Upaya perbaikan kualitas udara di Ibukota DKI Jakarta sejatinya tinggal menunggu komitmen pemerintah provinsi DKI Jakarta sendiri dalam menerapkan aturan yang telah tersedia, demi menekan tingkat polusi udara.
Hal ini mengemuka dalam sebuah diskusi publik bertajuk “Kualitas Udara dan Energi,” di Jakarta, Kamis malam (15/8) yang diselenggarakan Koaksi Indonesia. Disampaikan Azis Kurniawan selaku Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia, sejatinya pemprov DKI Jakarta telah memiliki amunisi berupa regulasi yang dikeluarkan kepala daerah dalam hal ini Gubernur, yang bisa digunakan untuk menekan tingkat pencemaran udara di Ibukota.
Ia menyebut salah satunya Instruksi Gubernur No. 66 tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara Jakarta yang dilansir pada 1 Agustus 2019. salah satu isinya adalah instruksi untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dengan menginstalasi solar panel rooftop di seluruh gedung milik pemerintah daerah termasuk sekolah dan fasilitas kesehatan. Bahkan ditargetkan pada 2020 solar panel sudah terpasang di seluruh gedung milik pemda.
Langkah ini bisa berjalan seiring dengan kampanye penggunaan listrik surya atap yang dicanangkan oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Kementerian ESDM telah menyarankan kepada badan usaha, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk mulai memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Rooftop (Atap).
Sepakat dengan Azis, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Tanpa Timbal Ahmad Safrudin mengatakan regulasi yang dikeluarkan Gubernur Pemprov DKI Jakarta sudah cukup untuk bisa menekan tingkat pencemaran udara. Misalnya saja melalui kwajiban uji emisi.
“Sebenarnya aturan wajib uji emisi pada Ingub No. 66 tahun 2019, sudah ada dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Tinggal pelaksanaannya saja. Dalam peraturan lama tersebut, dikatakan kendaraan bermotor wajib memenuhi ambang batas emisi gas buang kendaraan, kendaraan bermotor juga wajib menjalani emisi sekurang-kurangnya setiap enam bulan. Sedangkan kendaraan yang lulus uji emisi akan mendapat tanda lulus uji emisi,” kata Ahmad Safrudin.
Hal yang baru pada Ingub Nomor 66 adalah adanya keinginan Pemda DKI, agar uji emisi dilakukan untuk semua jenis kendaraan pada tahun 2020, bersamaan dengan perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
“Nantinya uji emisi akan menentukan, apakah STNK kendaraan tersebut dapat diperpanjang, dan akan terintegrasi dengan sistem perparkiran,” imbuh Safrudin. Dengan demikian lanjut safrudin, Pemda DKI nantinya akan memiliki data base mengenai uji emisi kendaraan bermotor, data lahan parkir tersedia, dan kendaraan yang akan diperpanjang STNK-nya.
Sistem uji emisi juga akan membangkitkan kembali bengkel uji emisi, termasuk memperluas kesempatan kerja di bengkel. Pasalnya, kata Safrudin, terdapat 19 ribu polutan yang keluar dari kendaraan bermotor setiap harinya, dengan penyumbang terbesar berasal dari sepeda motor, yang besarnya 10 kali lipat dari emisi kendaraan bermotor 2000 cc.
Masih dalam kesempatan diskusi yang sama, Adila Isfandiari selaku Climate and Energy Researcher Greenpeace Indonesia menyatakan, perlu inventarisasi asal emisi terbesar, plus parameter emisi yang digunakan. Sejauh ini Adila memandang perlu ditelisik kembali peran sektor industri terhadap polusi mengingat kebanyakan berada di luar wilayah DKI Jakarta, begitu juga dengan dengan kendaraan bermotor bernomor polisi luar DKI yang masuk dan melintas di DKI Jakarta.
Sementara potensi asal polutan dari pembangkit listrik, menurutnya sejauh ini pembangkit listrik berlokasi di luar Jakarta, atau jauh dari pusat kota. “Keberadaan pembangkit listrik dengan batubara (PLTU) milik PLN misalnya, tidak hanya terletak di luar kota, tetapi juga jauh dari potensi menyebarkan polusi,” kata Adila.
Sumber : Majalah Investor
Penulis: Fajar Widhiyanto