Sebagai kelompok yang paling terdampak perubahan iklim sekaligus sebagai garda terdepan keluarga, perempuan harus diikutsertakan dalam upaya-upaya penanggulangan perubahan iklim.
KOAKSI INDONESIA—Perubahan iklim sudah nyata dirasakan di Indonesia. Dilansir dari Climate Risk Profile: Indonesia (2021), Indonesia berada di peringkat tiga teratas negara dalam risiko iklim, dengan paparan tinggi terhadap semua jenis banjir dan panas ekstrem. Intensitas bahaya ini diperkirakan meningkat seiring dengan perubahan iklim.
Selain menimbulkan kerugian materiel, banjir dan panas ekstrem berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Padahal, kesehatan menjadi modal penting bagi kita untuk bekerja dan berkarya.
Situs web Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa suhu panas yang menyengat tidak hanya menyebabkan badan menjadi lemas dan tidak nyaman, tetapi juga dapat mengakibatkan tubuh rentan terserang berbagai penyakit. Misalnya, migrain, panas dalam, infeksi saluran pernapasan, sakit mata, demam tinggi, dehidrasi, iritasi kulit, dan sengatan bahang (heatstroke).
Baca juga: Menarik Narasi Green Jobs dari Perspektif Swasta: dari Cleantech hingga Pemberdayaan Inklusivitas
Sementara itu, U.S. Global Change Research Program (USGCRP) menyatakan bahwa banjir dan kenaikan permukaan air laut dapat mencemari air dengan bakteri dan virus berbahaya yang menyebabkan penyakit yang ditularkan melalui makanan dan air.
Sumber yang sama menyatakan, ketika air banjir dalam ruangan surut, terdapat peningkatan risiko pertumbuhan jamur dan buruknya kualitas udara dalam ruangan. Paparan spora jamur dapat menyebabkan sakit kepala dan iritasi pada mata, hidung, dan tenggorokan. Paparan jamur dapat memperburuk penyakit paru-paru, seperti asma dan meningkatkan risiko infeksi paru-paru pada individu dengan sistem kekebalan yang lemah.
Sayangnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan kemungkinan besar akan mengalami dampak negatif yang lebih besar terhadap kesehatan dan keselamatan serta berkurangnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan akibat bencana alam yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Selain itu, jika dampak perubahan iklim terhadap perempuan tidak diatasi, kesetaraan gender pada tahun 2030 akan kembali seperti pada tahun 2010.
Analisis Perusahaan Konsultan Global Boston Consulting Group (BCG) menyarankan untuk melibatkan perempuan secara penuh dalam bidang pertanian, STEM (science, technology, engineering, and mathematics), serta kewirausahaan ramah lingkungan untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Dengan mengambil tindakan di tiga bidang itu dapat mengurangi emisi global sebesar 1,5 gigaton per tahun—jumlah yang setara dengan gabungan total emisi tahunan di Indonesia, Afrika Selatan, dan Brasil. Langkah-langkah ini juga akan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) global sebesar hampir 2%.
Emisi merupakan penyebab perubahan iklim. Dengan mengurangi emisi berarti mengurangi dampak perubahan iklim.
Perempuan dan Pertanian Berkelanjutan
Sejalan dengan analisis di atas, pertanian hijau patut dikembangkan di Indonesia karena Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menyatakan bahwa pertanian, kehutanan, dan perikanan merupakan lapangan usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja, yaitu sebanyak 40,69 juta orang (29,36%).
Pertanian juga menyumbang 11,8% terhadap total PDB Indonesia dan menjadi salah satu sektor prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024.
Menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas), sektor pertanian memiliki kontribusi emisi gas rumah kaca 13% terhadap total emisi gas rumah kaca di Indonesia dan menjadi sektor yang paling terdampak perubahan iklim. Pada tahun 2020—2045 diproyeksikan terjadi kenaikan penurunan produksi padi akibat perubahan iklim di seluruh provinsi di Indonesia.
Penurunan produksi padi dapat mengganggu ketahanan pangan keluarga. Dalam kondisi ini, tentulah perempuan yang paling terkena dampaknya. Mereka harus memastikan hidangan tetap tersedia di meja makan untuk memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggota keluarga.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO), menutup kesenjangan gender dalam produktivitas pertanian dan kesenjangan upah dalam lapangan kerja di sistem pangan pertanian akan meningkatkan produk domestik bruto global sebesar 1% atau hampir USD 1 triliun. Menutup kesenjangan gender juga akan mengurangi kerawanan pangan global sekitar 2% dan mengurangi jumlah orang yang mengalami rawan pangan sebanyak 45 juta.
Perempuan dan STEM
Dilansir dari Global Gender Gap Report 2023, pekerjaan di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) akan terus tumbuh secara signifikan dan memperoleh pembayaran yang baik. Sayangnya, perempuan yang berkarier di bidang STEM hanya mencapai 29,2% dari seluruh pekerja STEM.
Di Indonesia, STEM masih didominasi laki-laki. Profil Perempuan Indonesia 2022 menunjukkan, masih lebih banyak penduduk laki-laki memiliki ijazah pendidikan di bidang STEM dibandingkan perempuan. Padahal, bidang STEM merupakan katalis untuk pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) 2030, khususnya tujuan ke-4, yaitu memastikan kualitas pendidikan yang inklusif, merata, dan mempromosikan kesempatan belajar seumur hidup untuk semua serta tujuan ke-5, yaitu kesetaraan gender.
Penguasaan STEM juga sangat bermanfaat untuk mengatasi perubahan iklim, terutama untuk mengatasi emisi yang berasal dari sektor energi di Indonesia.
Hasil kajian Kementerian PPN/Bappenas menyimpulkan bahwa sektor energi dan transportasi mendominasi emisi dengan persentase sebesar 50,6% (potensi sebesar 1 gigaton CO2eq) dari total emisi di Indonesia pada tahun 2022. Diprediksi bahwa potensi emisi akan terus meningkat hingga di tahun 2030 dengan emisi dari sektor energi akan menyentuh angka 1,4 gigaton CO2eq (59%).
Baca juga: Prospek dan Tantangan Green Jobs di Mata Anak Muda
Untuk mengatasi permasalahan emisi, Indonesia menargetkan dapat mencapai netral karbon (net zero emission/NZE) pada tahun 2060. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah peningkatan pemanfaatan energi terbarukan.
Indonesia kaya akan sumber energi terbarukan. Selain bermanfaat dalam mengurangi emisi, beberapa studi menunjukkan, investasi di energi terbarukan membutuhkan tenaga kerja yang jauh lebih besar daripada di energi fosil dengan jumlah investasi yang sama. Tenaga kerja yang langsung berkaitan dengan pemanfaatan energi terbarukan untuk menggantikan energi fosil (transisi energi) adalah tenaga teknik.
Dari perhitungan kebutuhan tenaga teknik pada tahun 2020—2050 yang dilakukan Koaksi Indonesia, setidaknya terdapat potensi lapangan kerja langsung sebesar 432 ribu tenaga teknik pada tahun 2030 dan sebesar 1,12 juta tenaga teknik pada tahun 2050. Potensi yang besar ini harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas dan kompetensi sehingga tenaga kerja ke depan dapat sesuai dengan kualifikasi dan tercukupi.
Oleh karena itu, akses perempuan terhadap STEM perlu ditingkatkan dan diperluas untuk memenuhi potensi besar itu. Apalagi tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia baru mencapai 53,41%.
Perempuan dan Perekonomian Ramah Lingkungan
Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan yang baru mencapai 53,41% itu perlu ditingkatkan karena begitu banyak manfaat yang akan dirasakan tidak hanya bagi perempuan itu sendiri, tetapi bagi kehidupan bangsa secara keseluruhan.
Dilansir dari World Bank, partisipasi angkatan kerja perempuan Indonesia yang meningkat sebanyak 25% pada tahun 2025 akan menghasilkan tambahan aktivitas ekonomi senilai USD 62 miliar (sekitar Rp 890 triliun) dan menambah PDB sebesar 2,9%.
Selain itu, perempuan yang bekerja akan memiliki penghasilan sendiri yang digunakan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, tetapi juga anggota keluarga yang lain.
Menurut International Labour Organization (ILO), semakin banyak penghasilan perempuan akan bermanfaat bagi pembangunan manusia secara umum karena perempuan akan menginvestasikan penghasilannya kepada nutrisi, kesehatan, dan pendidikan anak.
Kemanfaatan itu akan semakin bertambah apabila perempuan terjun ke bidang pekerjaan hijau (green jobs). Seperti pernyataan ILO bahwa dengan memberikan akses adil bagi perempuan terhadap pekerjaan ramah lingkungan (green jobs) yang layak tidak hanya akan memberdayakan mereka tetapi juga mengarah pada pertumbuhan sosial dan ekonomi yang lebih besar dan berkelanjutan.