Hari Bebas Kendaraan Bermotor Sedunia menjadi momen penting untuk mengingatkan kita memprioritaskan pejalan kaki dan pesepeda dalam tata kota.
KOAKSI INDONESIA—Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization [WHO]) (2024) sekitar 99% penduduk global tinggal di wilayah dengan pencemaran udara yang melebihi ambang batas aman WHO. Di wilayah urban, mayoritas pencemaran udara bersumber dari sektor transportasi. Sebagai contoh, menurut Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta, sumber utama pencemaran udara di Jakarta berasal dari emisi kendaraan bermotor.
Kondisi ini juga diperkuat oleh data Kompas (2023) yang menunjukkan tren peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta selama lima tahun terakhir, yakni dari 2018 hingga 2022. Peningkatan ini mencerminkan ketergantungan penduduk Jakarta yang kian tinggi terhadap kendaraan pribadi.
Studi Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) (2023) mengungkapkan, ketergantungan ini didorong oleh tata kota yang lebih memprioritaskan kendaraan bermotor daripada fasilitas untuk pejalan kaki atau pesepeda.
Padahal transportasi tidak bermotor (non-motorized transport) seperti berjalan kaki dan bersepeda memegang peranan dalam mewujudkan sistem transportasi yang berkelanjutan, seperti mengurangi pencemaran udara. Sistem transportasi ini memiliki peranan penting bagi kelompok yang sensitif terhadap pencemaran udara, seperti balita, ibu hamil, dan lanjut usia (lansia) (Antara, 2023).
Baca Juga: Ulang Tahun Jakarta ke–497: Momen Refleksi untuk Mengatasi Pencemaran Udara Secara Konkret
Selain mengurangi pencemaran udara, kota yang memprioritaskan mobilitas penduduk dengan berjalan kaki dan bersepeda juga berpotensi menciptakan sistem transportasi yang inklusif terutama bagi kelompok rentan, seperti anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas.
Merujuk laporan ITDP (2023) kota yang memprioritaskan pejalan kaki dan pesepeda biasanya ditandai dengan trotoar yang lebar dan jalur sepeda yang panjang. Anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas cenderung lebih rentan terhadap bahaya lalu lintas kendaraan bermotor. Dengan menyediakan trotoar yang lebar dan jalur sepeda akan menciptakan ruang yang lebih aman untuk mereka.
Di samping itu, lansia dan penyandang disabilitas mungkin membutuhkan alat bantu mobilitas seperti tongkat atau kursi roda. Kota yang memiliki trotoar lebar memungkinkan mereka bergerak lebih leluasa. Dengan demikian, jalur khusus pejalan kaki dan pesepeda bukan berarti memaksa mereka untuk berjalan kaki atau bersepeda, namun fasilitas ini berpotensi membuat mobilitas mereka lebih mudah dan aman tanpa terganggu oleh kendaraan bermotor.
Kota-kota di Dunia yang Ramah Bagi Pejalan Kaki dan Pesepeda
Pada tahun 2020, ITDP melakukan studi terkait kota-kota di dunia yang nyaman untuk berjalan kaki dan bersepeda. Tiga kota yang meraih peringkat tertinggi, yaitu Paris (Prancis), Lima (Peru), dan London (Inggris).
Menurut laporan BBC Indonesia (2022) Paris menjadi kota ramah pejalan kaki dan pesepeda dapat dilihat dari berbagai faktor. Sebagai contoh, pada tahun 2016 dermaga bawah yang membentang di sepanjang Sungai Seine diubah sepenuhnya menjadi jalur khusus untuk pejalan kaki. Pada tahun 2020, kota ini mulai menerapkan konsep “kota 15 menit” yang memungkinkan penduduk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti tempat kerja, sekolah, atau pusat perbelanjaan hanya dalam 15 menit berjalan kaki atau bersepeda dari tempat tinggal. Di samping itu, kota ini berencana menambah jalur sepeda sepanjang 180 kilometer (km) pada tahun 2026.
Bergeser ke Benua Amerika, Lima menjadi kota yang memberikan kenyamanan bagi penduduknya untuk berjalan kaki dan bersepeda. Artikel Urban Shift (2023) mengungkapkan bahwa kenyamanan ini tercermin dari tersedianya trotoar bagi pejalan kaki dan jalur khusus untuk pesepeda. Laporan The Guardian (2020) juga menjelaskan bahwa jarak antara tempat tinggal dan layanan dasar di Lima juga relatif dekat, yaitu sekitar 1 km saja.
Baca Juga: Jakarta Siap Menyambut Green Jobs untuk Menjadi Kota yang Ramah Lingkungan
Di samping itu, kota ini didesain dengan blok-blok kecil, yaitu wilayah dengan jalan yang relatif pendek dan setiap beberapa meter terdapat persimpangan atau belokan. Kondisi ini membuat kota lebih ramah bagi pejalan kaki dan pesepeda karena orang akan lebih mudah menyeberang jalan dan lebih cepat mencapai tujuan. Tidak seperti kota yang memiliki blok besar dengan jalan panjang, penduduk di kota dengan blok kecil tidak perlu memutar jauh untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain (World Population Review, 2024).
Menurut artikel Express (2024) selain Paris, London termasuk kota yang ramah bagi pejalan kaki dan pesepeda di Benua Eropa. Kondisi ini tercermin dari fakta bahwa sebagian besar penduduk London tinggal dalam jarak 100 meter dari area bebas kendaraan bermotor. Seperti di Lima, sebagian besar penduduk London umumnya memiliki tempat tinggal yang berjarak sekitar 1 km dari layanan kesehatan dan pendidikan. Tempat tinggal seperti ini memungkinkan penduduk London untuk mengakses layanan tersebut dengan berjalan kaki dan bersepeda. Kota ini juga memiliki trotoar yang lebar dan terdapat Covent Garden, sebuah area yang dirancang khusus untuk pejalan kaki.
Komitmen Kota-kota di Indonesia Memprioritaskan Pejalan Kaki dan Pesepeda
Tidak ingin tertinggal dari kota-kota lain di dunia, kota-kota di Indonesia berupaya menciptakan lingkungan yang nyaman bagi mobilitas pejalan kaki dan pesepeda. Sebagai contoh, temuan Antara (2020) mengungkapkan bahwa Kota Pontianak telah meningkatkan infrastruktur pejalan kaki dengan menyediakan lebih banyak trotoar dan jalur sepeda. Kota ini juga berinovasi dengan mendesain ulang trotoar menggunakan konsep trotoar berwarna-warni (colourful) agar lebih menarik. Trotoar penuh warna ini berpotensi menciptakan kesan estetis dan nyaman bagi penduduk Pontianak.
Bergeser ke Pulau Jawa, laporan Jawa Pos (2024) menunjukkan bahwa Kota Surakarta mengambil langkah untuk mewujudkan kota yang inklusif bagi pejalan kaki dan pesepeda. Sebagai contoh, kota ini membangun Jembatan Penyeberangan Orang dan Sepeda (JPOS). Kehadiran infrastruktur ini memudahkan mobilitas pejalan kaki dan pesepeda. Mereka tidak perlu memutar jauh dari Jalan Hasanuddin Purwosari Ke Jalan Sam Ratulangi Manahan. Fasilitas ini dibuka untuk umum pada tahun lalu dan merupakan hasil usulan masyarakat, khususnya dari pejalan kaki dan pesepeda.
Merujuk laporan Tempo (2022) Batam termasuk kota yang ramah bagi pesepeda. Kondisi ini ditunjukkan dengan pembangunan jalur khusus sepeda di kawasan Batam Center dan Bundar Madani menuju Jembatan Bengkong Sadai. Bahkan, komunitas sepeda Bike to Work (B2W) Indonesia telah menobatkan Batam sebagai kota yang ramah bagi pengguna sepeda.
Perayaan Hari Bebas Kendaraan Bermotor Sedunia yang diperingati setiap tanggal 22 September menjadi pengingat bagi kita semua bahwa kota seharusnya dirancang untuk memprioritaskan pejalan kaki dan pesepeda. Kota-kota di dunia yang telah sukses menciptakan lingkungan yang inklusif bagi pejalan kaki dan pesepeda bisa menjadi contoh bagi kota-kota di Indonesia. Untuk mewujudkannya, mari kita bersama-sama pemerintah berkomitmen untuk menciptakan kota yang ramah dan inklusif bagi semua lapisan masyarakat.