Green jobs menjadi tren pekerjaan kekinian. Namun, ada sebuah pekerjaan yang memperjuangkan keberlanjutan lingkungan, yaitu mediator konflik lahan dan kekayaan alam. Apakah mediator ini termasuk ke dalam green jobs?
KOAKSI INDONESIA—Perubahan ekonomi ke arah berkelanjutan menciptakan pekerjaan baru, yaitu green jobs yang tengah berkembang di Indonesia. Pekerjaan ini digadang-gadang akan menciptakan 24 juta pekerjaan baru di tahun 2030.
Di tengah kepopuleran green jobs atau pekerjaan hijau, ada satu profesi yang sangat dekat dengan lingkungan. Profesi yang berupaya untuk memastikan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan dari sisi keamanan dan kepastian lahan.
Dalam prosesi mengamankan dan memastikan kepemilikan lahan bisa terjadi konflik dalam mengelola lahan dan kekayaan alam dengan beberapa pihak. Peran mediator sangat penting untuk memastikan keberlanjutan lingkungan melalui metode mediasi.
Berkaca pada keadaan tersebut, profesi mediator dalam upaya menjaga keberlanjutan berpotensi menjadi salah satu green jobs yang diminati oleh anak muda. Namun, apakah mediator menjadi suatu pilihan pekerjaan hijau?
Baca Juga: Green Jobs: Pekerjaan Ramah Lingkungan
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, CRU Indonesia dan Perkumpulan Teras Mitra menyelenggarakan diskusi daring TM Share #401, bertema “Mungkinkah Profesi Mediator Konflik Lahan dan Kekayaan Alam Menjadi Salah Satu Pilihan Green Jobs?” dengan mengundang Koaksi Indonesia sebagai narasumber pada Sabtu, 25 Mei 2024.
Membuka diskusi daring tersebut, Fitrianti Sofyan, Manajer Komunikasi dan Kampanye Koaksi Indonesia, menjelaskan perbedaan pekerjaan hijau dengan pekerjaan lainnya. Dia menyampaikan bahwa green jobs adalah pekerjaan yang berkontribusi untuk melestarikan lingkungan serta mempromosikan pekerjaan yang layak dan inklusif.
“Green jobs sendiri memang sudah didefinisikan oleh Bappenas. Saat ini, Bappenas dan Koaksi Indonesia masih mengolah definisi green jobs sebagai pekerjaan yang berkontribusi dalam pelestarian lingkungan yang layak dan inklusif,” jelas Fitrianti atau yang akrab disapa Tia.
Kriteria Green Jobs
Ketika menjelaskan kriteria green jobs, Tia menyebutkan terdapat beberapa pendekatan untuk menentukan sebuah pekerjaan termasuk green jobs.
“Ternyata green jobs ini tidak hanya satu kelas, green dan brown, tetapi green-nya itu ada banyak. Sama halnya dengan kita mengklasifikasi sebuah pekerjaan, apakah masuk ke green jobs atau tidak. LinkedIn sudah mulai menganalisis, apakah profesi anggotanya masuk ke green jobs atau tidak,” jelas Tia.
Lebih lanjut Tia menjelaskan bahwa laporan LinkedIn telah mengklasifikasikan sebuah pekerjaan dapat dikategorikan green jobs dalam tiga spektrum berdasarkan kebutuhan keterampilan atau green skill ketika bekerja, yaitu green, greening, dan green potensial.
Green skill merupakan pengetahuan teknis dan keterampilan yang memungkinkan pekerja untuk menggunakan teknologi dan proses ramah lingkungan dengan efektif. Tia mencontohkan mediator memerlukan pengetahuan tentang keberlanjutan lingkungan untuk membantu proses mediasi.
Selain klasifikasi tersebut, terdapat kerangka analitis yang disimpulkan oleh CEPS, yang bisa digunakan untuk mengategorikan pekerjaan termasuk ke dalam green jobs. Pendekatan itu meliputi empat dimensi: input, process, output, dan job quality.
“Dari banyaknya pekerjaan yang bertumbuh dan peluang penciptaan green jobs, kita bisa melihat apakah sebuah pekerjaan itu termasuk green jobs atau tidak. Jadi bisa dilihat dari empat dimensi, yaitu input, proses, output, dan kualitas pekerjaan,” ujar Tia.
Baca Juga: Kabar Green Jobs Sejak 17 Tahun Lalu, Sejauh Mana Pengembangannya di Indonesia?
Pertanyaan yang terpenting kemudian adalah apakah mediator termasuk green jobs? Tia menuturkan mediator dapat dikategorikan sebagai green jobs dengan mengacu pada kerangka analitis yang dia jelaskan sebelumnya.
“Dari kerangka analitis yang telah dijelaskan tadi kita bisa tanya lagi, apakah memang dari sisi inputnya mediator itu punya green skill untuk mencapai tujuan ketika memediasi konflik lahan? Lalu, apakah pekerjaan yang dilakukan mediator ini berdampak terhadap lingkungan dan apakah mediator bekerja sesuai dengan green task? Jadi kita bisa melihat pekerjaan seorang mediator termasuk green jobs atau tidak dari 4 dimensi ini,” jelas Tia.
Tantangan dan Solusi Green Jobs
Meski demikian, ada banyak tantangan dalam perkembangan green jobs, khususnya profesi mediator konflik lahan dan kekayaan alam. Mulai dari kesiapan sumber daya manusia hingga kondisi geografis. Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan peran multipihak untuk menyelaraskan antara kebutuhan dan permintaan green jobs.
“Solusinya adalah penciptaan kurikulum berbasis kompetensi, menciptakan program studi baru. Kemudian, harus bekerja sama antara lembaga pendidikan dengan industri, membuat modul untuk upskilling dan reskilling untuk berganti profesi, dibutuhkan platform online yang bisa mengembangkan kapasitas sumber daya manusia di sektor green jobs dan bisa menjangkau banyak daerah untuk menjawab tantangan geografis tadi,” kata Tia.
Mengakhiri pemaparannya Tia berpesan untuk peserta yang hadir mampu mengasah pola pikir yang bertanggung jawab terhadap lingkungan sehingga pola pikir tersebut dapat mengantarkan peserta untuk mendapatkan pekerjaan hijau dan layak.
“Dimulai dari green mindset dulu, mulai dari yang bisa kita lakukan di rumah kita. Harapannya semoga green mindset ini bisa dipupuk dari kecil dan menjadi motivasi untuk teman-teman, entah yang belum ada di green jobs atau yang sudah ada di green jobs untuk bisa berkontribusi positif bagi lingkungan dan masa depan kita,” ucap Tia menutup diskusi siang hari itu.