Ekonomi restoratif menawarkan solusi berkelanjutan dengan memulihkan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sudah saatnya kita mulai mengimplementasikannya.
KOAKSI INDONESIA—Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim sudah seharusnya membuat kita berpikir ulang mengenai aktivitas ekonomi yang dilakukan tanpa memikirkan dampaknya terhadap lingkungan. Aktivitas ekonomi yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi semata apabila dilakukan secara masif bisa merusak lingkungan yang pada akhirnya mengakibatkan perekonomian yang tidak berkelanjutan dan tidak inklusif.
Sebagai contoh, model ekonomi ekstraktif di sektor pertambangan dan penggalian di Papua. Sektor ini telah menyumbang Rp74,2 triliun (42,9%) dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Papua sebesar Rp172,9 triliun pada tahun 2022. Artinya, hampir setengah dari ekonomi Provinsi Papua bergantung pada hasil tambang dan galian. Akan tetapi, angka kemiskinan di Provinsi Papua pada tahun 2023 masih tinggi, yaitu mencapai 26,80% atau hampir tiga kali lipat dari angka kemiskinan nasional (Kompas, 2023).
Baca Juga: Pasar Karbon untuk Ekonomi Indonesia yang Rendah Emisi
Kontribusi ekonomi yang signifikan itu berpotensi meningkatkan standar hidup masyarakat, seperti mengurangi kemiskinan. Akan tetapi, kenyataannya adalah model ekonomi ekstraktif belum mampu memberikan kesejahteraan bagi warga Papua. Sebaliknya, model ekonomi ini justru menimbulkan kerusakan lingkungan di tanah Papua, seperti mencemari sungai yang menyulitkan masyarakat memperoleh air bersih (VOA Indonesia, 2023).
Menuju Masa Depan yang Adil dan Berkelanjutan
Menurut Green Network (2024) jika model ekonomi ini terus dilanjutkan maka kerusakan lingkungan diprediksikan meluas. Akibatnya, pada masa mendatang bumi akan menjadi tempat yang makin tidak layak huni bagi manusia. Oleh karena itu, model ekonomi yang mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial ini perlu diubah menjadi pendekatan ekonomi yang berfokus pada pemulihan lingkungan atau dikenal sebagai ekonomi restoratif.
Dalam studinya, CELIOS (2024) mendefinisikan ekonomi restoratif sebagai model ekonomi yang bertujuan memulihkan ekosistem terdegradasi untuk mendapatkan kembali fungsi ekologis dan menyediakan barang serta jasa yang bernilai bagi masyarakat. Studi tersebut juga menekankan bahwa ekonomi restoratif berfokus pada tiga aspek, yaitu berorientasi pada pemulihan, memprioritaskan aksi kolektif, dan mendukung transformasi hubungan manusia dengan alam.
Dalam konteks ekonomi restoratif, ahli bernama Paul Hawkens berpendapat bahwa restorasi merupakan upaya mengembalikan alam ke kondisi yang lebih baik. Secara umum, ekonomi restoratif adalah antitesis dari pertumbuhan ekonomi yang hanya berfokus pada peningkatan produk domestik bruto (PDB) tanpa memperhitungkan dampak lingkungan dan sosial. Akan tetapi, hingga kini definisi ekonomi restoratif masih menjadi perdebatan di kalangan akademisi. Bahkan, di Indonesia belum ada definisi baku mengenai ekonomi restoratif yang diakui secara nasional (Green Network, 2024).
Menyeimbangkan Aktivitas Ekonomi dengan Kelestarian Lingkungan
Dari sisi lingkungan, upaya seperti restorasi lahan gambut dapat berkontribusi mengatasi masalah perubahan iklim. Berdasarkan temuan Tempo (2021), hingga September 2021 Indonesia telah merestorasi gambut seluas 3,6 juta hektare di area konsesi perusahaan dan 45,9 ribu hektare di wilayah masyarakat. Aksi ini berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sekitar 266,1 juta ton CO2e.
Selain memberikan manfaat lingkungan, implementasi ekonomi restoratif berpeluang memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat. Sebagai contoh, restorasi lahan senilai Rp16.000 akan menghasilkan manfaat ekonomi sebesar Rp112.000–480.000, penghijauan kembali (reboisasi) senilai Rp20.000 akan memberikan manfaat ekonomi dan sosial sekitar Rp56.000, serta restorasi lahan gambut dan rawa senilai Rp20.000 akan menghasilkan manfaat ekonomi sekitar Rp26.000–93.000.
Ekonomi restoratif juga berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena banyak yang bergantung pada sumber daya alam untuk mata pencaharian. Data BPS (2023) mencatat bahwa jumlah petani di Indonesia mencapai 30 juta jiwa. Lalu, data WRI (2024) menunjukkan bahwa sekitar 11 juta pekerja bergantung pada industri minyak sawit, 16 juta orang bekerja di industri pangan, 4 juta di sektor peternakan, dan 3 juta di sektor hortikultura.
Dengan demikian, kerusakan sumber daya alam akan berdampak langsung pada sebagian besar sumber pendapatan masyarakat. Sebaliknya, upaya restorasi pada lingkungan yang terdegradasi akan mendukung keberlanjutan mata pencaharian di sektor-sektor berbasis sumber daya alam, seperti pertanian, perkebunan, dan peternakan.
Aksi Nyata di Tingkat Lokal
Pada skala lokal, upaya ekonomi restoratif telah diterapkan di berbagai daerah. Studi CELIOS berjudul Paradigma Baru Ekonomi: Dukungan Fiskal untuk Ekonomi Restoratif merangkum berbagai aksi ekonomi restoratif di tingkat lokal.
Di Pulau Sumatra, penerapan ekonomi restoratif mencakup perkebunan kopi Arabika di Aceh yang merupakan kerja sama antara petani dan koperasi. Aksi ini memungkinkan petani meningkatkan kualitas dan penjualan kopi Arabika. Hasilnya, pendapatan petani meningkat melalui penjualan langsung ke koperasi dan pasar ekspor. Selain itu, reforestasi hutan mangrove di desa-desa pesisir Sumatra dilakukan untuk melindungi lahan pertanian dan perikanan. Aksi ini berhasil melindungi ekosistem pesisir dan meningkatkan hasil tangkapan ikan.
Di Pulau Jawa, terdapat budi daya tanaman herbal yang diinisiasi oleh komunitas petani di Provinsi Jawa Barat. Mereka menanam jahe, kunyit, dan temulawak untuk pasar lokal dan ekspor. Diversifikasi tanaman ini mampu meningkatkan pendapatan dan kesehatan masyarakat. Di Jepara, Jawa Tengah, pengembangan produk olahan ikan seperti kerupuk dan nuget telah berhasil meningkatkan nilai tambah produk dan pendapatan nelayan.
Di Pulau Kalimantan, terdapat program Bank Bibit yang menyediakan bibit unggul untuk petani lokal di Provinsi Kalimantan Timur. Upaya ekonomi restoratif ini mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian. Sementara, di Provinsi Kalimantan Selatan terdapat pengembangan perikanan skala kecil yang memberikan akses pasar yang lebih luas bagi nelayan kecil. Aksi ekonomi restoratif ini berhasil meningkatkan pendapatan dan diversifikasi produk mereka.
Di Pulau Sulawesi, terdapat budi daya teripang yang memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga meningkatkan pendapatan nelayan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Lalu, di Provinsi Sulawesi Tengah terdapat program pembibitan kakao yang bertujuan mengembangkan bibit kakao unggul. Aksi ekonomi restoratif ini telah memberikan dampak positif, seperti meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi cokelat serta pendapatan petani.
Baca Juga: Pangan Lokal, Pemberi Harapan Pasti untuk Krisis Iklim dan Ekonomi
Di Pulau Papua, terdapat pengembangan agrobisnis kopi yang melibatkan masyarakat adat dalam produksi dan pemasaran kopi. Aksi restoratif ekonomi ini telah meningkatkan pendapatan masyarakat adat dan mempromosikan produk lokal.
Terakhir, di Kepulauan Nusa Tenggara seperti Provinsi Nusa Tenggara Barat terdapat program pengembangan peternakan sapi yang menggunakan pakan lokal. Hasilnya, peningkatan produksi daging sapi dan pendapatan peternak. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur terdapat pengolahan ikan kering yang menghasilkan produk tahan lama untuk pasar domestik dan ekspor. Aksi restoratif ekonomi ini berhasil meningkatkan nilai tambah produk ikan dan pendapatan nelayan.
Mengingat dampak perubahan iklim yang makin nyata dan kerugian yang terus ditimbulkan oleh model ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, sudah saatnya kita beralih ke model ekonomi restoratif. Pendekatan ini tidak hanya memberikan manfaat bagi lingkungan, namun juga berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Untuk memaksimalkan peluang ini, mari kita bersama-sama bertindak nyata mewujudkan ekonomi restoratif mulai sekarang.