Jakarta, 26 November 2024—Koaksi Indonesia bersama Aliansi Voices for Just Climate Action (VCA) Indonesia menghelat diskusi kebijakan bertajuk “Mendorong Kebijakan Adaptasi yang Berkeadilan di Indonesia”. Diskusi yang diadakan di salah satu hotel di kawasan Wahid Hasyim ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman media mengenai isu adaptasi perubahan iklim dan memberdayakan media dalam mengangkat cerita yang relevan bagi konteks nasional.
Dalam sambutannya membuka acara diskusi, Indra Sari Wardhani, Plt. Direktur Program Koaksi Indonesia, mengucapkan terima kasih atas kehadiran para pemangku kepentingan. “Kita bersama-sama akan mendiskusikan bagaimana sesungguhnya adaptasi yang berkeadilan itu. Hasil dari diskusi ini sangat penting untuk menjembatani gap permasalahan di tingkat tapak, sehingga kita bisa mengetahui kebutuhan di tingkat tapak yang harus ditetapkan dalam kebijakan nasional.”
Diskusi ini didasari oleh kenyataan bahwa dampak perubahan iklim semakin nyata di Indonesia, seperti cuaca ekstrem dan kenaikan permukaan air laut. “Sebanyak 60% penduduk Indonesia tinggal di daerah pesisir yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim—yang kini disebut krisis iklim—sehingga diperlukan kebijakan, seperti NDC yang disusun oleh Pemerintah Indonesia,” ungkap Fina Ardarini S.Pi., M.Si dari Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut. “Dibutuhkan kolaborasi akademisi, lembaga think tank, NGO, dan media massa untuk mendukung aksi adaptasi perubahan iklim.”
Arti Indallah Tjakranegara, Country Engagement Manager Yayasan Humanis, mengungkapkan kerja yang dilakukan VCA Indonesia sebagai aliansi yang terdiri dari lebih dari 26 organisasi masyarakat sipil bersama komunitas akar rumput. “Selama tiga tahun terakhir di Nusa Tenggara Timur, VCA Indonesia telah mendorong 1.000 champion atau local leader untuk menyuarakan kampanye terkait keadilan iklim. Kami berharap apa yang kami lakukan ini dapat memunculkan solusi-solusi iklim yang dibutuhkan di tingkat lokal untuk mendukung kebijakan nasional.”
Namun, pemberitaan mengenai isu perubahan maupun aksi iklim masih sangat minim, dengan hanya 0,31% artikel media daring nasional yang membahas krisis iklim, ekonomi hijau, dan keadilan iklim.
Persentase yang sangat minim tersebut merupakan hasil power mapping yang dilakukan oleh Koaksi Indonesia, Humanis, dan Katadata Green. Kajian yang berjudul Power Mapping: Dinamika Agenda Iklim Indonesia yang dilakukan selama Agustus 2022–Agustus 2023 itu juga mengungkapkan minimnya isu perubahan iklim di media sosial.
Jeany Hartriani, Product Manager Katadata Green, memaparkan hasil power mapping, “Dari tahun 2022 sampai 2023, dengan tiga kata kunci terkait perubahan iklim, kami menemukan porsi pemberitaan nasional, yaitu konteks ekonomi hijau sebesar 0,18%, krisis iklim sebesar 0,12%, dan keadilan iklim hanya 0,01%.”
Sebagai salah satu pembuat pemetaan ini, Koaksi Indonesia yang diwakili oleh Ridwan Arif, Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan, mengatakan, “Kebijakan terkait adaptasi perubahan iklim perlu didorong, agar aksi iklim yang sudah dilakukan oleh masyarakat dapat diketahui dan menciptakan adaptasi efektif yang berkeadilan.”
Media berperan penting dalam menyuarakan aksi iklim yang telah dilakukan masyarakat yang terdampak. “Kerja sama dengan media membantu untuk menggaungkan suara tapak ini sampai ke tingkat nasional,” ungkap Indra Sari Wardhani. Peran penting media juga diakui oleh Fina Ardarini. “Adanya media dapat menyampaikan suara yang mendukung aksi adaptasi perubahan iklim, sehingga dapat menghasilkan rumusan kebijakan perubahan iklim di Indonesia.”
Dengan pemberitaan itu, masyarakat luas dan pemerintah dapat memperoleh gambaran nyata dan lengkap dampak perubahan iklim, sehingga dapat mendukung aksi iklim yang telah dilakukan. Dukungan sangat diperlukan karena dampak perubahan iklim pada akhirnya akan sangat memengaruhi berbagai aspek kehidupan.
Dampak perubahan iklim coba dikulik oleh media. Salah satunya oleh Narasi TV yang melakukan investigasi mengenai dampak perubahan iklim di Nusa Tenggara Timur (NTT). Hasil investigasi yang menampilkan aksi adaptasi perubahan iklim para local champion di beberapa wilayah di NTT ini telah tayang perdana sebelum diskusi publik ini dimulai.
“Saya melihat dampak perubahan iklim yang nyata di Nusa Tenggara Timur. Terlihat setelah badai Seroja yang melumpuhkan kegiatan masyarakat, tidak hanya di Kota Kupang tetapi terjadi juga di pesisir. Dampaknya tidak hanya dari lingkungan, tetapi sisi ekonomi. Mereka terlilit utang karena tidak bisa berlayar,” ungkap Arbi Sumandoyo, Produser Buka Mata Narasi TV saat melakukan liputan khusus di NTT.
Meski perubahan iklim di NTT tidak terhindarkan, Akbar A. Digdo, CEO Yayasan Pendidikan Konservasi Alam (Yapeka) mengamati ada banyak praktik baik yang telah dilakukan masyarakat lokal sekalipun tidak didokumentasikan. Mereka hanya berusaha untuk melindungi lingkungan mereka untuk generasi mendatang.
“Perubahan iklim yang terjadi di pesisir itu tidak hanya menghilangkan kebudayaan dan teknologi dalam mencari ikan, tetapi dapat mengancam mata pencarian masyarakat pesisir. Bahkan, dalam skala lebih luas, kegagalan dalam adaptasi perubahan iklim dapat berakibat pada hilangnya tatanan sosial-kebudayaan masyarakat kepulauan di Indonesia.”
Hasil dari diskusi yang melibatkan para pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan media ini akan disusun menjadi sebuah policy brief yang komprehensif mengenai adaptasi perubahan iklim di tingkat nasional, khususnya dari perspektif Koalisi VCA, yang memengaruhi kebijakan nasional.
Rekomendasi ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang penyusunannya menjadi tugas dari Bappenas.
***