Jakarta, IDN Times – “Kita harus berani memulai dari sekarang beberapa lompatan kemajuan sudah kita lakukan. Kita sudah mulai dengan program B20, akan masuk ke B30 campuran solar dengan 30 persen biodiesel. Tapi kita bisa lebih dari itu kita bisa membuat B100,” ucap Presiden Joko Widodo kala menyampaikan pidato di Gedung DPR/MPR pada 16 Agustus lalu.
Optimisme menggunakan bahan bakar biodiesel jelas ada, terlebih program B20 sudah dilakukan sejak setahun terakhir. Namun masih ada sejumlah pertanyaan, khususnya bagi masyarakat umum.
Apa sih B20 atau B30? Manfaatnya apa? Lewat artikel ini, kami akan coba memberikan ke kamu pemahaman menyeluruh tentang program biodiesel ini.
1. Apa itu B20 dan B30?
B20 adalah program pemerintah yang mewajibkan pencampuran 20 persen biodiesel dengan 80 persen bahan bakar minyak jenis solar. Program ini mulai dilaksanakan sesuai arahan Presiden RI, terhitung mulai tanggal 1 September 2018.
Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.12 tahun 2015, jenis sektor yang wajib menerapkan program ini di antaranya usaha mikro, usaha perikanan, usaha pertanian, transportasi dan pelayanan umum/ PSO (Public Service Obligation); transportasi non-PSO; industri dan komersial; serta pembangkit listrik.
Sementara itu, B30 merupakan bahan bakar yang menggunakan 30 persen minyak sawit dan 70 persen minyak fosil jenis solar. Bahan bakar ini merupakan lanjutan dari implementasi kebijakan B20 yang diklaim berjalan sukses.
2. Sejumlah manfaat biodiesel
Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution, mengklaim adanya penurunan impor solar pada 2019 dibanding tahun lalu setelah adanya implementasi penggunaan biodiesel jenis B20 telah menurunkan impor solar pada 2019.
“Rata-rata impor solar bulanan tahun 2019 turun 45 persen dibanding rata-rata impor solar bulanan tahun 2018,” kata Darmin beberapa waktu lalu.
Penggunaan Fatty Acid Methyl Eter atau (FAME) atau turunan minyak sawit mentah (CPO) diklaim menjadi kunci penurunan impor. Penyaluran FAME untuk B20 pada Januari-Juli 2019 mencapai 3,49 juta kilo liter. Lalu hingga akhir Desember, Darmin memperkirakan akan tersalur sebanyak 6,2 kilo liter.
“Data tren impor solar Pertamina Maret sampai sekarang tidak impor solar lagi karena penggunaan B20 sudah masif,” kata Asisten Deputi Produktivitas Energi Kemenko Perekonomian Andi Novianto dalam sebuah forum.
Ia juga menyebut neraca perdagangan migas Juni 2019, impor migas udah turun sekitar 21,5 persen dibanding saat Juni 2018.
Fakta lainnya tentang manfaat B20 disampaikan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arcandra Tahar. Ia mengklaim B20 menghemat devisa sebesar US$1,66 miliar atau setara dengan Rp23,6 triliun karena turunnya impor solar.
“Kalau kita melihat harga MoPS untuk diesel dikalikan volume FAME yang sudah terdistribusikan itu sekitar 97 persen, maka penghematannya itu sekitar 1,66 miliar dolar dari Januari sampai Juli,” kata Arcandra.
B20 juga mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Andi mengatkan adanya penurunan emisi sektor energi tahun 2017 sebesar 44,9 juta Ton CO2e, atau sekitar 14,3 persen dari target pengurangan GRK tahun 2030 sektor energi.
“Penurunan emisi GRK dari mandatory biodiesel 2018 mencapai 6,0 juta ton CO2e, dan tahun 2019 diperkirakan mencapai 9 juta ton CO2e. Dan tahun 2019 diperkirakan mencapai 9 juta ton CO2e. Jadi memang naik. Sampai 2030, memang tidak cukup banyak target ini, mungkin 2,5 persen pada 2030. Jadi target ini ada beberapa yang bisa kita cek mulai dari efisiensi energi,” paparnya.
Yang paling utama, karena biodiesel merupakan substansi tidak beracun dan bisa diurai oleh lingkungan sehingga membuatnya menjadi salah satu alternatif bahan bakar diesel ramah lingkungan.
Sebuah studi di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa emisi karbon dioksida yang dikeluarkan biodiesel sekitar 75 persen, lebih rendah dibandingkan yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil. Bahan bakar ini tidak mengandung bahan kimia beracun seperti sulfur yang bertanggung jawab pada pencemaran lingkungan. Tidak adanya sulfur berarti mengurangi risiko terjadinya hujan asam.
3. Kelemahan biodiesel
Karena biodiesel diproduksi dari kelapa sawit, maka isu yang sering kita dengar adalah isu penggundulan hutan atau deforestasi dari pegiat lingkungan hidup.
Dari sisi lain, kandungan energi biodiesel 11 persen lebih rendah dari solar, sehingga kemampuannya menghasilkan tenaga lebih kecil dibandingkan bahan bakar fosil. Kualitas oksidasi yang tidak terlalu baik membuat biodiesel memiliki masalah terkait dengan penyimpanan.
Pasalnya bila disimpan dalam waktu lama, bahan bakar ini cenderung berubah menjadi seperti gel, sehingga berpotensi menyumbat mesin. Hal ini juga dibenarkan oleh Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman saat dihubungi IDN Times.
“Uji coba B20 tiga kali uses oil analysis tingkat keasaman dan lain-lain gak masalah. Kita gak argue lagi. Tapi langkah seperti itu kurang bijak. Di mesin, kalau gak pakai pre-filter, ada jelly. Karena performa naik-turun. Jadi kalau B20 cukup pakai pre-filter,” jelasnya.
Selain itu, biodiesel juga bisa ditumbuhi mikroba yang dapat memicu masalah pada mesin. Kyatmaja juga mengkhawatirkan penggunaan B30 ke depannya yang dinilai akan lebih boros.
“Biofuel kalau bensin kan pakai etanol ya. Kalau solar pakai sawit bisa dicampur. Etanol butuh 2 kali lipat energi yang sama. Di biosolar B100 akan butuh 44 persen lebih banyak. B20 dan B30 menyesuaikan. Lebih boros 44 persen,” jelasnya.
Selain itu, untuk penggunaan B30 atau lebih, ia mengkhawatirkan karena butuh konfigurasi baru untuk mesin kendaraan.
“Agak riskan karena butuh konfigurasi yang baru. Karena punya kecenderungan mengikat air. Kalau di biosolar jadi tercampur, warnanya butek, dan susah dipisahkan. Butuh water separator,” sebutnya.
4. Klaim realisasi penggunaan tapi belum ada bukti penjualan
Bicara soal penyerapan, Arcandra sendiri mengatakan sejak Januari hingga Juli 2019, volume penggunaan B20 telah mencapai 2,95 juta kiloliter atau 44 persen dari total kuota tersebut. “Pencapaian (penyerapan) itu sudah 97,4 persen dari target,” ujarnya.
Angka pencapaian 97,4 persen sejak Januari hingga Juli 2019 itu menunjukkan bahwa realisasi program mandatory B20 belum mencapai target yang ditetapkan sebesar 100 persen.
Di sisi lain, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat penyerapan B20 sepanjang Januari-Juni 2019 mencapai 3,29 juta ton. Jumlah tersebut naik 144 persen dari periode sama 2018 yang hanya mampu menyerap sebesar 1,35 juta ton.
“Angka ini menunjukkan program mandatory B20 telah berjalan dengan baik di PSO dan non-PSO. Pemerintah tetap diharapkan untuk mengakselerasi mandatory B30 yang saat ini uji cobanya sedang berlangsung,” kata Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono melalui keterangan resmi di Jakarta, Selasa (27/8).
Secara detail, GAPKI mencatat penyerapan biodiesel pada Januari mencapai 552 ribu ton, Februari sebesar 648 ribu ton, Maret 527 ribu ton, April 516 ribu ton, Mei 557 ribu ton, dan Juni 490 ribu ton.
Lewat program mandatory biodiesel 20 persen ini, serapan CPO pada 2019 ditargetkan mampu mencapai 6,2 juta kiloliter atau setara 5,4 juta ton.
Namun, sejumlah klaim ini mendapat kritik dari Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mempertanyakan bukti konkret penjualan biodiesel.
“Penjualan dari B20 seperti apa? Karena selama ini klaim cuma produksi. Apakah semua produksi itu terjual karena gak semua industri bisa menyerap. Diserap semua atau ada sisa?” kritik Abra saat dihubungi IDN Times.
Ia menilai pertanyaan itu penting untuk melihat kinerja Pertamina sebagai pihak yang mendapat penugasan.
“Kalau sampai tidak terserap akan jadi beban Pertamina. Saya khawatir Pertamina akan dapat tambahan beban dari kebijakan ini. Jangan sampai Pertamina jadi korban kebijakan ini karena ditugasi untuk memproduki B20 karena khawatir tidak terserap pasar dengan industri kelapa sawit,” papar Abra.
5. Indonesia siap untuk B30, B50, dan B100?
Dilansir dari Antara, pada Juni 2019, pemerintah melakukan uji coba jalan tiga unit truk dan delapan kendaraan penumpang diesel dengan jarak tempuh 40 ribu dan 50 ribu kilometer.
Kendaraan itu diuji coba untuk membuktikan penggunaan B30 tidak mempengaruhi kinerja mesin diesel. Penggunaan B30 diklaim mampu menambah konsumsi crude palm oil (CPO) domestik antara 9-10 juta ton dan menghemat impor minyak solar sebesar 55 juta barel per tahun.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan ESDM Dadan Kusdiana menjelaskan bahwa lingkup kegiatan Road Test B30 terdiri dari pengujian kualitas bahan bakar, kualitas pelumas, merit rating komponen mesin, stabilitas penyimpanan pada kondisi luar ruangan bersuhu dingin, penyiapan dan blending bahan bakar, kajian manajemen kebutuhan bahan bakar, uji konsumsi bahan bakar, uji unjuk kerja kendaraan, uji tingkat penyumbatan pada filter bahan bakar, hingga uji presiptasi pada kendaraan (starter mobil dalam kondisi dingin).
“Uji coba B30 bisa disebut gagal, salah satunya jika filter tangki tidak bisa bekerja sesuai dengan yang disarankan, misalnya filter bahan bakar dibuat untuk 10.000 kilometer tapi pada saat uji jalan B30 ditemukan di 6.000 kilometer bermasalah berarti itu gagal,” tutur Dadan.
Saat ini pemerintah masih melakukan sejumlah evaluasi terkait uji coba tersebut yang nantinya akan menjadi landasan bagi pemerintah dalam mengambil keputusan terkait penggunaan B30, baik itu untuk kepentingan transportasi, industri mau pun pertambangan.
“Sekarang kami masih evaluasi sambil jalan (uji coba),” ujar Arcandra.
Merujuk Peraturan Menteri ESDM tentang kewajiban (mandatory) penggunaan bahan bakar nabati (BNN), penggunaan B30 dijadwalkan pada Januari 2020. Penerapan mandatory itu untuk mengurangi ketergantungan impor dan menghemat devisa, serta menyediakan BBM yang ramah lingkungan.
Namun, keberlanjutan biodiesel menuju B30, B50 dan B100 patut dipertanyakan. Abra menilai produksi dianggap B20 menolong migas padahal membuat penggunan BBM turun 4,1 persen.
“Karena minyak mentah dibeli Pertamina. Bukan Pertamina kurangi impor karena kebanyakan produksi B20. Karena pasokan minyak mentah dalam negeri banyak,” ucapnya.
Ia khawatir ada pihak yang memberitahu Presiden Jokowi dan membuatnya percaya bahwa penurunan defisit migas karena faktor B20.
“Sehingga didorong B50. Padahal harus dilihat berapa persen pengaruh B20 terhadap minyak migas, presentasenya belum ada. Kalau B20 misal ada angka menyumbang 50 persen penurunan defisit migas, itu baru bisa dijustifikasi peningkatan B30 dan B50,” sebut Abra.
Sumber: IDN Times