Menilik keseruan acara CSO Forum yang rutin dilaksanakan Koaksi Indonesia memberikan harapan besar bahwa kemudahan informasi terkait akses pendanaan iklim seharusnya dapat diterima secara luas sebagai langkah dukungan terhadap perubahan.
KOAKSI INDONESIA—Sebagai salah satu upaya pengembangan kemitraan strategis dengan berbagai kelompok masyarakat sipil (civil society organizations [CSOs]), Koaksi Indonesia secara rutin mengadakan forum masyarakat sipil atau CSO Forum yang mendiskusikan berbagai isu terkini terutama terkait aksi perubahan iklim.
Dihadiri oleh beberapa komunitas juga mitra dari koalisi Voices for Just Climate Action (VCA) Indonesia, agenda CSO Forum pada 30 April 2024 sukses dihadiri oleh sekitar 40 peserta zoom meeting dan 470 penonton live streaming YouTube Koaksi Indonesia.
Dalam sambutannya, Verena Puspawardani, Direktur Program Koaksi Indonesia, menyampaikan bahwa pengetahuan terkait berbagai akses pendanaan iklim merupakan informasi berharga sebagai pilar bagi organisasi dalam menjalankan visi misinya.
Baca Juga: Peran Forum Multistakeholder dalam Pembangunan Bangsa
“Pentingnya mengetahui informasi pendanaan akan mendukung tidak hanya organisasi di tingkat nasional, namun masyarakat di tingkat tapak dapat turut memperoleh kesempatan untuk mendukung aksi yang dilakukan,” ujar Verena.
Acara diskusi sekitar dua jam ini dipandu oleh Ridwan Arif selaku Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia sekaligus Koordinator Program VCA Koalisi Sipil. Berbagai pengetahuan menarik disampaikan oleh para narasumber antara lain (1) Arti Indallah Tjakranegara sebagai Country Engagement Manager Yayasan Humanis Indonesia, (2) Nurul Chairunnisa sebagai Grants Coordinator The Samdhana Institute, (3) Jannata Giwangkara sebagai Senior Project Manager Climateworks Centre Monash Sustainable Development Institute, dan (4) Arya Putra R. A. sebagai Venture Scout & Corporate Innovation Manager Ecoxyztem.
Narasumber Berbagi Cerita
Pada awal sesi gelar wicara, para narasumber diberikan kesempatan untuk menceritakan akses pendanaan yang telah dilakukan organisasi mereka. Arti memaparkan bahwa terdapat banyak sekali sumber pendanaan yang bisa diakses mulai dari tingkat organisasi multilateral sampai donasi individu. Selain itu, Arti mengatakan bahwa ada baiknya jika organisasi-organisasi sipil mulai menerapkan earned income sebagai salah satu sumber pendanaannya.
“Saat ini, CSO tidak bisa sepenuhnya mengandalkan hibah. Ada baiknya CSO mulai menerapkan earned income yang bisa diperoleh dari beberapa hal. Misalnya melalui konsultasi berdasarkan keahliannya, investasi dana cadangan modal, atau bahkan dari penyewaan ruang rapat atau guest house yang dimiliki,” ujar Arti.
Diskusi dilanjutkan oleh Jannata Giwangkara atau akrab dipanggil Egi yang menyampaikan bahwa terdapat bentuk kolaborasi yang penting dilakukan untuk menguji tipe pendanaan. Selama ini, Climateworks Centre sering melakukan kolaborasi dengan berbagai mitra lokal seperti bermitra dengan IPB untuk urusan kelautan, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Net Zero Hub untuk kolaborasi urusan corporate transition, dan lain sebagainya.
“Pada dasarnya Climateworks Centre di bawah basis kerja universitas, sehingga memiliki tantangan sendiri sebab akan terus mengikuti kebijakan dari universitas,” tambah Egi.
Sedikit berbeda dengan cerita The Samdhana Institute, Nurul menyampaikan bahwa Samdhana merupakan channeling grant atau semacam menjembatani pemberi donor (grant) dengan masyarakat adat, komunitas lokal, dan lainnya yang memiliki prioritas kerja terkait isu iklim, pengelolaan sumber daya alam, dan pemberdayaan masyarakat.
“Meskipun memiliki wilayah prioritas tertentu sesuai dengan kebutuhan donor, Samdhana tetap setia pada misinya untuk mendukung komunitas di seluruh pelosok negeri. Pendekatan administratif yang sederhana memungkinkan partisipasi yang lebih luas dari masyarakat, memastikan bahwa bantuan dan dukungan mereka bisa tersalurkan dengan efisien,” tutur Nurul.
Salah satu aspek yang menarik adalah pembahasan seputar dana darurat yang disediakan oleh The Samdhana Institute. Saat ini, Samdhana memiliki program untuk tindak cepat melalui urgent action grant, khususnya dalam menghadapi bencana alam atau kejahatan terkait lingkungan. Nurul menjelaskan lebih lanjut mengenai program Next Level Grant Facility (NLGF) ini yang sigap terhadap pengajuan proposal dalam rangka lingkup koalisi VCA.
“Karena dana ini merupakan dana darurat untuk menanggapi aksi cepat, mekanismenya dilakukan secara sederhana. Pengajuannya cukup dengan mengirim proposal yang berisikan informasi kejadian, kronologi kejadian, dan termasuk siapa saja yang terdampak. Untuk kemudahan pelaporan, dapat mengirimkannya melalui email atau bahkan ke WhatsApp kami,” ujar Nurul.
Baca Juga: Pendanaan Iklim untuk Mendukung Aksi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim
Dengan batasan maksimal dana yang dapat diberikan sebesar USD30.000 atau setara IDR45.000.000, Samdhana berkomitmen untuk memberikan respons cepat terhadap kebutuhan masyarakat yang terdampak. Selain itu, proses pertanggungjawabannya cukup mudah, hanya dengan mengirimkan rincian penggunaan dana termasuk jika ada dapat melampirkan foto atau video sebagai bukti pendukung.
Segala mekanisme dan informasi terkait pendanaan darurat ini dapat disampaikan langsung ke email proposal@samdhana.org. Arti dari Yayasan Humanis menambahkan, bagi organisasi yang mengalami serangan digital seperti peretasan website atau doxing, dapat mempelajari pendanaan darurat pada laman https://www.digitaldefenders.org.
Walaupun fokus pada empat lokasi prioritas saja, Samdhana terus bergerak maju, membuka peluang bagi inisiatif serupa yang relevan. Bahkan, sampai ekspansi ke negara-negara lain di Asia Tenggara. Samdhana menunjukkan bahwa perjuangan mereka melawan perubahan iklim tidak mengenal batas.
Tidak kalah menariknya penuturan Arya Putra dari Ecoxyztem, sebuah venture builder yang tidak hanya mengusung semangat kewirausahaan, namun juga peduli pada lingkungan. Menurut Arya, yang yang ditawarkan Ecoxyztem lebih dari sekadar bisnis karena berperan sebagai jembatan para eco-preneurs dengan penyedia layanan bisnis.
“Pada tahun 2021, Ecoxyztem juga telah mengambil langkah besar dengan menjadi sebuah venture builder yang lebih fokus terhadap profitnya, tetapi tidak pernah melupakan misinya untuk menjaga planet tetap hijau. Kami membantu mulai dari aktivitas pengembangan bisnis, layanan berbagi, hingga penggalangan dana bagi perusahaan terkait,” ujarArya.
Peluang Mengakses Pendanaan bagi Peserta
Saat sesi tanya jawab, para peserta sangat antusias bertanya mengenai peluang pendanaan yang dapat mereka akses dan kembangkan.
Salah satu pertanyaan pemantik datang dari Reza dan Ben Bedil tentang pendanaan yang dapat diakses CSO. Reza yang berlatar belakang sektor pendidikan dan Ben dari Lembaga Pengembangan Masyarakat Lembata Barakat yang mewakili masyarakat pesisir mendapatkan jawaban informatif dari berbagai narasumber.
Arya menawarkan inovasi bagi komunitas yang basis kerjanya wilayah pesisir untuk melakukan upaya bisnis karbon, termasuk blue carbon atau restorasi mangrove. Saat ini, Ecoxyztem sedang bekerja sama dengan UNDP untuk menjalankan pendanaan yang berhubungan dengan blue carbon. Akses ini dapat dipelajari pada laman dan proses registrasinya masih dibuka sampai akhir Mei 2024.
Baca Juga: Eco-Anxiety: Bagaimana Perubahan Iklim Mengubah Kesehatan Mental
Karena semua narasumber berasal dari latar belakang lingkungan, bagi organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, para narasumber menyarankan inovasi dengan melakukan kolaborasi dalam skema konsorsium. Saran ini menyambung pertanyaan Verena akan pentingnya kebutuhan kolaborasi antara CSO dalam mengakses pendanaan iklim.
“Secara garis besar memang pendanaan yang diberikan oleh donor diharapkan dapat bermanfaat secara lebih luas, sehingga muncullah skema konsorsium atau koalisi. Permasalahannya adalah bagaimana cara kita agar tetap solid bekerja dalam konsorsium dan bersama mencapai tujuan karena sejatinya semakin besar aksi kolektif yang dilakukan semakin besar pula manfaat yang didapatkan,” jawab Arti.
Selain itu, manfaat dari adanya kolaborasi dalam konsorsium menunjukkan bahwa dalam upaya mendapatkan dukungan finansial, kolaborasi antarorganisasi dapat menjadi kunci untuk memperluas dampak, bahkan bagi komunitas dengan skala kecil sekalipun.
Menutup sesi gelar wicara, selaku moderator, Ridwan Arif, memberikan pertanyaan penutup terkait cara memastikan program yang dilakukan organisasi tetap berjalan walaupun periode pendanaan sudah berakhir.
Egi menyampaikan bahwa dalam membangun sebuah program perlu didesain secara matang sehingga kelanjutan dari program ini tetap bisa berjalan walau dengan pendanaan lain.
“Perlunya membuat milestone dengan membuat rencana jangka panjang serta membangun hubungan yang baik antardonor juga merupakan kiat agar kita tetap diingat dan mudah untuk menjalin hubungan dengan para founders,” pungkas Egi.
Diskusi daring yang hangat dan informatif mengenai akses pendanaan ini memberikan pandangan mendalam tentang beragam cara untuk memperoleh dukungan finansial dalam menunjang berbagai inisiatif untuk mengatasi perubahan iklim.
Ke depannya, Koaksi Indonesia akan terus mengeksplorasi topik-topik pembahasan lain di CSO Forum untuk mempererat kerja sama di antara organisasi dan menyebarkan kebaikan pengetahuan bagi masyarakat.