FORUM Keadilan – Menyambut Hari Hutan Sedunia yang jatuh pada 21 Maret, trio produser dan pencipta lagu Laleilmanino, yaitu Anindyo Baskoro (vokalis RAN), serta Arya Aditya Ramadhya dan Ilman Ibrahim (gitaris dan keyboardist Maliq & D’Essentials) berkunjung ke Hutan Wisata Situ Gunung.
Hutan itu merupakan salah satu pintu masuk wisata Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Jawa Barat. Hutan tersebut menyuguhkan suasana alam yang benar-benar berbeda dari suasana kota besar yang menjelma jadi hutan beton.
Salah satu daya tarik utama dari kawasan hutan wisata ini adalah jembatan gantung sepanjang 250 meter, yang terpanjang di Asia Tenggara. Dibangun di ketinggian 150 meter di atas permukaan sungai, menyusuri jembatan ini jadi pengalaman seru tersendiri bagi Laleilmanino.
“Kebetulan, tim yang ikut jalan-jalan badannya agak besar-besar. Jadi, jembatannya bergoyang cukup keras,” cerita Nino, sapaan akrab Anindyo, dikutip dari siaran resmi, Senin.
Tian menjelaskan, jembatan gantung ini merupakan center of point Situ Gunung. Jembatan ini dipandangnya berbeda sekali dari jembatan penyeberangan orang dari beton yang biasa ia temukan di kota. Di samping itu, Situ Gunung juga memiliki berbagai spot menarik, termasuk air terjun dan gua.
Kegiatan wisata ke hutan seperti ini membuat orang kota jadi merasa relevan dan terkoneksi dengan hutan. Menurut Tian, edukasi soal pentingnya hutan bagi kelestarian alam dan kehidupan manusia memang perlu.
“Tapi, yang tak kalah penting adalah usaha untuk meningkatkan rasa cinta kita terhadap hutan. Karena itu, HII kerap mengadakan berbagai kegiatan kreatif yang menghubungkan kita dengan hutan, seperti konser musik lagu bertema alam, fun run sambil adopsi pohon, acara makan hasil hutan bukan kayu.”
Berada di tempat yang suasananya bertolak belakang dari keseharian membuat Laleilmanino tersadar bahwa manusia sebenarnya perlu melihat kembali bagaimana seharusnya kehidupan itu berjalan.
“Semua yang kita lihat di kota sudah banyak sekali tersentuh campur tangan manusia. Sementara kalau kita pergi ke hutan, semua masih terasa natural,” kata Nino, yang dulu sering diajak naik gunung oleh ayahnya yang seorang pencinta alam.
Ia juga merasa, karena selama ini terbiasa hidup dalam kebisingan kota, di hutan ia bisa merasa sangat relaks. Sehingga, sangat mudah baginya untuk mencari inspirasi.
Sebelum pergi ke hutan, Lale, Ilman dan Nino mengobrol dengan Verena Puspawardani (Program Director Coaction Indonesia) serta Christian Natalie (Manajer Program Hutan Itu Indonesia), lebih detail soal isu perubahan iklim.
Ve bercerita tentang pengalamannya mendokumentasikan dampak perubahan iklim di Indonesia. Mayoritas daerah yang ia teliti adalah daerah yang menjadi kekuatan Indonesia, yaitu lahan dan hutan, serta pesisir dan laut.
“Dulu kita belajar periode musim hujan dan musim kemarau. Kini kearifan lokal yang berbasis pada periode musim di masa lalu tak bisa berlaku lagi, karena musim telah bergeser. Masyarakat hutan yang bergantung pada kebun atau pertanian harus berinovasi memikirkan jenis bibit atau praktik berkebun atau bertani yang lebih produktif. Atau, masyarakat pesisir harus mencari alternatif, ketika tidak bisa melaut saat gelombang tinggi.”
Contoh lain yang diceritakan Ve adalah banjir rob dan bergesernya garis pantai, misalnya di utara Jawa atau utara Jakarta. Masjid yang awalnya berada di daratan sekarang berada hampir di tengah laut.
“Mendengar cerita-cerita seperti ini, kami seperti disadarkan kembali bahwa isu perubahan iklim ini memang sangat menyeramkan, ya. Jadi, kalau kita tidak beraksi sejak sekarang, kita sendirilah yang nanti akan merasakan kerugiannya,” kata Nino.
Saat Laleilmanino bertanya lebih jauh tentang penyebab kejadian tersebut, Tian menjelaskan, penyebabnya adalah aktivitas manusia yang berdampak pada perubahan iklim. Ia kemudian menambahkan soal kerusakan hutan, yang membuat anak muda perlu diingatkan kembali bahwa hutan punya kekayaan yang luar biasa, dan hanya akan terus bisa dinikmati, jika hutan terjaga dengan baik.
Editor: Dwisetyo Isprawirojati
Sumber: Forum Keadilan