Pelaksanaan transisi energi berkeadilan tidak hanya berfokus pada teknologi, tetapi juga menerapkan GEDSI.
KOAKSI INDONESIA–Data Barkeley Earth menunjukkan bahwa pada tahun 2023 suhu bumi mencapai 1,54 derajat Celsius. Angka ini menunjukkan bahwa suhu bumi telah melewati batas kenaikan suhu yang ditargetkan dalam Persetujuan Paris. Akibatnya, masyarakat di beberapa negara, termasuk Indonesia semakin merasakan dampak perubahan iklim. Terlebih lagi, bagi kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, anak-anak, lanjut usia (lansia), penduduk miskin, dan masyarakat adat.
Sebagai contoh, laporan UNICEF (2021) menunjukkan bahwa anak-anak di Indonesia dikategorikan sebagai kelompok yang terdampak perubahan iklim dengan tingkat risiko tinggi. Laporan tersebut menyebutkan bahwa indeks risiko iklim terhadap anak-anak di Indonesia termasuk tingkat keparahan tinggi dengan peringkat ke-46 dari 163 negara.
Untuk mengatasi dampak perubahan iklim, transisi energi berkeadilan menjadi langkah solutif yang dapat dilakukan oleh Indonesia. Peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan sedang diupayakan oleh pemerintah, baik di tingkat nasional maupun daerah. Merujuk data Kementerian ESDM, hingga akhir tahun 2023, porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional mencapai 13,09%.
Manfaat Penerapan GEDSI dalam Transisi Energi
Selain fokus pada aspek teknologi, pemerintah sedang mengupayakan pelaksanaan transisi energi yang mempertimbangkan aspek sosial, seperti kesetaraan gender, inklusi disabilitas, dan inklusi sosial atau biasa disebut dengan GEDSI (gender equality, disability, and social inclusion). Prinsip ini penting diterapkan dalam transisi energi karena beberapa alasan.
Pertama, masyarakat terutama kelompok rentan memiliki kebutuhan dan kemampuan yang berbeda dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Sebagai upaya mengatasi dampak tersebut, transisi energi perlu mempertimbangkan perbedaan kebutuhan dan kemampuan dari setiap kelompok masyarakat, terutama kelompok rentan. Dalam konteks ini, prinsip no one left behind menjadi penting diterapkan di seluruh tahapan transisi energi. Perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi transisi energi perlu menjamin bahwa semua kelompok masyarakat memperoleh akses, kontrol, pengaruh, dan manfaat yang adil dari pemanfaatan energi terbarukan.
Baca Juga: Perempuan dalam Transisi Energi
Kedua, penerapan GEDSI memiliki peluang untuk mengatasi ketidakadilan sistem energi saat ini. Meskipun transisi energi telah mengalami kemajuan dalam beberapa tahun terakhir, beberapa laporan menunjukkan bahwa masyarakat masih mengalami ketidakadilan dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh, laporan IESR (2017) mengungkapkan bahwa di tingkat desa, perempuan jarang dilibatkan dalam pertemuan untuk membahas masalah terkait energi. Studi NZ-Mates (2023) juga melaporkan fenomena yang sama, yaitu perempuan di Provinsi Maluku masih dianggap sebagai objek pembangunan bukan sebagai subjek pembangunan. Akibatnya, perempuan belum dilibatkan secara optimal dalam pembangunan di sektor energi.
Ketiga, GEDSI berperan sebagai perlindungan sosial (social safeguards) untuk mencegah potensi dampak dari transisi energi. Meskipun transisi energi berperan mengatasi dampak perubahan iklim, proses ini juga berpeluang menimbulkan kerugian, baik terhadap aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Misalnya, program pemensiunan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara akan menghilangkan pekerjaan, seperti pekerja tambang atau operator pembangkit listrik. Data IRENA (2023) menunjukkan, transisi energi di Indonesia berpotensi menghilangkan 1,94 juta pekerjaan di sektor energi fosil pada tahun 2030 berdasarkan skenario pemenuhan target Persetujuan Paris.
Praktik Baik di Tingkat Nasional
Dalam beberapa tahun terakhir, penerapan GEDSI dalam transisi energi telah mengalami berbagai perkembangan. Di tingkat nasional, pemerintah baru saja merilis Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim. Secara spesifik di sektor energi, dokumen tersebut menetapkan bahwa pemanfaatan energi terbarukan akan memprioritaskan keseimbangan gender, partisipasi, dan kepemimpinan perempuan. Rencana aksi tersebut juga menargetkan pelibatan perempuan dalam pembahasan kebijakan dan perencanaan pembangunan terkait transformasi energi di tingkat nasional dan daerah (provinsi, kabupaten/kota, dan desa).
Contoh lain praktik baik penerapan GEDSI dalam transisi energi di tingkat nasional adalah Patriot Energi. Program ini diselenggarakan oleh Kementerian ESDM dengan tujuan mendukung peningkatan rasio elektrifikasi desa melalui penyediaan akses listrik di daerah terdepan, terluar, tertinggal, dan wilayah transmigrasi (4T) berbasis energi terbarukan. Patriot Energi berhasil menerapkan GEDSI selama pelaksanaan programnya setidaknya berhasil mendorong kesetaraan gender dan inklusi sosial di sektor energi.
Jumlah perempuan mencapai 58 orang (59%) dari peserta Patriot Energi pada tahun 2021. Keterlibatan perempuan dalam pelaksanaan program ini termasuk mengidentifikasi dan mendorong pengembangan energi terbarukan di daerah 4T. Program ini juga secara aktif menerapkan inklusi sosial melalui pemberdayaan masyarakat di sekitar proyek energi terbarukan dengan melibatkan mereka dalam pengoperasian dan pemeliharaan pembangkit.
Praktik cerdas penerapan GEDSI di sektor energi juga terlihat dari program Srikandi PLN. Program ini tidak hanya fokus memberdayakan perempuan di sektor ketenagakerjaan seperti di internal PLN, namun juga mendorong perempuan terlibat aktif dalam transisi energi. Saat ini, program tersebut sudah terlaksana di 10 provinsi di Indonesia. Selama pelaksanaannya, program ini berhasil melibatkan perempuan mulai dari survei, studi kelayakan, sosialisasi, hingga pemasangan instalasi listrik dan kWh meter.
Praktik Baik di Tingkat Daerah
Praktik baik penerapan GEDSI dalam transisi energi juga ditemukan di beberapa daerah. Di Pulau Sumatera, praktik baik ini terlihat dari implementasi program Biogas Rumah (BIRU), yaitu program yang mendorong pemanfaatan biogas sebagai sumber energi memasak dan ampas biogas (bio-slurry) sebagai pupuk alami. Sejak dimulai pada 2009, program ini telah membangun reaktor biogas di 12 provinsi di Indonesia, termasuk di Lampung. Program BIRU mendorong penerapan GEDSI terutama prinsip kesetaraan gender dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh, program ini menjamin keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan dengan memastikan bahwa kesepakatan pembangunan reaktor biogas rumah ditandatangani oleh kedua pasangan. Program ini juga memberikan akses yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk mengikuti pelatihan konstruksi serta penggunaan dan pemeliharaan bio-slurry.
Di Pulau Jawa, penerapan GEDSI dalam pemanfaatan energi terbarukan terlihat dari keterlibatan perempuan dalam penyusunan desain dan pemeliharaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jawa Timur.
Baca Juga: Memberdayakan Perempuan dalam Aksi Iklim, Menjaga Kehidupan Berkelanjutan
Bergeser ke Pulau Kalimantan, penerapan GEDSI tercermin dari peran aktif masyarakat adat di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Di kabupaten tersebut telah terbentuk organisasi masyarakat adat yang bertujuan memperjuangkan kehadiran listrik di wilayah mereka dengan mengajukan pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) ke pemerintah daerah.
GEDSI juga telah diterapkan dalam pemanfataan energi terbarukan di Pulau Sulawesi. Misalnya, perempuan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan berhasil mengawal pembangunan PLTS hingga pemerintah membangunnya pada akhir tahun 2017. Adanya PLTS tersebut membuat masyarakat yang sebelumnya membayar iuran listrik sebesar Rp150.000 per bulan menjadi Rp35.000 per bulan. PLTS tersebut juga membuat masyarakat dapat menikmati listrik selama 24 jam sehingga anak-anak bisa mengerjakan tugas sekolah pada malam hari.
Pemanfaatan energi terbarukan di Pulau Papua juga telah menerapkan GEDSI. Kondisi ini tercermin dari keterlibatan perempuan dan komunitas adat dalam pembangunan PLTMH di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Adanya pembangkit tersebut telah memudahkan aktivitas sehari-hari masyarakat adat dan perempuan seperti membuat kerajinan tangan (noken) pada malam hari. Pada awalnya mereka menghasilkan 1–2 noken per bulan, kini meningkat menjadi 3–4 noken per bulan yang dapat dijual ke pasar sehingga berpotensi meningkatkan pendapatan mereka.
Tidak hanya itu, penerapan GEDSI dalam transisi energi terjadi di wilayah kepulauan kecil, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT). Temuan IRID (2023) menunjukkan bahwa di Provinsi NTT, perempuan tidak hanya sebagai konsumen energi. Mereka juga berperan sebagai energy professional dan energy entrepreneur. Sebagai energy professional, perempuan terlibat dalam beberapa proyek energi terbarukan seperti berperan sebagai operator atau teknisi listrik untuk instalasi dan pemeliharaan pembangkit di desa-desa. Dalam aspek kewirausahaan, praktik cerdas dapat ditemukan di Kabupaten Alor. Perempuan di kabupaten ini memiliki kecakapan membuat dan menjual lampu untuk penerangan rumah-rumah di desa mereka yang berpotensi menambah pendapatan mereka.
Praktik Baik GEDSI yang dilakukan Koaksi Indonesia
Sebagai organisasi masyarakat sipil yang bertujuan untuk mendorong akselerasi transisi energi yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan, Koaksi Indonesia selalu berupaya menerapkan GEDSI dalam setiap programnya.
Pada salah satu program pengembangan energi terbarukan di desa dampingan, yaitu Desa Air Tenam, Kabupaten Bengkulu Selatan, Koaksi Indonesia selalu melibatkan seluruh komponen masyarakat. Baik laki-laki, perempuan maupun anak muda dilibatkan dalam melakukan pemetaan sosial awal hingga kegiatan diskusi terbuka. Cara ini dilakukan untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih luas tentang kebutuhan desa secara utuh sehingga implementasi energi terbarukan dapat sesuai dengan sasaran.
Diskusi, advokasi, atau kampanye bertopik energi terbarukan dan topik lainnya yang dirancang oleh Koaksi Indonesia juga selalu mempertimbangkan GEDSI. Mulai dari pemilihan lokasi yang mudah diakses publik hingga komposisi narasumber yang mempertimbangkan keterwakilan dari berbagai pihak dan gender. Meskipun masih ada keterbatasan dalam memfasilitasi kelompok disabilitas.
Baca Juga: Keuntungan Menerapkan Prinsip GEDSI dalam Transisi Energi
Di samping itu, Koaksi Indonesia sedang menyusun dokumen yang menganalisis penerapan GEDSI dalam transisi energi di Indonesia. Dokumen tersebut akan menguraikan definisi, perkembangan, tantangan, hingga praktik baik penerapan GEDSI dalam transisi energi. Melalui dokumen tersebut, Koaksi Indonesia akan berkontribusi terhadap kebaruan (novelty) terkait gambaran komprehensif dan rekomendasi strategis untuk mendukung penerapan GEDSI guna mewujudkan transisi energi berkeadilan di Indonesia.
Berbagai dampak positif yang telah disebutkan membuktikan bahwa GEDSI sudah seharusnya diterapkan mulai dari internal organisasi, tingkat daerah (provinsi, kabupaten/kota, dan desa), hingga tingkat nasional. Dengan begitu, pelaksanaan transisi energi di seluruh wilayah Indonesia dapat terlaksana secara adil tanpa meninggalkan satu orang pun (no one left behind), terutama kelompok rentan.