Bahaya krisis iklim mengancam ketahanan pangan. Di tengah krisis itu, pangan lokal dapat menjadi solusi, tidak hanya untuk ketahanan pangan, namun bisa menjadi solusi ekonomi.
KOAKSI INDONESIA—Beberapa wilayah di Indonesia saat ini mengalami kejadian longsor dan banjir. Sebut saja selama periode 10 hingga 20 Juni 2024, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terdapat 21 kejadian yang didominasi oleh banjir. Curah hujan yang tinggi menjadi penyebab bencana hidrometeorologi ini.
Laporan Organisasi Meteorologi Dunia di tahun 2023 mengungkapkan bahwa Asia menjadi wilayah yang rentan terhadap bencana yang disebabkan oleh air, seperti banjir. Tidak hanya banjir, laporan tersebut menyebutkan kondisi panas ekstrem menjadi lebih parah.
Senada dengan laporan itu, kajian perubahan iklim tahun 2021–2050 yang dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan terjadi peningkatan kekeringan dan hujan ekstrem di sebagian wilayah Indonesia.
Perubahan iklim membawa ancaman bagi kebutuhan pokok manusia, yaitu ketersediaan pangan dan air. Wilayah yang rentan dengan bencana hidrometeorologi akan mengalami kesulitan dalam mengakses dan menyediakan pangan atau krisis pangan.
Curah hujan yang tinggi akan menggenangi lahan pertanian dalam waktu cukup lama, sehingga tanaman mengalami gagal panen. Banjir yang terus terjadi juga akan menggerus lahan pertanian, sehingga luas lahan makin berkurang.
Selain bencana banjir, gagal panen dapat disebabkan oleh serangan hama yang meningkat akibat perubahan iklim, seperti yang terjadi di desa di Sumba Timur yang mengalami gagal panen akibat serangan hama belalang yang menyerang tanaman jagung dan padi.
Tentu ini akan menjadi masalah bagi ketahanan pangan nasional. Masyarakat tidak mampu memenuhi ketersediaan pangan baik dalam jumlah maupun mutunya.
Pangan Lokal Solusi di Tengah Krisis Iklim
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi sudah menerapkan sejumlah kebijakan untuk menjaga ketahanan pangan, seperti peningkatan produksi pangan, diversifikasi pangan, dan mengoptimalkan pangan lokal.
Sejalan dengan Peraturan Pemerintah itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan masyarakat dalam menjaga ketahanan pangan di tengah krisis iklim adalah mengoptimalkan pangan lokal. Melalui pangan lokal, masyarakat mampu mengembangkan pangan sesuai dengan potensi dan kearifan lokal setempat, sehingga tidak terfokus pada konsumsi satu atau dua jenis pangan saja.
Baca Juga: Tunjukkan Cintamu pada Bumi Melalui Makananmu
Pangan lokal menjadi alternatif yang baik dalam menghadapi masalah iklim, di antaranya tahan terhadap guncangan iklim dan rendah emisi karena minim proses sistem distribusi pangan serta input kimiawi. Misalnya, ubi kayu sebagai sumber karbohidrat yang mampu ditanam pada lahan kering dibandingkan dengan padi.
Selain ubi kayu, masyarakat dapat membudidayakan pangan lokal lainnya karena Buku Direktori Pangan Lokal tahun 2019 mencatat Indonesia memiliki 77 spesies tanaman pangan lokal yang merupakan sumber karbohidrat, selain sumber lemak, kacang-kacangan, sayuran, buah-buahan, dan rempah-rempah.
Satu Solusi, Dua Masalah Terselesaikan
Selain menjadi solusi adaptasi krisis iklim dan menguatkan ketahanan pangan, pangan lokal mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Bagaimana caranya?
Dengan menanam pangan lokal, pengeluaran petani untuk kebutuhan budi daya akan berkurang dan fungsi tanah tetap terjaga dari cemaran. Penelitian mengungkapkan bahwa budi daya pangan lokal dapat mempromosikan praktik pertanian berkelanjutan sehingga mengurangi dampak negatif dari pertanian konvensional, seperti penggunaan pestisida, erosi tanah, dan polusi air.
Selain itu, pangan lokal dapat dibudidayakan secara polikultur sehingga hasil panen yang didapat beragam dan meningkat. Manfaat polikultur tidak hanya dirasakan oleh petani, tetapi juga masyarakat lokal. Masyarakat lebih mudah mengakses pangan yang beragam.
Studi yang dilakukan di Pulau Kisar, Maluku menunjukkan bahwa penanaman pangan lokal secara polikultur dan berkelanjutan dapat menjaga ketersediaan pangan dan mengurangi risiko gagal panen.
Baca Juga: Hari Jamu Nasional: Menyelisik Peluang Green Jobs dalam Herba Indonesia
Hasil panen pangan lokal yang berlebih dapat diolah menjadi berbagai kudapan melalui pemberdayaan masyarakat lokal. Olahan ini akan memberikan nilai tambah bagi pangan lokal dan menjadi cara untuk mengenalkan pangan lokal kepada masyarakat luas.
Pangan lokal dapat menciptakan lapangan kerja baru. Masyarakat setempat bisa memanfaatkan pengalaman holistik pengolahan pangan lokal menjadi wisata kuliner, mulai dari proses budi daya, cara mengolah pangan lokal hingga siap saji. Seperti yang dicontohkan oleh Plataran, perusahaan Indonesia yang bergerak dalam bidang hospitality, venue & dining.
Contoh lain dari Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah Lakoat Kujawas, sebuah komunitas orang muda di Mollo Utara, yang mengenalkan pangan lokal sekaligus memberikan pengalaman untuk mencicipinya.
Anak Muda Kenalkan Pangan Lokal
Sayangnya, pangan lokal mulai dilupakan oleh anak muda. Banyak yang memilih untuk mengonsumsi makanan cepat saji dibandingkan dengan pangan lokal yang memerlukan waktu cukup lama dalam pengolahannya.
Belum lagi sejak program swasembada pangan melalui penanaman beras pada masa pemerintahan Soeharto yang memengaruhi keberagaman pangan lokal. Program ini mengubah budaya konsumsi pangan lokal ketika makan bersama keluarga di beberapa wilayah, seperti NTT.
Upaya untuk mengenalkan kembali pangan lokal telah dilakukan oleh beberapa anak muda. Salah satunya dilakukan oleh tokoh dalam film pendek “Climate Witness”.
Dalam film yang dirancang dan diproduksi oleh Koaksi Indonesia ini, Shindy Soge mengajak masyarakat di Desa Hewa, NTT untuk turut melestarikan pangan lokal. Selain itu, guru matematika SMA ini berhasil memberdayakan ibu rumah tangga untuk mengolah pangan lokal serta menjualnya di toko-toko sekitar dan lokapasar.
Anak muda lain yang berhasil mengenalkan pangan lokal kepada masyarakat adalah Adi Dwianto melalui pendirian tempat pelatihan bernama Rumah Mahika. Salah satu programnya, yaitu Sabi Pangan, menjalankan sistem farm to table. Artinya, mengirimkan hasil panen langsung ke konsumen tanpa melalui perantara lain.
Selain Shindy dan Adi, ada pemuda asal Banjarnegara, Jawa Tengah bernama Riza Azyumarrida Azra, yang berhasil melebarkan bisnis pengolahan pangan lokal singkong. Mulanya, dia ingin membantu untuk menaikkan taraf hidup petani singkong melalui pendampingan pembuatan tepung mocaf, hingga akhirnya dia membentuk Rumah Mocaf sebagai wadah bagi sociopreneur.