pengukuran, pelaporan dan verifikasi untuk sektor berbasis lahan, dan juga kegiatan pengurangan atau penghindaran emisi.
Level Organisasi
Kemudian pada level organisasi, akuntansi karbon memungkinkan sebuah organisasi untuk berpartisipasi dalam skema perdagangan karbon. Suatu organisasi dapat melakukan mekanisme jual dan beli di mana pihak yang menghasilkan karbon akan membayar sejumlah dana kompensasi kepada pihak yang menyerap karbon. Satuan pengukuran karbon yang digunakan untuk transaksi adalah karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Selain itu, akuntansi karbon juga memungkinkan suatu organisasi untuk menghitung jumlah pajak karbon terutang yang harus dibayarkan kepada pemerintah, mengingat pajak karbon akan segera efektif di Indonesia tahun ini dengan tarif minimal Rp. 30 per Kg CO2e.
Level Produk
Lalu yang terakhir, tetapi tidak kalah pentingnya, pada level produk, informasi jejak karbon yang dihasilkan oleh akuntansi karbon dapat menjadi salah satu faktor yang memengaruhi keputusan konsumen untuk mengonsumsi sebuah produk.
Beberapa maskapai penerbangan hari-hari ini telah mulai mencantumkan informasi jumlah jejak karbon yang dihasilkan suatu rute penerbangan, tepat di sebelah informasi harga tiketnya.
Konsumen yang telah memiliki kepedulian terhadap isu perubahan iklim dan keinginan untuk mengurangi pemanasan global, kini dimungkinkan untuk berpartisipasi aktif dengan membeli tiket penerbangan yang rutenya menghasilkan jejak karbon paling sedikit.
Profesi akuntan hijau mungkin saat ini masih terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia. Belum banyak pula institusi pendidikan maupun literatur yang menyediakan kesempatan untuk mempelajari akuntansi hijau.
Padahal, akuntan hijau menjadi salah satu profesi yang berperan signifikan dalam menangani perubahan iklim. Akuntan hijau menjadi layaknya kurir yang mengantarkan informasi tentang isu-isu keberlanjutan ke meja diskusi strategis, baik di ranah korporat maupun birokrat.
Akuntan hijau juga mengukur dan melaporkan kinerja finansial, sosial dan lingkungan, lalu berlanjut memberikan rekomendasi agar operasi suatu organisasi tetap bisa mencapai profit tanpa merusak lingkungan.
Artikel ini telah tayang di www.kompasiana.com dengan judul “Peran Akuntan Hijau melalui Akuntansi Karbon dalam Menangani Isu Perubahan Iklim”.
DISCLAIMER
Tulisan ini merupakan salah satu pemenang dari “Lomba Menulis Populer Profesi Hijau Indonesia” yang diselenggarakan oleh Bastra ID dengan menjalin kolaborasi bersama Coaction Indonesia.