Perubahan cuaca ekstrem akibat El Niño dan La Niña kian terasa di Indonesia. Di tengah tantangan ini, muncul para Pahlawan Iklim yang beraksi untuk melindungi lingkungan dan memperkuat ketahanan hidup.
KOAKSI INDONESIA–Menurut CNN Indonesia, Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim global. Dilansir dari Perpustakaan Universitas Mataram, iklim di Indonesia tidak selamanya berjalan normal setiap tahunnya, ada suatu saat terjadi penurunan curah hujan dan pada saat yang lain curah hujan meningkat. Salah satu penyebab perubahan curah hujan di Indonesia, termasuk di sebagian besar belahan dunia adalah El-Nino Southern Oscillation (ENSO). ENSO merupakan siklus alami yang telah terjadi selama ribuan tahun yang mencakup fenomena El Niño dan La Niña.
El Niño, terjadi ketika suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur menghangat lebih dari biasanya. Fenomena ini sering kali memicu kekeringan panjang di Indonesia, dengan curah hujan yang turun drastis. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), El Niño bisa mengurangi curah hujan hingga lebih dari 40% di beberapa wilayah Indonesia, mengakibatkan kekeringan dan kebakaran lahan/hutan. Jika kekeringan berkepanjangan terjadi akan berdampak lebih jauh pada sektor pertanian, perekonomian, dan sosial masyarakat.
Sebaliknya, La Niña merupakan fenomena suhu permukaan laut yang justru mengalami pendinginan. La Niña berefek pada peningkatan curah hujan di Indonesia, terutama di musim hujan, yang memperbesar risiko banjir, tanah longsor, dan kerusakan infrastruktur di kawasan rawan bencana, seperti wilayah kepulauan dan pesisir. Menurut laporan Detiknews, curah hujan bisa meningkat hingga 40% selama La Niña, yang membuat bencana hidrometeorologi makin sering terjadi.
Pemanasan Global dan Fenomena ENSO
ENSO memang merupakan siklus alami yang telah terjadi selama ribuan tahun. Namun, berbagai studi menunjukkan bahwa pemanasan global akibat aktivitas manusia telah memperburuk intensitas dan frekuensi kejadian ini dalam beberapa dekade terakhir.
Dilansir dari Climate.gov, seiring dengan pemanasan global, fenomena ENSO diperkirakan makin intens. Dampaknya, kekeringan, banjir, gelombang panas, kebakaran hutan, dan badai hebat yang lebih ekstrem akan sering terjadi.
Menurut Reef Resilience Network, ENSO adalah pergeseran periodik sistem atmosfer laut di Pasifik tropis yang berdampak pada cuaca di seluruh dunia, terjadi setiap 3–7 tahun dan biasanya berlangsung selama sembilan bulan hingga dua tahun. Dengan adanya perubahan iklim, pola-pola ini menjadi makin sulit diprediksi, dengan dampak yang lebih ekstrem terhadap kekeringan, banjir, dan cuaca ekstrem lainnya.
Penelitian oleh CSIRO Australia menunjukkan bahwa pemanasan global telah memperkuat variabilitas ENSO, terutama sejak tahun 1960. Model iklim yang digunakan dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa kejadian El Niño dan La Niña yang kuat kini terjadi lebih sering, dengan suhu lautan yang meningkat memengaruhi pola cuaca global. Fenomena ini memperbesar risiko bencana seperti kekeringan, banjir, gelombang panas, dan badai yang lebih sering terjadi, berdampak langsung pada pertanian, ekosistem laut, dan kesejahteraan manusia (The Straits Times).
Selain itu, efek pemanasan global memengaruhi ekosistem penting seperti terumbu karang. Peristiwa El Niño yang diperparah oleh suhu laut yang tinggi dapat menyebabkan pemutihan terumbu karang secara besar-besaran, mengancam keberlanjutan keanekaragaman hayati laut. Dampak ini tidak hanya mengganggu ekosistem, tetapi juga menurunkan kapasitas masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya laut untuk bertahan hidup (KPSHK).
Menurut GWtoday, frekuensi bencana terkait cuaca terus meningkat akibat perubahan iklim, sehingga menuntut kita untuk segera beradaptasi. Langkah-langkah seperti pelatihan mitigasi dampak bencana, konservasi lingkungan, dan perencanaan tata ruang berbasis pemeliharaan lingkungan sangat penting untuk menghadapi tantangan ini. Pemanasan global menjadi pengingat bagi kita semua untuk segera bertindak dalam mengurangi emisi karbon dan beradaptasi terhadap perubahan iklim, demi masa depan bumi yang lebih lestari.
Dalam menghadapi tantangan ini, aksi nyata di tingkat masyarakat merupakan kunci. Konsep “Pahlawan Iklim” kini muncul sebagai solusi yang relevan. Pahlawan Iklim merupakan sebuah panggilan bagi mereka yang berkomitmen untuk beradaptasi, berinovasi, dan mengembangkan solusi keberlanjutan di masyarakat. Pahlawan Iklim bukan hanya penjaga lingkungan di wilayahnya, tetapi juga inspirasi bagi yang lain untuk turut menjaga lingkungan dan mengatasi ancaman perubahan iklim yang makin nyata.
Perjuangan Masyarakat NTT Menghadapi Perubahan Iklim
Dilansir dari CNBC Indonesia, masuknya fenomena La Niña ke Indonesia meningkatkan curah hujan drastis di sebagian besar wilayah tanah air kita. Di bulan Juni hingga Agustus, fenomena ini meningkatkan hujan di hampir seluruh wilayah nusantara. Memasuki bulan September hingga November, pengaruhnya terasa lebih kuat di wilayah tengah dan timur Indonesia. Sementara itu, antara Desember dan Mei, curah hujan tertinggi terjadi di bagian timur Indonesia. Ini berarti, di bulan apa pun, La Niña akan selalu berdampak pada wilayah Indonesia timur, termasuk Nusa Tenggara Timur (NTT).
NTT merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi ini tergolong rentan terhadap bencana hidrometeorologi (ANTARA). Mengutip Siap Siaga yang mengacu pada data Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) tahun 2023, NTT memiliki nilai indeks risiko bencana pada angka 132,81 (kategori sedang), wilayah ini memiliki lima kabupaten berisiko tinggi dan sebagian besar lainnya berisiko sedang. Dengan indeks risiko bencana pada angka 132,81 (kategori sedang), wilayah ini memiliki lima kabupaten berisiko tinggi dan sebagian besar lainnya berisiko sedang. Di tengah tantangan ini, masyarakat NTT menunjukkan ketangguhan luar biasa.
Seperti yang didokumentasikan dalam Film “Climate Witness”, mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga melakukan aksi nyata untuk beradaptasi dan melindungi lingkungan. Film yang diproduseri oleh Koaksi Indonesia ini berhasil menangkap kisah mereka yang berjuang di tengah perubahan iklim ekstrem. Penduduk setempat melaksanakan berbagai aksi nyata untuk beradaptasi dengan kondisi ini.
Di Kabupaten Rote Ndao contohnya, pada episode Asa Mangrove di Holulai, kepala suku Manggi, Balsasar Darius Mboeik, memimpin penanaman 2.500 mangrove di pesisir Holulai. Aksi ini dilakukan untuk mencegah abrasi dan mengurangi risiko badai yang kian sering terjadi akibat perubahan pola cuaca. Selain melindungi daratan, mangrove menciptakan ekosistem baru yang mendukung biota laut, memberikan sumber penghidupan bagi masyarakat melalui hasil laut yang melimpah. Inisiatif ini tidak hanya menjadi bentuk perlindungan lingkungan, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru melalui pengembangan ekowisata pesisir.
Sementara pada episode Daulat Pangan Lokal di Hewa, di Desa Hewa, Kabupaten Flores Timur, Maria Mone Soge, seorang guru matematika sekaligus pegiat pangan lokal, memimpin upaya konservasi sumber daya air di tengah krisis yang melanda desanya. Dengan menanam bambu di sekitar mata air, dia bersama komunitas Ayu Tani menjaga kelembapan tanah dan melestarikan sumber air yang makin terbatas. Maria juga mendorong masyarakat untuk kembali memanfaatkan tanaman lokal seperti sorgum dan ubi, yang lebih tahan terhadap cuaca ekstrem. Usahanya tidak hanya menjaga ketersediaan pangan, tetapi juga menanamkan kesadaran pada generasi muda tentang pentingnya menjaga sumber daya lokal untuk ketahanan pangan berkelanjutan.
Kisah-kisah seperti ini merupakan bukti bahwa perubahan dapat dimulai dari langkah kecil. Balsasar dan Maria, dengan cinta dan keberanian mereka terhadap lingkungan, telah membawa perubahan besar bagi komunitasnya. Mereka menjadi inspirasi bagi kita semua, menunjukkan bahwa setiap orang dapat menjadi Pahlawan Iklim yang membantu memperkuat ketangguhan masyarakat dalam menghadapi tantangan perubahan iklim yang makin nyata.
Mendukung Langkah Nyata Melalui Bantuan Dana
Perubahan iklim yang makin terasa memberikan tantangan besar bagi masyarakat di berbagai wilayah Indonesia, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil dan rentan. Banyak komunitas lokal memiliki semangat besar untuk beraksi menjaga lingkungan, namun sering kali terhenti oleh keterbatasan akses pendanaan. Hambatan seperti kurangnya informasi tentang sumber dana, rumitnya persyaratan administrasi, atau keterbatasan keterampilan teknis dalam menyusun proposal sering kali menjadi kendala utama. Akibatnya, banyak inisiatif yang berpotensi besar gagal terealisasi karena terbentur biaya.
Melihat kebutuhan ini, sejumlah lembaga seperti Yayasan Humanis, The Samdhana Institute, Monash Sustainable Development Institute, dan Ecoxyztem hadir dalam Forum Masyarakat Sipil yang diinisiasi oleh Koaksi Indonesia. Program dengan tajuk Inovasi Pendanaan Iklim Bagi Masyarakat Sipil ini bertujuan untuk menjembatani kebutuhan masyarakat lokal untuk beraksi menghadapi tantangan iklim dengan dukungan pendanaan yang tepat. Tidak hanya membantu dari sisi pendanaan, lembaga-lembaga ini memberikan pendampingan untuk memperkuat kapasitas komunitas lokal. Mereka hadir untuk menjembatani kebutuhan masyarakat yang ingin beraksi nyata, namun terbentur keterbatasan dana.
Baca Juga: Praktik Cerdas Aksi Perubahan Iklim di NTT
Dengan adanya dukungan semacam ini, masyarakat yang ingin menjadi Pahlawan Iklim di daerah masing-masing tidak perlu lagi merasa khawatir soal keterbatasan biaya. Mereka bisa lebih fokus mengembangkan program-program yang berdampak langsung, seperti konservasi lingkungan, pengelolaan air, reboisasi, hingga penguatan ketahanan pangan lokal. Kebersediaan lembaga-lembaga ini mendukung pendanaan menunjukkan bahwa aksi iklim menjadi tanggung jawab kita bersama. Setiap inisiatif lokal kini mendapatkan ruang untuk berkembang, memberikan kontribusi nyata dalam menghadapi tantangan iklim yang makin besar.
Infrastruktur Hijau sebagai Solusi Ketahanan
Di tengah ancaman perubahan iklim, infrastruktur hijau hadir sebagai jawaban untuk membangun ketahanan lingkungan sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Langkah ini tidak hanya membantu mengurangi dampak cuaca ekstrem, tetapi juga memperkuat hubungan antara manusia dan alam melalui ruang-ruang hijau yang inklusif.
Salah satu contoh infrastruktur hijau yang ada di Indonesia adalah hutan kota. Menurut Kompas.com, di Jakarta saja terdapat 10 hutan kota. Salah satunya ialah Hutan Kota Gelora Bung Karno (GBK). Kawasan hijau ini tidak hanya menjadi paru-paru daerah, tetapi juga penyangga ekosistem di tengah hiruk pikuk kota. Menurut Tempo.co, dengan luas sekitar sembilan hektar, Hutan Kota GBK membantu menyerap emisi karbon, menurunkan suhu udara, dan menjadi tempat rekreasi yang sehat bagi warga. Selain itu, disebutkan oleh transisienergi.id, hutan kota berguna untuk menyerap air hujan yang dapat mencegah banjir saat curah hujan meningkat. Keberadaan ruang hijau ini membuktikan bahwa infrastruktur yang ramah lingkungan mampu memberikan manfaat ekologis sekaligus sosial.
Sementara itu, di Pontianak, Kalimantan Barat, Taman Khatulistiwa menjadi bukti bahwa ruang hijau multifungsi bisa menjadi pusat edukasi dan konservasi sekaligus. Menurut jurnal academia.edu, kawasan ini dirancang untuk menjaga kelestarian tumbuhan endemik, mendukung konservasi air, dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya aksi iklim. Selain menjadi tempat rekreasi, taman ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai wisata edukasi. Dengan letak geografisnya yang unik sebagai penanda garis lintang Utara dan Selatan, kawasan ini menawarkan daya tarik khas yang dapat memberikan pengalaman dan pengetahuan baru bagi pengunjung (PARIS).
Keberadaan infrastruktur hijau menunjukkan bahwa aksi kolektif antara masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta mampu menciptakan solusi yang berdampak luas. Di balik desainnya yang estetis, setiap ruang hijau membawa pesan penting, bahwa kita semua bisa berkontribusi untuk menjaga keberlanjutan. Dengan langkah-langkah kecil namun bermakna, Indonesia dapat membangun ketahanan yang lebih kuat untuk menghadapi tantangan perubahan iklim.
Menyuarakan Kepedulian Melalui Seni dan Budaya
Di Indonesia, seni dan budaya bukan hanya bagian dari kehidupan sehari-hari, tetapi juga alat yang kuat untuk menyampaikan pesan penting. Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, para seniman, musisi, dan pelaku budaya mengambil peran sebagai Pahlawan Iklim, menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan melalui karya-karya mereka ataupun menghidupi tradisi yang bermuara pada pelestarian lingkungan.
Salah satu contoh inspiratif datang dari Navicula, sebuah band asal Bali yang dikenal sebagai green grunge gentlemen. Dilansir dari Klik Hijau, lewat lagu-lagu mereka, seperti “Kembali ke Akar” dan “Metropolutan”, Navicula mengangkat isu kerusakan lingkungan, polusi, dan pentingnya keberlanjutan. Mereka tidak hanya menyampaikan kritik sosial, tetapi juga menginspirasi generasi muda untuk peduli terhadap lingkungan. Mereka secara konsisten menyuarakan tentang penyelamatan lingkungan, seperti baru-baru ini mereka memeriahkan Subak Spirit Festival (Jawa Pos). Navicula menjadikan musik sebagai medium untuk membangun kesadaran dan tindakan nyata.
Selain musik, seni rupa menjadi wadah yang efektif. Salah satunya yakni ArtJog, sebuah festival seni kontemporer di Yogyakarta. Meski tema yang diangkat tidak secara eksplisit menyinggung isu lingkungan, sering kali seniman-seniman yang berkontribusi di dalamnya memamerkan karya dengan semangat keberlanjutan dan ekologi. Contohnya pada pergelaran tahun ini, ArtJog mengajak pengunjung merenungi meluasnya dampak krisis iklim di Indonesia. Mereka mengundang Kanoko Takaya melalui karyanya yang memberikan refleksi tentang ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, dan eksploitasi alam, dan Ines Katamso yang menciptakan relief fosil dari sampah plastik sebagai ilustrasi akibat dari keserakahan manusia (Jawa Pos). Karya-karya ini tidak hanya menampilkan keindahan visual, tetapi juga menjadi ajakan untuk berubah dan bertindak lebih bertanggung jawab terhadap alam.
Kearifan lokal juga berperan penting menciptakan aksi Pahlawan Iklim. Tradisi Lubuk Larangan menjadi contoh bagaimana masyarakat menjaga keseimbangan ekosistem sungai (CTSS IPB). Tradisi yang merupakan salah satu kearifan lokal di beberapa daerah di Pulau Sumatra ini dilakukan dengan menetapkan larangan penangkapan ikan dalam kurun waktu tertentu di area sungai, kolam, atau danau terpilih. Fungsinya memberi waktu bagi ekosistem untuk pulih. Ketika panen ikan tiba, hasilnya dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat. Tradisi ini tidak hanya menjaga keanekaragaman hayati sungai, tetapi juga menjadi bukti nyata bahwa harmoni dengan alam dapat berjalan beriringan dengan kesejahteraan masyarakat.
Melalui musik, seni rupa, dan budaya lokal, masyarakat Indonesia membuktikan bahwa kepedulian terhadap lingkungan bisa diwujudkan melalui berbagai cara. Seni dan budaya tidak hanya menjadi alat ekspresi, tetapi juga medium untuk menggerakkan perubahan. Dengan semangat yang sama, siapa pun dapat menjadi Pahlawan Iklim dalam bidang yang mereka tekuni, menyuarakan pentingnya menjaga bumi untuk generasi mendatang.
Langkah Sederhana Menjadi Pahlawan Iklim
Setiap orang memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari solusi menghadapi tantangan iklim, termasuk kita. Berikut langkah-langkah kecil yang dapat kita lakukan untuk menjaga lingkungan.
- Tanam Pohon atau Rawat Tanaman di Sekitar Rumah
Pohon tidak hanya menghasilkan oksigen, tetapi juga membantu menyerap karbon dioksida dan mengurangi risiko banjir dengan meningkatkan daya serap tanah. - Kurangi Penggunaan Plastik Sekali Pakai
Bawa tas belanja sendiri, gunakan botol minum yang dapat diisi ulang, dan hindari menggunakan sedotan plastik. Setiap pengurangan limbah plastik membantu mencegah pencemaran laut dan tanah. - Hemat Energi di Rumah
Matikan lampu dan alat elektronik saat tidak digunakan, gunakan lampu hemat energi, atau mulai beralih ke energi terbarukan jika memungkinkan. - Kelola Sampah dengan Bijak
Pisahkan sampah organik dan anorganik, daur ulang barang yang masih bisa digunakan, dan komposkan limbah organik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari tempat pembuangan akhir. - Dukung Produk Lokal dan Berkelanjutan
Pilih produk-produk yang dihasilkan secara lokal untuk mengurangi jejak karbon dari transportasi dan prioritaskan barang-barang dengan kemasan ramah lingkungan. - Edukasi dan Ajak Orang Lain
Bagikan informasi tentang perubahan iklim kepada keluarga, teman, atau komunitas. Ajak mereka untuk ikut melakukan aksi kecil yang berdampak besar bagi lingkungan.
Baca Juga: Cara Asyik Atasi Krisis Iklim: Pekerjaan Hijau Green Jobs melalui greenjobs.id
Di tengah perubahan iklim yang makin terasa, setiap orang bisa berperan dalam menjaga lingkungan dan membantu komunitasnya untuk lebih tangguh. Menjadi Pahlawan Iklim tidak selalu berarti melakukan aksi besar. Mulai dari langkah kecil—seperti menanam pohon di sekitar rumah, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, atau menjaga kebersihan sungai dan pantai di sekitar kita—semua ini punya dampak nyata untuk melindungi lingkungan dari cuaca ekstrem. Tindakan sederhana ini tidak hanya menjaga alam, tetapi juga mengurangi risiko bencana hidrometeorologi yang sering terjadi saat cuaca tidak menentu.
Mari kita bergandengan tangan dalam gerakan Pahlawan Iklim ini. Mulai dari lingkungan kita sendiri, kita bisa menciptakan dampak yang lebih besar. Dengan bersama-sama menghadapi tantangan iklim ekstrem, kita berkontribusi untuk masa depan yang lebih aman dan lebih hijau bagi generasi mendatang.