Pendanaan iklim menjadi isu utama di COP29. Koaksi Indonesia mengikuti jalannya pembahasan isu itu dan membagikan pengalamannya mengenai praktik baik komunitas lokal di Indonesia menghadapi krisis iklim.
KOAKSI INDONESIA–Pada Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-29 (COP29), di Baku, Azerbaijan, delegasi negara-negara, termasuk Indonesia, hadir untuk membahas kebutuhan target baru pendanaan global untuk mengatasi krisi iklim. COP29 baru saja membuat target global baru untuk pembiayaan iklim yang akan membuat negara-negara maju menghimpun US$300 miliar per tahun untuk mengatasi dampak iklim terhadap negara-negara berkembang pada tahun 2035.
NCQG
NCQG (New Collective Quantified Goal on Climate Finance) adalah istilah yang digunakan untuk perumusan target baru pembiayaan iklim ini. NCQG akan menggantikan target sebelumnya (US$100 miliar per tahun) dari negara maju yang juga diamanatkan untuk digunakan mengatasi dampak perubahan iklim terhadap negara berkembang.
Pendanaan Iklim Negara Berkembang vs Negara Maju
Negara berkembang menginginkan dana berbasis hibah dari negara maju, sedangkan negara maju menginginkan pendekatan berbasis investasi serta melibatkan sektor swasta. Sayangnya, target NCQG mengundang kekecewaan beberapa negara paling rentan terhadap krisis iklim, AOSIS (Alliance of Small Island States) dan LDCs (Least Developed Countries) bahkan walk out dari ruang negosiasi pada Sabtu, 23 November 2024 karena target pendanaan iklim dianggap belum sesuai.
Dokumen negosiasi NCQG menetapkan target US$300 miliar, dengan kontribusi sukarela dari negara berkembang. Berdasarkan estimasi, kebutuhan climate finance internasional mencapai US$1,3 triliun per tahun, sementara total bantuan yang tersedia saat ini hanya sekitar US$200 miliar, jauh dari kebutuhan tersebut. Bahkan masyarakat sipil menyuarakan agar negara-negara maju di global north menyediakan hingga US$5 trilliun per tahun.
Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya membutuhkan pembiayaan yang sangat besar dalam bertransisi ke ekonomi hijau, melalui usaha mitigasi pengurangan emisi atau proyek-proyek adaptasi yang meningkatkan resiliensi masyarakat di tingkat tapak.
Negara-negara berkembang ini membutuhkan biaya tahunan sebesar US$215—387 miliar hanya untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Selain itu, biaya yang dibutuhkan karena kerugian dan kerusakan (loss and damage) yang tidak dapat dihindari dari perubahan iklim dapat mencapai US$580 miliar per tahun pada tahun 2030. Pendanaan hibah menjadi penting untuk mendanai kebutuhan pendanaan yang tidak masuk skema bisnis.
Baca Juga: Pendanaan Iklim untuk Mendukung Aksi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim
Skema pembiayaan pada proyek mitigasi, seperti energi terbarukan, sebagian besar dapat dibiayai oleh investasi swasta (tentu bentuknya pinjaman), sementara proyek adaptasi, seperti infrastruktur tahan iklim, membutuhkan pinjaman jangka panjang dengan bunga rendah.
“Multilateral Development Banks (MDBs) berperan sebagai katalis utama dalam menyediakan pinjaman ini, namun potensi MDBs perlu dimaksimalkan hingga US$250 miliar per tahun melalui modal tambahan,” ujar Avinash Persaud, Special Advisor on Climate Change to the President of the Inter-American Development Bank.
Saat ini, penting bagi institusi keuangan untuk membuat strategi meningkatkan pendanaan iklim yang mengimplementasi pajak karbon, pasar karbon, atau pengalihan subsidi bahan bakar fosil. Pendekatan ini dapat menjadi sumber dana penting untuk investasi mitigasi dan adaptasi yang lebih besar, khususnya untuk negara-negara berkembang yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Pemelajaran dari Komunitas
Pendanaan iklim tidak begitu saja menyelesaikan masalah yang ada bagi komunitas yang paling terdampak. Pelibatan dan penguatan masyarakat melalui peningkatan kapasitas sangat diperlukan untuk mengatasi dampak iklim, seperti kekeringan, berkurangnya produktivitas pangan, dan perubahan variabilitas curah hujan.
Dalam salah satu diskusi “Multi-stakeholder Climate Action“ pada COP29, perwakilan dari Koaksi Indonesia, Azis Kurniawan, mendorong peran berbagai pihak untuk menciptakan climate leadership.
“Kita bisa belajar dari komunitas di Nusa Tenggara Timur (NTT) ataupun Bengkulu. Penguatan resiliensi, pemanfaatan energi terbarukan, kebijakan daerah yang responsif, ataupun nature-based solution (NBs), serta kolaborasi multipihak akan meningkatkan ketahanan dari dampak iklim di tingkat tapak,” ujar Policy Manager Koaksi Indonesia ini di diskusi yang bertempat di Pavilion ICESCO (The Islamic World Educational, Scientific and Cultural Organization).
Baca Juga: Apa itu Adaptasi Berbasis Ekosistem dan Praktik Baiknya di NTT
Setiap daerah memiliki tantangan yang berbeda, tidak ada satu solusi yang bisa diaplikasikan di semua tempat. Dampak iklim di pegunungan akan berbeda dengan di pesisir. Untuk itu, mendorong aksi iklim sesuai dengan kondisi geografis akan menciptakan leverage sosial-ekonomi yang memberikan kontribusi positif bagi lingkungan.
Langkah Kunci
Namun, tantangan geopolitik tetap menjadi penghalang utama. Banyak negara maju belum menunjukkan komitmen yang kuat untuk meningkatkan kontribusi mereka, dengan fokus politik yang lebih banyak pada pengurangan anggaran bantuan. Oleh karena itu, NCQG (New Collective Quantified Goal) harus adil, ambisius, dan transparan, dengan fokus pada mitigasi, adaptasi, dan pendanaan kerugian/kerusakan (loss and damage).
Pada akhirnya, COP29 mengingatkan kita bahwa kerja sama internasional dan inovasi dalam mobilisasi dana publik dan swasta sangat penting untuk memastikan bahwa pendanaan ini tidak hanya mendukung transisi energi global. Namun, melindungi kelompok yang paling rentan, termasuk masyarakat sipil dan marginal di wilayah perdesaan, pesisir, dan daerah terpencil. Dengan pendekatan strategis, climate finance dapat menjadi kunci dalam menciptakan dunia yang lebih berkelanjutan.