Cerita inspiratif tokoh masyarakat NTT dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang didokumentasikan dalam film “Climate Witness” kini telah resmi ditayangkan pada 22 Juni 2024.
KOAKSI INDONESIA—Melanjutkan keberhasilan “Climate Witness” pertama pada 2023 silam, peluncuran perdana “Climate Witness” kedua berupa acara nonton bersama dan diskusi film telah diikuti lebih dari 50 orang di ruang teater Sjuman Djaya, Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat.
Film ini bertujuan untuk memberikan sebuah inovasi dalam berkampanye terkait perubahan iklim. Walaupun upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim merupakan persoalan yang kompleks, film ini mengingatkan kita bahwa langkah sederhana hari ini dapat berpengaruh besar untuk bumi.
“Climate Witness” merangkum contoh langkah aksi sederhana tersebut dengan mengangkat kisah empat tokoh lokal Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam durasi kurang lebih lima puluh menit. Bertemakan “Berkarya untuk #AdilUntukBumi, Beraksi Mulai dari #LangkahHariIni”, film ini diharapkan bisa menginspirasi siapa saja untuk tergerak dalam aksi iklim.
Koaksi Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Sipil Voices for Just Climate Action (VCA) merancang dan memproduksi film “Climate Witness” baik yang pertama maupun kedua.
VCA bertujuan untuk memperkuat narasi dan suara aksi iklim yang berkeadilan terutama dalam menekankan solusi adaptif yang menjangkau masyarakat lokal dan kelompok marginal. Bersama dalam satu payung keadilan iklim tersebut, koalisi yang tergabung dalam VCA Indonesia sepakat untuk menyuarakan isu iklim dengan mengangkat cerita dan aspirasi masyarakat lokal terutama NTT.
Baca Juga: Praktik Cerdas Aksi Perubahan Iklim di NTT
Kampanye dengan model video dokumenter seperti ini dibuat dalam nuansa dan tone warna cerah yang meningkatkan pesona alam NTT yang cantik. Dengan demikian dapat memberikan kesan kampanye yang positif, walaupun pesan yang terkandung negatif karena bicara tentang dampak perubahan iklim.
“Pesan positif itu penting untuk dilakukan agar bisa mengajak semua kalangan. Setiap individu mempunyai peran penting untuk solusi iklim. Diharapkan dari aksi individu seperti ini tercipta solidaritas kelompok untuk bersama menangani perubahan iklim,” ucap Arti Indallah, Country Engagement Manager Yayasan Humanis sekaligus focal point untuk aliansi VCA Indonesia.
Ridwan Arif, Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia, sekaligus produser film ini menambahkan bahwa kampanye yang dilakukan secara positif akan lebih mudah diterima semua kalangan baik individu maupun komunitas.
“Berdasarkan riset awal yang dilakukan Koaksi Indonesia, konten video di Youtube tentang perubahan iklim terkesan sangat suram. Oleh karena itu, muncul ide untuk menghasilkan video kampanye yang memiliki kesan lebih positif dan fun. Dengan demikian, hasil kampanye dapat memberikan harapan positif,” ujar Ridwan.
Gelar Wicara dengan Produser dan Sutradara Film
Sebagai pengantar agenda menonton bersama “Climate Witness”, Joan Rumenang dari Project Multatuli, selaku moderator memimpin jalannya diskusi bersama produser dan sutradara film. Keduanya membagikan pengalaman menarik mereka selama proses pembuatan film.
“Tujuan pembuatan film ini sebagai alat komunikasi yang berbeda untuk kampanye media sosial. Terutama untuk menyampaikan suara masyarakat yang memang sudah lama menerapkan proses penanggulangan masalah perubahan iklim,” ujar produser film Ridwan Arif.
Lain lagi yang dihadapi sutradara film sekaligus videografer Adi Yuda Tirtana. Selama proses pembuatan film, banyak tantangan dari segi perbedaan lokasi, bahasa, dan budaya yang ada di NTT. Namun, semua berhasil diatasi karena saling pengertian.
Baca Juga: Apa itu Adaptasi Berbasis Ekosistem dan Praktik Baiknya di NTT
“Dampak perubahan iklim sangat nyata terasa di sana (NTT) karena pukul empat sampai lima pagi udaranya tidak sejuk lagi, melainkan sudah sangat panas. Cuaca yang panas ini juga berdampak pada peralatan kami. Alat-alat untuk merekam menjadi cepat panas atau overheat,” tambah Adi.
Kemudian, Joan menanyakan kesan Ridwan dan Adi selama proses pembuatan film.
“Tentu banyak hal yang membuat terkesan dan menohok bagi kami. Contoh saat kami di Larantuka bertemu dengan Kempi Hayon. Salah satu tokoh dalam film ini beserta komunitasnya yang hampir setiap hari melakukan bersih-bersih sampah di pantai. Kami yang setiap hari saat syuting membawa botol plastik air mineral merasa sungkan dan bersalah, sehingga kalau mau minum selalu bersembunyi,” jawab Adi.
Pengalaman ini membuat Adi merasa tertohok. Dia jadi menyadari bahwa empati terhadap lingkungan dapat dilakukan dari hal yang sederhana. Menyadari juga bahwa setiap individu dapat melakukan hal sederhana yang sebetulnya sangat penting untuk perubahan.
Sementara Ridwan terkesan dengan salah satu tokoh dalam “Climate Witness” pertama, yaitu Joni Messakh, yang melanjutkan menanam mangrove yang sudah dimulai oleh ayahnya. Kini, kawasan mangrove di Desa Tanah Merah, Kupang sudah sangat luas dan sedang direncanakan proses advokasi untuk menjaga kelestarian kawasan itu beserta potensi di dalamnya.
Tentang “Climate Witness”
“Bumi kita menangis di tengah-tengah keganasan waktu yang tak kenal ampun. Kita tak perlu ratu adil, kita hanya perlu langkah yang adil yang tetap bercahaya hari ini, esok, dan seterusnya.”
“Langit saksi bisu perjalanan kita, menatap penuh harap juga keraguan. Bumi tempat kita bernapas bernaung, menatap nestapa menunggu uluran tangan kita.”
Penggalan monolog tentang bumi yang dibawakan begitu indah oleh pemain teater Kunti Dewanggani menjadi pengantar sebelum acara nonton bersama. Alunan nada dan intonasi Kunti berhasil memikat para peserta yang hadir malam itu.
Cerita yang diangkat dalam “Climate Witness” kali ini menggambarkan upaya empat tokoh menggerakkan masyarakat di lingkungan mereka dalam mengatasi dampak perubahan iklim.
Balsasar Darius Mboeik, Muhammad Mansur Dokeng, Maria Mone Soge, dan Klemens Heka Hayon sebagai tokoh utama dalam film ini siap membagikan kisah mereka yang inspiratif terkait pelestarian ekosistem mangrove, lingkungan masyarakat pesisir, peningkatan kualitas pangan lokal, dan edukasi lingkungan kepada masyarakat.
Pelestarian ekosistem mangrove oleh suku Manggi diceritakan oleh ketua adat Balsasar Darius Mboeik. Balsasar menjelaskan bahwa masyarakat turut bergerak dalam menanam kembali mangrove untuk menjaga kawasan pesisir mereka dari badai dan abrasi pantai. Adanya peraturan adat yang mengikat masyarakat cukup efektif menyadarkan mereka akan pentingnya melestarikan ekosistem mangrove.
Muhammad Mansur Dokeng, atau akrab disapa Dewa, menceritakan komunitas nelayan kini telah memiliki badan resmi dan didukung keberadaannya oleh Pemerintah. Adanya komunitas Nelayan Bersatu Kota Kupang mampu meningkatkan kapasitas nelayan dalam pekerjaannya melaut sehari-hari. Selain itu, bantuan berupa monitor prediksi cuaca di laut serta kegiatan rutin untuk pemberitaan dalam jurnalisme warga meningkatkan kapasitas nelayan karena membantu mengurangi kecelakaan kerja.
Konsisten melestarikan pangan lokal dengan menggandeng masyarakat setempat terutama ibu-ibu dilakukan oleh seorang guru matematika, Maria Mone Soge atau yang biasa disapa Shindy. Shindy berfokus untuk terus mengembangkan pangan lokal karena selain melestarikan potensi lokal yang ada, juga mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat di tengah perubahan iklim.
Klemens Heka Hayon, atau Kempi Hayon, menyuarakan aksi pelestarian lingkungan dengan cara yang berbeda dengan profesinya sebagai nutrisionis di unit pelaksana teknis dinas (UPTD) Puskesmas Oka, Larantuka. Tergabung dalam Trash Hero dan pendiri Rompes (Rombongan Pesepeda), Kempi melakukan aksinya dengan membersihkan sampah plastik di lingkungan sekitar dan di pantai. Berkat kegigihannya, kini makin banyak masyarakat, terutama anak muda yang ikut serta dalam aksinya.
Diskusi Film bersama Kempi dan Shindy
Proses diskusi masih terus berlanjut dengan menghadirkan dua tokoh dalam film, Kempi Hayon dan Shindy, secara daring.
Arti mengawali kegiatan diskusi dengan menyampaikan, “Kampanye dilakukan untuk mendorong dan menyuarakan aksi iklim berbasis lokal. Adil buat bumi dijadikan hastag kita karena perubahan iklim mengakibatkan dampak yang berbeda bagi setiap kelompok masyarakat. Oleh karena itu, upaya mitigasi dan adaptasinya harus disesuaikan dengan konteks lokal masyarakat itu sendiri.”
Kempi berhasil menggerakkan banyak teman untuk peduli terhadap lingkungan melalui kegiatan menanam pohon dan edukasi di sekolah-sekolah. Kempi menambahkan, “Organisasi kami juga aktif diundang oleh komunitas, kelompok, dan organisasi anak muda untuk menyampaikan materi terkait lingkungan terutama sampah. Keberhasilan ini diharapkan dapat menular ke organisasi perangkat daerah (OPD) dan pemerintah, sehingga sinergi dalam menjaga lingkungan makin kuat terbangun.”
Cerita menarik dari Shindy yang bergerak bersama masyarakat mulai dari ibu-ibu hingga komunitas muda untuk melestarikan pangan lokal di desa mereka. Sorgum merupakan bahan pangan karbohidrat asli dari NTT karena sesuai dengan kondisi lingkungan dan topografinya. Penguatan pangan lokal seperti sorgum dianggap solusi adaptif untuk ketahanan pangan di sana sebagai upaya menghadapi dampak perubahan iklim.
“Kabar baiknya, pemerintah mulai memberikan dukungan terhadap pengolahan pangan lokal ini. Pemerintah daerah mengundang kami untuk menyosialisasikannya dan memberikan pelatihan tata cara menerbitkan nomor induk berusaha (NIB) untuk produk olahan pangan lokal kami,” ujar Shindy.
Alur diskusi berlanjut dengan pertanyaan yang menarik dari salah satu peserta terkait strategi Kempi dan Shindy dalam menggerakkan masyarakat untuk mau bergabung dalam gerakan lingkungan.
“Ada saatnya kami jenuh juga karena pada awal saya melakukan gerakan ini, hampir tidak ada masyarakat yang mau ikut. Namun, adanya panggilan jiwa membuat saya tetap bersemangat memperjuangkan lingkungan,” kata Kempi.
Kempi menambahkan, untuk meningkatkan minat terhadap pergerakan lingkungan bisa dilakukan melalui media sosial. Pada awalnya, Kempi membagikan ceritanya dengan posting kegiatan bersih-bersih sampah di pantai, lalu perlahan membuat lukisan mural di dinding. Setelah itu, perlahan mulai muncul satu per satu anggota masyarakat yang tertarik dan ikut bergabung.
Baca Juga: World Cleanup Day Menyiasati Polemik Sampah Pulau Harapan
Shindy menceritakan proses pemberdayaan yang dilakukannya dengan terus memberi edukasi dan secara langsung mempraktikkan pengolahan pangan lokal bersama ibu-ibu. Hasil praktik bersama ini kemudian dijual dan dibagi rata sehingga manfaatnya dirasakan bersama.
“Tantangannya adalah mencari waktu luang bagi ibu-ibu karena mereka sudah sangat sibuk, sehingga jika kita ingin mengajak bekerja sama carilah waktu luang mereka. Selain itu, ketersediaan bahan baku diusahakan terpenuhi agar produktivitas pangan tetap terjaga,” ujar Shindy.
Pertanyaan pamungkas disampaikan terkait bagaimana sebuah solusi adaptif mampu diterapkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Ada beberapa kasus yang menunjukkan anak-anak menggunakan botol bekas minyak goreng sebagai botol tempat air minum. Kenyataan yang menyedihkan inilah sebenarnya gap masalah yang harus diselesaikan. Perubahan iklim dan perekonomian terus beririsan. Banyak solusi yang dianggap sebagian orang efektif, namun nyatanya memberatkan masyarakat lain.
“Proses mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus disesuaikan dengan kebutuhan lokal masyarakat. Masih banyak kebijakan yang mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Misalnya, mengubah kebiasaan makan lokal sorgum menjadi beras, menyamaratakan makan nasi seperti di Pulau Jawa sehingga setiap daerah ada budaya untuk menanam padi, padahal tidak semua memiliki kesesuaian lahan yang tepat. Strategi advokasi yang diterapkan harus disesuaikan dengan kondisi lokal dengan tidak menyamaratakan solusi karena setiap daerah memiliki kebutuhan yang berbeda,” tegas Arti.
“Kita semua bisa bergerak untuk mengatasi dampak negatif perubahan iklim, dimulai dari hal yang dekat dengan kita dan dapat berjejaring dengan banyak komunitas. Solusi adaptif dapat disesuaikan dengan kebutuhan kita sendiri. Namun, yang terpenting konsisten melakukannya,” tutup Joan mengakhiri agenda peluncuran “Climate Witness” sore hari itu.