Plastik menjadi dilema bagi kita. Plastik mempermudah kehidupan sekaligus menjadi ancaman besar bagi lingkungan. Dilema ini bisa diatasi dengan menerapkan ekonomi sirkular.
KOAKSI INDONESIA—Dalam menghadapi tantangan limbah plastik yang memiliki masa hidup yang sangat panjang, yaitu 10 tahun hingga 1.000 tahun, konsep ekonomi sirkular menawarkan solusi yang menjanjikan. Alih-alih memandang plastik hanya sebagai sampah, kita bisa melihatnya sebagai sumber daya yang masih memiliki nilai jika dikelola dengan benar. Konsep ekonomi sirkular menekankan pada penggunaan kembali, daur ulang, dan pengurangan produksi limbah.
Menurut Verena Puspawardani, Co-founder Koaksi Indonesia, dalam acara tahunan IdeaFest 2024, “Kita perlu beralih dari ekonomi linear menuju ekonomi sirkular yang prosesnya dimulai dari produksi, distribusi, konsumsi, (reduce/reuse/recycle), dan konsumsi kembali. Peralihan ini sangat penting karena sumber daya alam yang biasa dipakai akan segera habis.”
Baca Juga: Plastik, Si Praktis yang Menimbulkan Petaka
Selain itu, produksi plastik masih didominasi oleh bahan baku fosil seperti minyak dan gas alam yang berkontribusi pada peningkatan emisi gas rumah kaca. Jadi, permasalahan plastik bukan hanya soal sampah, tetapi juga soal bagaimana plastik itu diproduksi dan dampaknya terhadap iklim.
Pandangan Industri Mengenai Plastik
Dari kacamata industri, Rachel Natashia, Public Affairs Communications and Sustainability Manager Amandina Bumi Nusantara, menambahkan, “Amandina saat ini melakukan sistem ekonomi sirkular tertutup. Sampah dari industri FMCG (Fast-Moving Consumer Goods) yang dibuang ke tempat sampah di daerah urban, dikumpulkan pemulung, dipilah bank sampah, lalu dikirim ke pengepres plastik. Setelah plastik yang sudah dipres itu sampai, Amandina mengolah kembali menjadi cacahan biji plastik PET yang bisa menjadi bahan baku berbagai produk termasuk botol plastik minum kembali.”
Pada praktiknya, ekonomi sirkular melibatkan banyak pihak mulai dari pengumpulan, pemilahan sampai ke produksi kembali limbah menjadi barang guna pakai. Hal ini mendorong tumbuhnya green jobs sebagai bentuk pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan. “Ekonomi sirkular menjadi peluang green jobs di Indonesia mulai dari level teknisi, peneliti, sampai ke expert. Peluang ini tidak hanya hadir di kota besar seperti Jakarta, tetapi juga berbagai daerah di Indonesia. Contohnya bank sampah. Dengan ekosistem ini, pemulung bisa mendapatkan penghasilan yang layak, sehingga meningkatkan perekonomian mereka,” tutur Verena.
Rachel menambahkan bahwa Amandina bekerja sama dengan sektor informal, yaitu pemulung dengan membeli botol plastik mereka seharga Rp 3.000—4.000 per kg. Botol-botol plastik itu kemudian dipilah bekerja sama dengan bank sampah. Selanjutnya, dibeli oleh Collection Center Amandina.
Menurut Verena, untuk mewujudkan ekonomi sirkular dibutuhkan kolaborasi banyak pihak dari berbagai sektor dan minat. “Koaksi Indonesia mendorong beberapa terobosan yang perlu diperkuat seperti kebijakan, inovasi, dan teknologi. Hal ini perlu dibuat sangat lokal sehingga dapat memenuhi kebutuhan. Selain itu, sisi permodalan perlu didorong agar banyak industri yang bergerak pada ekonomi sirkular dan terakhir sumber daya manusia perlu dipersiapkan.”
Meskipun begitu, mengelola limbah plastik untuk menemukan nilai baru bukan tanpa tantangan. Kualitas plastik daur ulang sering kali lebih rendah daripada plastik baru, sehingga banyak perusahaan lebih memilih menggunakan plastik murni daripada material daur ulang. Selain itu, proses daur ulang memerlukan investasi teknologi yang tidak murah dan infrastruktur daur ulang masih sangat kurang di beberapa daerah.
Teknologi Pengolahan Plastik
Sesuai dengan tajuk yang diangkat dalam IdeaFest 2024, yaitu “i”, acara tahun ini menggambarkan karakter setiap individu dari berbagai generasi yang haus akan wawasan dan ide inovatif. Amandina menggunakan teknologi infrared dalam proses pemilahannya yang bertujuan agar biji plastik yang dihasilkan tidak mengontaminasi para pekerja dan tentunya agar bisa digunakan kembali. Selain itu, botol minum yang diproduksi dari hasil daur ulang biji plastik ini dapat digunakan dan didaur ulang kembali hingga 7—8 kali.
Sekalipun teknologi pengolahan limbah plastik makin inovatif, masyarakat tetap perlu mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dalam kehidupan sehari-hari. Verena memberikan contoh bahwa Koaksi Indonesia tidak hanya meningkatkan kesadaran masyarakat luas terhadap limbah. Namun dari internal organisasi mulai berusaha memilah sampah di kantor dan memanfaatkan kembali sampah tersebut melalui kolaborasi dengan pihak luar.
Baca Juga: Sustainable Beauty: Tampil Cantik sembari Melestarikan Bumi
Hal ini diamini oleh Rachel, “Saat ini sudah banyak aplikasi yang membantu pemilahan sampah hingga pengangkutan sampah tersebut khususnya di daerah urban. Selain itu, kita perlu mendorong perbaikan sistem pemilahan dan pengumpulan sampah di Indonesia yang dilengkapi dengan peraturan pemerintah yang bersifat mandatori.”
Dilema plastik dapat diselesaikan dengan mengubah paradigma kita dalam melihat sampah. Alih-alih hanya membuangnya, kita bisa melihat limbah plastik sebagai sumber daya potensial yang bisa diubah menjadi produk bernilai ekonomi baru. Dengan pendekatan yang berfokus pada ekonomi sirkular, kolaborasi lintas sektor, dan inovasi dalam pengelolaan limbah, kita dapat menemukan solusi yang tidak hanya mengurangi dampak negatif plastik terhadap lingkungan, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi dan sosial.
Saatnya kita menemukan nilai baru dari sampah kita karena setiap botol, tas, dan kemasan yang kita pakai dapat memiliki kehidupan kedua yang lebih berharga bagi bumi dan generasi mendatang.