Sebagai konsep bisnis berbasis lingkungan, penerapan ecopreneurship memastikan pengurangan dampak sampah plastik terhadap lingkungan sekaligus ketercapaian tujuan bisnis.
Baca juga: Green Jobs di Indonesia
KOAKSI INDONESIA – Salah satu yang menggerakkan seseorang untuk bergelut di dunia wirausaha adalah mendapatkan profit atau keuntungan seoptimal mungkin. Seorang pengusaha akan bekerja keras untuk menemukan peluang bisnis yang menjanjikan keuntungan. Umumnya, seorang pengusaha akan senantiasa berkreasi dan berinovasi untuk menghasilkan produk/jasa yang diminati oleh pasar demi memperoleh keuntungan.
Namun, akhir-akhir ini muncul istilah ecopreneurship; yaitu konsep kewirausahaan yang tidak sekadar berorientasi pada profit, tetapi juga kepedulian terhadap aspek lingkungan. Konsep ini menjadikan kualitas lingkungan sebagai pertimbangan utama dalam menjalankan seluruh aktivitas bisnis.
Sayangnya, masih banyak pengusaha yang hanya berfokus pada produksi demi mengejar keuntungan tanpa mempedulikan limbah yang dihasilkan. Seolah menutup mata atas pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh usahanya. Padahal, yang menanggung akibatnya bukan hanya masyarakat sekitar, tetapi juga makhluk hidup lain di daratan, sungai, dan lautan.
Jenna R Jambeck dari University of Georgia melalui penelitiannya pada tahun 2010 mengungkapkan bahwa terdapat 275 ton sampah plastik yang dihasilkan di seluruh dunia. Sekitar 4,8—12,7 juta ton terbuang dan mencemari laut. Indonesia memiliki penduduk di pesisir sebesar 187,2 juta yang menghasilkan 3,22 juta ton sampah plastik setiap tahun yang tidak dikelola secara benar. Sekitar 0,48—1,29 juta ton dari sampah plastik ini diduga menyebabkan pencemaran di laut.
Sementara itu, menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia masuk urutan kedua penyumbang sampah plastik terbesar di dunia pada tahun 2019 dengan 3,21 juta metrik ton per tahun. Menurut Ni Made Indra Wahyuni, Program Manager PPLH (Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup), sampah plastik mengandung bahan kimia berbahaya karena sukar untuk terurai. Bahan kimia yang terkandung di dalamnya bisa berpindah ke makanan yang kita konsumsi. Dampak panjangnya bisa memicu kanker (Kompas.com).
Setiap ecopreneur memiliki peran besar untuk meminimalisasi penggunaan plastik di tengah masyarakat. Salah satunya yaitu dengan berpartisipasi aktif menyuarakan pentingnya penggunaan pembungkus makanan atau minuman yang lebih ramah lingkungan, memproduksi barang-barang yang ramah lingkungan atau yang mudah terurai, dan berinovasi mengolah sampah plastik menjadi barang yang bernilai.
Baca juga: Start-Up Pengelolaan Sampah, Terobosan Green Jobs oleh Generasi Milenial Menuju Bonus Demografi
David Kainhart pernah menuturkan bahwa ada tiga konsep ecopreneurship, yaitu: eco-innovation, eco-opportunities, dan eco-commitment. Eco-innovation adalah tindakan berkontribusi pada reduksi beban lingkungan. Eco-opportunities adalah kemampuan untuk memanfaatkan atau mengeksploitasi kegagalan pasar akibat aspek lingkungan. Eco-commitment adalah kesediaan untuk bekerja keras dan memberikan tenaga serta waktu untuk pekerjaan atau aktivitas yang ramah lingkungan (Pradita, 2013).
Salah satu contoh perusahaan yang menerapkan inovasi dalam mengatasi masalah sampah yaitu Semen Indonesia Group (SIG). Dilansir dari finance.detik.com, Direktur Utama SIG, Donny Arsal menjelaskan, SIG turut berpartisipasi dalam mengatasi persoalan sampah kota dengan teknologi refuse-derived fuel (RDF) yang mengonversi sampah menjadi sumber energi terbarukan untuk substitusi batu bara. Selain membantu pemerintah dalam mengatasi persoalan sampah, inovasi dalam pengelolaan sampah ini membantu perusahaan mendapatkan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan.
Memang sudah seharusnya pengusaha, terutama yang menghasilkan limbah plastik dalam aktivitas bisnisnya, mengambil bagian dalam menjaga lingkungan hidup. Oleh karena itu, jumlah pengusaha yang peduli akan lingkungan perlu ditingkatkan lagi. Setiap ecopreneur dapat menjadikan kepedulian terhadap lingkungan sebagai sebuah gerakan. Semisal Gerakan Peduli Lingkungan, Gerakan Stop Penggunaan Sampah Plastik, Gerakan Menjaga Alam, dan Gerakan Pelestarian Lingkungan.
Seperti halnya yang pernah dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), serta Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang membentuk Gerakan Satu Juta Tumbler #GenerasiBijakPlastik. Gerakan tersebut sebagai upaya pemerintah untuk mengurangi dampak plastik dan meningkatkan kesadaran masyarakat menggunakan botol minum (tumbler) seperti dikutip dari Indonesiabaik.id.
Tidak hanya itu, setiap ecopreneur bisa berkontribusi untuk melakukan edukasi pentingnya aktualisasi konsep reuse, reduce, dan recycle (3R) dalam penanganan sampah plastik. Reuse yaitu menggunakan kembali sampah yang masih bisa digunakan. Reduce yaitu mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan atau memunculkan sampah. Recycle yaitu mengolah kembali sampah atau daur ulang menjadi suatu produk atau barang yang dapat bermanfaat. Edukasi bisa dimulai dari lingkup karyawan sehingga lama-kelamaan akan tercipta budaya ramah lingkungan dalam sebuah perusahaan.
Upaya lain yang dapat dilakukan ecopreneur dalam menjaga kelestarian lingkungan adalah menjalin kerja sama dengan instansi pemerintah dan swasta yang memperhatikan pelestarian lingkungan hidup. Ecopreneur juga bisa berkolaborasi dengan komunitas peduli lingkungan, lembaga pendidikan, dan kaum muda untuk bersama-sama aktif menyuarakan pentingnya menjaga lingkungan hidup, khususnya dengan cara meminimalisasi penggunaan sampah plastik atau mendaur ulang agar lebih bermanfaat. Aspirasi terkait sampah plastik bisa juga digaungkan melalui beragam platform media sosial.
Baca juga: Hari Sumpah Pemuda: Kesempatan Anak Muda Wujudkan Mimpi Tanpa Polusi Melalui Green Jobs
DISCLAIMER
Semua artikel dan opini yang dipublikasikan pada Blog #GoGreenJobs menjadi tanggung jawab dari masing-masing penulis. Koaksi Indonesia membantu mengedit bahasa dan penulisan setiap artikel dan opini yang masuk ke redaksi agar sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Koaksi Indonesia tidak bertanggung jawab jika terdapat plagiarisme, kesalahan data dan fakta, serta kekeliruan dalam penulisan nama, gelar atau jabatan yang terdapat di dalam artikel dan opini.