Executive Summary
As nations globally navigate economic recovery in the aftermath of the COVID-19 pandemic, a notable uptick in emissions has been observed, particularly in Indonesia as the country experienced an increase of GHG emissions from 1.1 to 1.2 GtCO2eq in 2022. Nevertheless, the country remains resolute in advancing towards its commitment to reducing GHG emissions by 31.89% unconditionally or 43.2% with international support by 2030, as outlined in its Enhanced Nationally Determined Contributions (ENDCs).
Given its vast natural resources and capacities of Indonesia holding 75-80% of the world’s carbon sinks, Indonesia’s ambition of fulfilling its Nationally Determined Contribution (NDC) goal would be possible, if not achievable faster with carbon trading schemes in place. It is estimated that with a continuously growing GDP of US$1.3 trillion, Indonesia is projected to generate up to US$150 billion in revenue from carbon capture and storage (CCS) when its rainforests produce 25 GtCO2, each valued at US$5. Several components of the trade, including carbon pricing, industry incentivization, and effective market, play pivotal roles in establishing a resilient carbon market ecosystem.
Simultaneously, the carbon market also emerges as the most cost-effective approach to emission reduction efforts, estimating that offsetting in the carbon market (USD 6.5/ton CO2e) is significantly cheaper than installing carbon capture technology (USD 92.5/ton CO2e). The offsetting scheme is made accessible to a wide range of participants through IDXCarbon, recently launched by the Financial Services Authority (OJK) and Indonesian Stock Exchange, with 16 companies recording 459.970 tonCO2eq transactions, all to help address net zero targets while creating economic benefits and putting the first leaps in positioning Indonesia as a leader in this field.
Noting significant progress in establishing an efficient and inclusive trading system, Indonesia remains determined to its commitment in overcoming internal and external impediments to solidify every corner of the carbon market. Full support and participation from the government, such as setting up grants and funding incentives through Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) and synergy from the Ministry of Finance and national emission data management (SRN-PPI) at the Ministry of Environment & Forestry (KLHK) are, thus, imperative.
Indonesia’s carbon market is strategically positioned, boasting abundant green resources and a strong industrial sector. The nation is committed to establishing a robust ecosystem for supply and demand chains in primary and secondary carbon markets. To achieve its NDC goals, Indonesia must continue to build on these efforts. This White Paper offers valuable insights derived from several benchmarks, emphasizing industry cooperation, financial sector collaboration, cross-provincial engagement, and strengthening the VCM facility to advance the nation’s carbon market initiatives for a more sustainable future over the next decade.
Mempersiapkan Pasar Karbon yang Inovatif dan Berdaya Saing Global di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Ketika negara-negara secara global melakukan pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19, ternyata terjadi peningkatan emisi yang signifikan, terutama di Indonesia yang ditandai dengan peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) dari 1,1 menjadi 1,2 GtCO2eq pada tahun 2022. Namun demikian, negara ini tetap bertekad untuk mewujudkan komitmennya mengurangi emisi GRK sebesar 31,89% dengan usaha sendiri atau 43,2% dengan dukungan internasional pada tahun 2030, sebagaimana dituangkan dalam Dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (ENDCs).
Mengingat besarnya sumber daya alam dan kapasitas Indonesia dalam menampung 75—80% penyerap karbon dunia, ambisi Indonesia untuk memenuhi tujuan Nationally Determined Contribution (NDC) bisa terwujud, atau bahkan bisa dicapai lebih cepat jika ada skema perdagangan karbon. Diperkirakan dengan produk domestik bruto (PDB) yang terus meningkat sebesar USD 1,3 triliun, Indonesia diproyeksikan menghasilkan pendapatan hingga USD 150 miliar dari penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) ketika hutan hujannya menghasilkan 25 GtCO2, yang masing-masing bernilai USD 5. Beberapa komponen perdagangan, termasuk penetapan harga karbon, insentif industri, dan pasar efektif, memainkan peran penting dalam membangun ekosistem pasar karbon yang tangguh.
Pada saat yang sama, pasar karbon juga muncul sebagai pendekatan yang paling hemat biaya dalam upaya pengurangan emisi. Diperkirakan bahwa penyeimbangan pasar karbon (USD 6,5/ton CO2e) jauh lebih murah dibandingkan menerapkan teknologi penangkapan karbon (USD 92,5/ton CO2e). Skema penyeimbang karbon (carbon offsetting) dapat diakses oleh berbagai pihak melalui IDXCarbon, yang baru-baru ini diluncurkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia, dengan 16 perusahaan yang mencatatkan transaksi sebesar 459.970 ton CO2eq, semuanya untuk membantu mencapai target net zero sekaligus menciptakan manfaat ekonomi dan melakukan lompatan pertama dalam memosisikan Indonesia sebagai pemimpin di bidang ini.
Melihat kemajuan yang signifikan dalam membangun sistem perdagangan yang efisien dan inklusif, Indonesia tetap teguh pada komitmennya dalam mengatasi hambatan internal dan eksternal untuk memperkuat setiap sudut pasar karbon. Dengan demikian, dukungan dan partisipasi penuh dari pemerintah, seperti menyiapkan hibah dan insentif pendanaan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dan sinergi Kementerian Keuangan dengan Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merupakan suatu keharusan.
Pasar karbon Indonesia memiliki posisi yang strategis, dengan sumber daya ramah lingkungan yang berlimpah dan sektor industri yang kuat. Negara ini berkomitmen untuk membangun ekosistem yang kuat dalam rantai pasokan dan permintaan di pasar karbon primer dan sekunder. Untuk mencapai tujuan NDC-nya, Indonesia harus terus mengembangkan upaya-upaya tersebut. Laporan (White Paper) ini menawarkan wawasan berharga yang diperoleh dari beberapa tolok ukur, yang menekankan kerja sama industri, kolaborasi sektor keuangan, keterlibatan lintas provinsi, dan memperkuat fasilitas voluntary carbon market (VCM) untuk memajukan inisiatif pasar karbon nasional demi masa depan yang lebih berkelanjutan selama dekade berikutnya.