“Pembangunan besar-besaran di era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.”
Kutipan tersebut diucapkan oleh sosok garda terdepan lingkungan hidup Indonesia, Siti Nurbaya Bakar di Twitter pada 3 November 2021. Ironisnya kicauan tersebut keluar sehari setelah Presiden Joko Widodo dalam COP 26 menandatangani komitmen mengakhiri deforestasi dan degradasi lahan pada 2030 serta menyepakati target Net Zero Emission pada 2060.
Tapi ironi ini belum selesai, karena sebenarnya pada 2018 pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mewujudkan pekerjaan hijau melalui kesepakatan Declaration on Promoting Green Jobs for Equity and Inclusive Growth of ASEAN Community. Seharusnya dalam beberapa tahun kedepan, industri dan pembangunan harus menyesuaikan prinsip dari pekerjaan hijau yaitu pengurangan emisi gas rumah kaca, minimalisir limbah, peningkatan efisiensi energi, dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Status Quo Lingkungan Hidup Indonesia
Mari menilik sedikit bagaimana kondisi Indonesia dalam menyikapi perubahan iklim.
Pertama adalah fakta bahwa Indonesia termasuk negara yang sering terdampak perubahan iklim. Contohnya pada 2021 sendiri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat 3087 bencana alam terjadi dan didominasi oleh banjir, cuaca ekstrem, kekeringan, dan tanah longsor.
Kedua, belum lagi melihat dampak lingkungan dari pembangkit listrik batu bara, penggunaan bahan bakar fosil, dan industri sawit di Indonesia. Data Coaction Indonesia dalam laporannya di tahun 2021 menjelaskan jika 35% dari 4.783 desa sawit mengalami pencemaran lingkungan air, udara, kebakaran hutan maupun pencemaran tanah dimana pelaku pencemaran didominasi oleh pabrik. Selanjutnya dari segi pertambangan dalam catatan akhir tahun 2020 JATAM [3] melaporkan terjadinya 45 konflik pertambangan dan 22 kasus merupakan kasus pencemaran dan perusakan lingkungan. Akibatnya dapat dilihat dari tercemarnya air sungai oleh limbah, longsor, banjir hingga penurunan kualitas udara.
Dari sini dapat dilihat bagaimana data ironisnya kebijakan hijau yang berkebalikan dengan data di lapangan. Satu hal yang tak mereka sadari adalah perubahan cuaca ekstrem seperti badai, angin topan, banjir sebenarnya turut menganggu proses produksi industri tambang. Namun di lain sisi, industri tambanglah yang justru memperparah krisis iklim dengan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang sangat besar.
Saya melihat ini adalah akibat dari sistem ekonomi kapitalisme. Yang mengutamakan investasi daripada hasil nyata bagi rakyat. Fenomena di atas adalah contoh akibatnya, pejabat yang kebijakannya hanya sekadar Greenwashing, kebijakan berupa kebohongan terstruktur agar menampilkan citra “peduli lingkungan”.
Mujurnya, dunia internasional mulai sadar akan bahaya ini. International Energy Agency (IEA), menjelaskan jika permintaan akan batubara ke depannya akan menurun. Tentu ini merupakan lampu kuning untuk resiko kerugian finansial Indonesia mengingat produksi batu bara Indonesia sekitar 20 persennya digunakan untuk kebutuhan domestik dan sisanya untuk ekspor.
Solusi dibutuhkan untuk menghadapi krisis ekonomi dan kerusakan lingkungan. Green jobs digadang-gadang adalah jawabannya. Green Jobs adalah konsep pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan. Pekerjaan hijau dapat memberikan peningkatan ekonomi melalui green economy, memberikan pola pikir baru dari segi pendidikan hijau, mendorong gerakan kolektif guna menekan lahirnya kebijakan hijau.
Peluang Ekonomi di Depan Mata
Pertama, peningkatan ekonomi. Sejak 2016, berdasar laporan World Economy Forum: Future of Jobs berbagai sector industri mulai beralih ke Green Economi. Hal ini disebabkan isu perubahan iklim yang mengkhawatirkan serta menipisnya sumber daya alam. Coaction Indonesia mencatat kebutuhan tenaga kerja langsung di bidang energi terbarukan dalam target RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) pada tahun 2030 mencaai 430.000 tenaga kerja. Jumlah tersebut masih bertambah hingga 1,7 juta di 2050 karena munculnya berbagai pekerjaan baru.
Peneliti Coaction Indonesia, Siti Koiromah menjelaskan selama (contoh) pekerja marketing berusaha memasarkan produk yang menjaga kelestarian lingkungan seperti solar panel, maka pekerjaan itu termasuk Green Jobs. Green jobs mampu menjangkau berbagai bidang pekerjaan selama itu memiliki lima prinsipnya. Termasuk bidang non teknik seperti wartawan, fashion desainer, digital marketer, seniman, dan lain-lain.
Salah satu bentuk startup aplikasi berbasis Green jobs adalah Surplus. Dengan moto “Save food, Save budget, save planet”, Surplus bergerak untuk menyelamatkan makanan sisa yang masih layak agar bisa dijual lagi dengan harga murah. Mereka fokus pada isu food waste dan menggabungkan konsep layaknya gofood sehingga menarik pembeli untuk menyelamatkan makanan sisa.
Contoh lainnya adalah Jurnalisme Hijau yang diterapkan oleh VICE Indonesia saat meliput sekolah pangan di daerah kekeringan dan CNN Indonesia dengan liputan konservasi gunung yang mengalami krisis air. Seseorang tidak harus memiliki latar belakang keahlian isu lingkungan untuk menjadi pekerja hijau. Mereka hanya perlu peduli dan memanfaatkan keahlian, platform, dan modal mereka untuk melestarikan lingkungan.
Belajar dari penerapan Green Jobs, Indonesia dapat melihat peluang dari keberhasilan Vietnam. Berkat dorongan pemerintah dengan memberi insentif FiT bagi industri listrik untuk meningkatkan energi terbarukan, kini muncul iklim investasi baru, mobilisasi pendanaan dan lapangan kerja baru.
Data dari International Finance Corporation menjelaskan jika pemulihan ekonomi hijau untuk 2020-2030 di China, Indonesia, Vietnam dan Filipiana memiliki potensi 5,1 trilius dolar AS, 98,8 juta pekerjaan baru dan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 2 ribu juta ton. Maka jelaslah bahwa green jobs akan menjadi trend, akibatnya adalah peluang baru karena pekerjaan lama yang ditinggalkan dan keuntungan ekonomi yang mengintai di depan mata.
Pendidikan
Kedua, pendidikan memegang peran penting dalam membentuk pola pikir hijau untuk generasi muda. Guru yang mengajarkan krisis iklim akan membentuk pola pikir dan menghasilkan siswa yang peduli akan lingkungan.
Penelitian dari Elizabeth Marks (2021) menjelaskan jika literasi mengenai krisis iklim yang tepat mampu memberikan pemahaman risiko dan ancaman perubahan iklim. Sekolah dapat membantu siswa untuk mengevaluasi informasi saintifik yang mereka terima. Dampaknya emosi dan nilai sosial dapat terbentuk dan menjadi panduan anak muda dalam menyikapi perubahan iklim.
Hal ini diperkuat oleh Mary & Michael (2015) yang menyoroti Programme Of International Student Assessment (PISA) di 72 negara. Dijelaskan jika terdapat korelasi antara model kurikulum dengan kesadaran krisis iklim pada siswa. Contohnya di Swedia dengan nilai PISA tertinggi mampu menghasilkan siswa yang kritis terhadap krisis iklim. Pendidikan hijau ini juga yang melahirkan Gretha Thunberg, aktivis muda yang memelopori gerakan krisis iklim di seluruh dunia.
Berdasarkan kedua data di atas dapat disimpulkan jika pendidikan hijau dapat melahirkan siswa yang peduli pada krisis iklim. Siswa yang sejak dini dilatih telah memahmi isu ini akan mampu menerjemahkan data saintifik dan menggabungkan dengan pengalaman sehari-hari mereka, alhasil isu krisis iklim lebih dekat dan nyata.
Mereka dapat membuat utas di twitter, meme kritik, konten tiktok, lukisan, komik, film dan karya pop culture yang relevan dengan zamannya. Dengan gaya modern, fleksibel dan unik, pendekatan mereka akan lebih mudah memviralkan isu lingkungan. Suara anak muda meski dinilai kurang berpengalaman namun disampaikan secara blak-blakan dan bebas kepentingan politik, alhasil mereka lebih mudah dipercaya oleh masyarakat awam.
Gerakan anak muda ini mampu merubah kekhawatiran individu menjadi tekanan politik. Contohnya di COP26 tahun 2021, desakan aktivis muda dari berbagai negara berhasil membuat menteri pendidikan dari 23 negara untuk berjanji agar isu krisis iklim dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan di masing-masing negara
Menggerakkan Massa dan Menekan Pemerintah
Ketiga, pekerjaan hijau mampu mendorong gerakan kolektif untuk bergerak bersama-sama. Studi WRI Indonesia menemukan penyebab sepinya gerakan anak muda, pertama kurangnya dukungan pemerintah untuk krisis iklim, kedua tidak ada relasi yang berpartisipasi aktif dalam isu krisis iklim.
Green Jobs mampu memberi tekanan pada pemerintah dengan memunculkan tokoh tokoh yang berbicara atas isu krisis iklim. Contohnya adalah Salsabila Khairunisa, siswa SMA, yang berdemonstrasi dan mogok sekolah untuk hutan. Ia juga membuat platform Jaga Rimba yang menghubungkan anak muda dengan isu krisis iklim. Selain salsabila, anak muda Inggris dalam Program Young Voice on Climate Change juga menunjukkan peran anak muda usia 18-25 tahun di media sosial yang mengemas pesan krisis iklim sebagai isu yang mengkhawatirkan dan genting.
Dari sini dampak dari Green Jobs pada pendidikan mulai terlihat. Bagaimana Guru memengaruhi siswanya hingga membentuk kesadaran akan krisis lingkungan. pola pikir ini akan terbawa saat bekerja. Dengan pekerjaan yang mengarah pada pelestarian lingkungan maka akan terbentuk segmen baru, pasar baru akan teknologi dan produk hijau alternatif.
Selanjutnya akan muncul tokoh tokoh Green Entrepreneur yang menjadi sosok inspiratif untuk menggerakkan diskusi publik akan resiko dari krisis iklim. Dengan pengaruh dari pekerjaan mereka, maka power perlahan terbentuk. Mereka punya kuasa untuk berbicara di ruang publik dan mengubah kesadaran individu akan bahaya krisis iklim perlahan berubah menjadi gerakan kolektif.
Hal ini terjadi karena setiap individu telah sadar jika usaha individu mereka seperti membuang sampah di tempatnya, menghemat penggunaan listrik dan bbm akan terlihat tidak ada artinya jika pemerintah masih menjalankan praktik pertambangan dan eksploitasi lingkungan. Krisis ini tidak akan berakhir jika tak ada keseriusan dari pemerintah. Perlu adanya gerakan massa dan media untuk menggiring opini, menekan kebijakan pemerintah atas krisis iklim.
Dengan diskusi publik di media sosial dan televisi, maka akan menggiring kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah. Untuk menjaga stabilitas keamanan dan ekonomi maka mau tak mau dialog terjadi. Untuk menjaga kepercayaan publik, maka tuntutan massa dituruti. Dengan begitu, pekerjaan hijau membentuk kebijakan hijau.
Tentu gerakan ini bukan berarti tanpa perlawanan dari para pemilik usaha yang mengekploitasi lingkungan. Namun gerakan bersama dan sistemik akan lebih efektif daripada sendirian.
Artikel ini telah tayang di www.kompasiana.com dengan judul “Bagaimana Wacana Green Jobs Menciptakan Gerakan Massa Melawan Krisis Iklim?”.
DISCLAIMER
Tulisan ini merupakan salah satu pemenang dari “Lomba Menulis Populer Profesi Hijau Indonesia” yang diselenggarakan oleh Bastra ID dengan menjalin kolaborasi bersama Coaction Indonesia.