Dari waktu ke waktu, isu perubahan iklim makin mencuat ke permukaan. Apa itu sebenarnya perubahan iklim dan mengapa dicap sangat membahayakan kehidupan di Bumi? Laman National Geographic, di dalam salah satu artikelnya, menulis bahwa perubahan iklim adalah perubahan terhadap semua unsur cuaca yang saling berhubungan dengan menunjukkan anomali yang sangat membahayakan, seperti suhu Bumi yang memanas hingga intensitas cuaca yang kian sulit diprediksi.
Menurut laporan yang diterbitkan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) per 2020 lalu, terjadi peningkatan suhu yang signifikan selama sedekade terakhir, di mana tujuh dari 10 tahun terpanas di Bumi berlangsung sejak tahun 2014 dengan kenaikan suhu rata-rata mencapai 0,18o C. Ironisnya lagi, jika menilik ke belakang, kasus kenaikan perubahan iklim justru cenderung diakibatkan oleh ulah manusia, salah satunya pembuangan sampah yang tidak memperhatikan keramahan lingkungan.
Dilansir dari Thinking Sustainably, membuang sampah sembarangan bisa mempengaruhi perubahan iklim karena sebagian besar bahan seperti plastik membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai yang mengakibatkan gas rumah kaca, seperti metana terperangkap di atmosfer Bumi. Dari hal ini, muncul beragam inovasi dan terobosan anyar demi menghindari kebiasaan buruk terkait sampah, diantaranya dengan meminimalisir pemakaian plastik sekali pakai hingga beralih ke bahan yang lebih ramah lingkungan.
Problematika Sampah yang Terus Eksis
Volume sampah dari hari ke hari terus mengalami peningkatan. Sampah yang menggunung setiap jam bisa berjumlah hingga 7.300 ton, apabila dianalogikan maka dapat menutupi setengah dari tinggi Monas di Jakarta. Menurut laporan yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2021, total sampah nasional mencapai angka 68,5 juta ton yang didominasi oleh sampah plastik. Hal ini menjadikan Indonesia termasuk ke dalam negara produsen sampah terbesar di dunia bersama negara-negara lain, sebut saja China hingga Jepang.
Pada dasarnya, permasalahan klasik ini juga tak lepas dari kesadaran masyarakat Indonesia yang sudah berjumlah 273,5 juta jiwa. Terlebih dengan situasi pandemi seperti saat ini yang meminimalisir adanya mobilitas dan penggunaan alat kesehatan, malah menimbulkan efek domino berupa sampah yang menggunung. Dipicu seperti tren belanja online yang membengkak, dengan 90 persen makanan bertransaksi online dikemas menggunakan plastik sekali pakai serta penggunaan masker sekali pakai turut menambah 0,1 persen dari timbunan sampah saat ini.
Momentum Bonus Demografi yang Ada di Depan Mata
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Indonesia memiliki populasi penduduk yang tinggi, yaitu keempat terbanyak di dunia. Memasuki medio 2020-an dan seterusnya, Indonesia sejatinya bakal menjalani era bonus demografi yang melimpah dengan struktur penduduk yang berusia produktif (15-64 tahun) sangat besar dan diprediksi terjadi kira-kira pada tahun 2020-2035. Data perhitungan ini diperkuat dari hasil Sensus Penduduk per tahun 2020, dimana komposisi umur penduduk Indonesia telah didominasi oleh usia produktif yang menyentuh angka 70,72 persen.
Dari hal ini, struktur umur penduduk Indonesia didominasi oleh generasi milenial yaitu 25,87 persen dan generasi Z mencapai 27,94 persen. Milenial dan Gen Z dicap sebagai generasi yang lebih cakap akan penguasaan teknologi, seperti smartphone dibandingkan generasi lain sejatinya memiliki peran vital dalam proses pengelolaan sampah di Indonesia.
Tak hanya sekadar membagikan kesadaran terkait buruknya kebiasaan masyarakat mengenai sampah di dunia maya, anak muda masa kini juga bisa berperan lebih dengan mengedepankan aksi nyata, salah satunya melalui pembentukan start-up pengelolaan sampah. Zaman terus berkembang dan Indonesia tengah berada di fase Revolusi Industri 4.0. Kehadiran teknologi hingga inovasi para anak muda dalam membantu pemerintah dalam menangani sampah sangatlah berkontribusi.
Inovasi Start-Up Pengelolaan Sampah
Menyikapi tren buruk permasalahan sampah yang tak ada habisnya, implementasi berupa langkah protektif, seperti pengelolaan terpadu mulai digerakkan. Upaya pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini sudah terlihat jelas melalui keikutsertaannya dalam salah satu program yang diusung PBB, yaitu SDGs (Sustainable Development Goals) yang secara jelas mengatur dan menjamin terkait Sistem Pengelolaan Sampah Kota yang berkelanjutan. Namun, untuk mencapai semua target yang sudah ditetapkan, kehadiran pihak-pihak lain juga sangat diperlukan, salah satunya generasi milenial.
Dalam hal ini, demi mendukung momentum bonus demografi, pembentukan start-up pengelolaan sampah di Indonesia bisa menjadi pilihan menarik lantaran eksistensinya yang masih belum terlalu populer. Sejauh ini, hanya ada segelintir nama start-up pengelolaan sampah yang familiar di Indonesia, sebut saja MallSampah, Mulung.co, dan lainnya. Keberadaannya pun masih terbatas di beberapa wilayah saja dan memiliki kemungkinan besar untuk diperluas lagi jangkauannya.
Pengelolaan sampah melalui rintisan start-up yang dipelopori oleh generasi milenial setidaknya mampu membenahi dua hal sekaligus, yaitu memanfaatkan bonus demografi dan mengurangi ancaman perubahan iklim. Implementasi yang dikolaborasikan serta dikombinasikan dengan teknologi dapat mempermudah kinerja di dalamnya, seperti pemilahan sampah organik atau anorganik, sampah plastik atau pun sampah jenis lainnya. Pemilahan ini sangat penting untuk rancangan kerja selanjutnya terhadap sampah-sampah tersebut, diantaranya melalui praktek 3R serta daur ulang.
Ada tiga bagian besar dalam promosi start-up pengelolaan sampah agar bisa diterima oleh kalangan masyarakat sebagai sasaran utama, seperti mekanisme transaksi yang mudah, adanya aplikasi hingga media sosial yang memudahkan pengguna, hingga sosialisasi besar-besaran dengan trik via konten di dunia maya yang kreatif, tetapi tetap mengedepankan tema ramah lingkungan.
Selanjutnya, prosedur pengelolaan sampah ini dapat dilakukan dengan mekanisme sederhana. Dimulai dari calon penyetor yang dapat menukarkan sampah hasil aktivitasnya menjadi barang bernilai atau bisa juga uang sesuai sampah yang ia tukarkan tersebut.
Teknik pengumpulan sampah didasari atas asas fleksibilitas, yaitu bisa dari rumah saja dengan memanfaatkan fitur peta digital di internet dan selanjutnya sampah tersebut bakal dijemput oleh karyawan start-up yang beroperasi. Pengelolaan start-up versi pengelolaan sampah seperti yang sudah dijelaskan di atas memiliki metode yang hampir sama dengan layanan pesan makanan atau ojek online, sebut saja Grab dan GoFood.
Demi menciptakan hasil yang proporsional dan efektif, setidaknya ada kantor pusat di beberapa kota besar yang menjadi tempat akhir penerimaan sampah dari pengguna, sekaligus juga menjadi sarana yang tepat bagi mereka yang ingin secara langsung menukarkan sampah miliknya.
Eksistensi start-up yang bernaung di dalam ranah lingkungan belum terlalu diekspor dan sudah waktunya untuk melakukan hal tersebut. Untuk merealisasikannya tentu butuh waktu dan usaha yang cukup panjang. Di sisi lain, ini akan menjadi ajang promosi dan sosialisasi yang efektif dalam rangka mengajak berbagai kalangan untuk turut meramaikan dunia green jobs atau pekerjaan yang ramah lingkungan demi menciptakan kehidupan yang lebih baik serta menjamin keberlangsungan hidup generasi penerus di masa depan.
Artikel ini telah tayang di www.kompasiana.com dengan judul “Start-Up Pengelolaan Sampah, Terobosan Green Jobs oleh Generasi Milenial menuju Bonus Demografi”.
DISCLAIMER
Tulisan ini merupakan salah satu pemenang dari “Lomba Menulis Populer Profesi Hijau Indonesia” yang diselenggarakan oleh Bastra ID dengan menjalin kolaborasi bersama Coaction Indonesia.