Di tengah kemajuan yang telah dicapai, Jakarta masih berkutat untuk memenuhi hak warganya akan udara bersih. Mari bersama berupaya untuk memenuhinya.
KOAKSI INDONESIA–Manusia membutuhkan udara untuk bernapas agar tetap hidup. Bahkan, kebutuhan udara bagi manusia lebih utama daripada kebutuhan makanan dan air. Manusia dapat bertahan hidup tanpa makanan selama beberapa minggu dan tanpa air selama beberapa hari. Akan tetapi, manusia hanya dapat bertahan hidup selama beberapa menit tanpa udara. Dengan demikian, jika manusia menghirup udara tercemar akan berpotensi menimbulkan gangguan atau ancaman bagi kesehatan tubuh.
Dalam rangka menjamin udara bersih bagi masyarakat, di tingkat global, Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization [WHO]) menetapkan baku mutu udara ambien yang dapat digunakan untuk menilai udara tercemar atau tidak. Misalnya, parameter particulate matter 2.5 micrometer (PM2.5) memiliki baku mutu udara tahunan sebesar 5 mikrogram/m3. Sebuah wilayah yang memiliki kualitas udara melebihi baku mutu udara ini dapat dikatakan mengalami pencemaran udara.
Di tingkat nasional, baku mutu udara ambien diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 yang mencakup beberapa parameter, seperti sulfur dioksida, karbon monoksida, nitrogen dioksida, ozon, particulate matter, timbal, dan hidrokarbon.
Gambaran Umum Kualitas Udara Jakarta
Berkaitan dengan kebutuhan udara bersih, Jakarta sebagai kota besar di Indonesia masih menghadapi kendala dalam memenuhi hak atas udara bersih bagi penduduknya. Laporan IQ Air mengenai kualitas udara dunia 2023 mengungkapkan bahwa Jakarta meraih peringkat ke–7 sebagai ibu kota negara yang paling tercemar dibandingkan 114 ibu kota negara lain.
Bahkan, sejak tahun 2019 hingga 2023, kualitas udara Jakarta belum pernah memenuhi standar udara bersih yang telah ditetapkan oleh WHO dan pemerintah pusat. Merujuk laporan yang sama, selama lima tahun terakhir kualitas udara tahunan di Jakarta mencapai 35 hingga 50 mikrogram/m3 untuk parameter PM2.5.
Kota dengan 11 juta penduduk ini memiliki potensi kerugian yang relatif besar akibat pencemaran udara. Laporan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta, Bloomberg Philanthropies, dan Vital Strategies menjelaskan bahwa pencemaran udara di Jakarta berpotensi menyebabkan penyakit seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), jantung koroner, asma, dan pneumonia. Estimasi biaya perawatan kesehatan untuk menyembuhkan penyakit tersebut mencapai hingga Rp38,5 triliun.
Baca Juga: Mengenal Sistem Pencatatan Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia
Jakarta yang akan merayakan ulang tahun ke–497 telah mengalami perkembangan signifikan dalam aspek pembangunan fisik dan ekonomi. Dengan demikian, pencemaran udara di Jakarta tidak lepas dari pengaruh aktivitas penduduknya.
Laporan Vital Strategies dan Institut Teknologi Bandung menunjukkan bahwa pencemaran udara di Jakarta bersumber dari asap knalpot kendaraan, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, aktivitas konstruksi, pembakaran sampah terbuka, dan debu jalanan. Secara temporal, asap knalpot kendaraan merupakan sumber utama yang menyebabkan udara tercemar di Jakarta, baik pada musim kemarau maupun musim hujan.
Gotong Royong Mengatasi Pencemaran Udara
Masyarakat berpotensi besar untuk mengurangi pencemaran udara di Jakarta, terutama melalui penurunan emisi kendaraan. Langkah ini dapat dilakukan dengan mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi dan beralih menggunakan kendaraan umum, seperti JakLingko, Transjakarta, KRL Commuter Line, dan Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta.
Sebagai organisasi masyarakat sipil yang bermaksud membuat perubahan di sektor energi terbarukan dan berkedudukan di Jakarta, transportasi termasuk yang menjadi perhatian utama Koaksi Indonesia. Transportasi berkaitan erat dengan energi. Penggunaan energi terbarukan untuk transportasi dapat mengurangi pencemaran udara.
Oleh karena itu, Koaksi Indonesia akan memilih lokasi acara luring yang relatif dekat dengan halte Transjakarta atau stasiun KRL Commuter Line dan MRT. Langkah ini bertujuan agar para undangan terdorong menggunakan kendaraan umum menuju lokasi acara. Selain itu, Koaksi Indonesia aktif memberikan edukasi ke publik terkait isu pencemaran udara melalui publikasi di media sosial, seperti menginformasikan sumber dan dampak pencemaran udara serta aplikasi pemantau kualitas udara. Edukasi ini dilakukan untuk membangun kesadaran masyarakat sehingga mereka tergerak untuk mulai melakukan aksi mengurangi pencemaran udara.
Pengurangan pembakaran sampah terbuka juga berpotensi mengurangi pencemaran udara di Jakarta. Masyarakat dapat mulai berhenti membakar sampah secara terbuka dengan melakukan pemilahan sampah. Sampah yang terpilah, seperti sampah organik dapat diolah menjadi kompos, sedangkan sampah anorganik dapat didaur ulang atau dijual ke bank sampah sehingga memiliki nilai tambah.
Di samping itu, pengendalian pencemaran udara membutuhkan peran aktif pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dari aspek kebijakan, pemerintah perlu merevisi peraturan terkait baku mutu udara yang menjamin udara bersih bagi kesehatan masyarakat. Upaya ini penting dilakukan karena baku mutu udara saat ini masih jauh di bawah standar WHO.
Pemerintah juga perlu melakukan penegakan hukum secara tegas bagi pelaku pembakaran sampah terbuka. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 telah melarang pembakaran sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah, seperti pembakaran sampah terbuka. Pada peraturan yang lebih teknis, seperti Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2019 juga telah mengatur sanksi pidana bagi pelaku pembakaran sampah terbuka.
Dari aspek nonkebijakan, pemerintah perlu meningkatkan kualitas dan memperluas akses sistem kendaraan umum terintegrasi untuk mendorong penduduk beralih ke transportasi umum. Selain itu, pemerintah perlu menurunkan emisi dari PLTU batu bara. Langkah ini penting dilakukan karena PLTU batu bara merupakan sumber pencemaran udara terbesar kedua, setelah asap knalpot kendaraan.
Rekomendasi Strategis Menurunkan Emisi
Studi Koaksi Indonesia (2022) mengungkapkan bahwa penurunan emisi dari PLTU batu bara dapat dilakukan dengan beralih ke sumber energi terbarukan. Melalui studi tersebut, Koaksi Indonesia merekomendasikan perlu ada perencanaan strategi yang komprehensif sampai ke level implementasi untuk mempercepat transisi energi. Peralihan dari batu bara ke energi terbarukan juga perlu dilakukan secara bertahap untuk meminimalkan dampak yang mungkin timbul dari pelaksanaan transisi energi.
Secara spesifik di sektor transportasi, temuan studi lain yang pernah disusun oleh Koaksi Indonesia menyebutkan, sebagian besar (70–80%) sumber pencemaran udara di kota besar berasal dari asap knalpot kendaraan. Kendaraan listrik merupakan teknologi yang sedang berkembang pesat dan berpotensi mengurangi pencemaran udara dari sektor transportasi.
Baca Juga: RUU ET sebagai Solusi Jangka Panjang Cegah Polusi Udara
Melalui studi yang bertajuk “Menuju Sektor Transportasi yang Lebih Bersih: Kebijakan Biofuel dan Kendaraan Listrik Indonesia”, Koaksi Indonesia menilai bahwa pemerintah perlu memanfaatkan peluang perkembangan kendaraan listrik sebagai solusi meningkatkan kualitas udara di sektor transportasi. Langkah ini dapat dilakukan dengan menyusun standar berkelanjutan industri kendaraan listrik dan akselerasi program kendaraan listrik guna mewujudkan sektor transportasi yang bersih dan berkelanjutan.
Masalah Lintas Administrasi
Berdasarkan penjelasan di atas, pencemaran udara merupakan masalah yang bersifat lintas administrasi (transboundary). Fenomena ini tidak hanya terbatas pada satu wilayah administratif, tetapi juga berdampak luas hingga ke daerah sekitarnya. Menurut studi Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), untuk mengatasi masalah ini, pemerintah provinsi DKI Jakarta perlu berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah di sekitarnya guna mengidentifikasi sumber pencemaran udara dari luar Jakarta, seperti industri dan PLTU batu bara. Hasil identifikasi tersebut dapat menjadi dasar penetapan target bersama untuk mengendalikan pencemaran udara di Jakarta dan wilayah sekitarnya.
Dalam rangka memperingati ulang tahun Jakarta yang hampir mencapai lima abad, momentum ini bukan sekadar perayaan, tetapi juga menjadi waktu refleksi bagi para pemangku kepentingan, terutama pemerintah dan masyarakat, untuk segera mengambil tindakan dalam mengatasi pencemaran udara di kota ini. Kebutuhan atas udara bersih merupakan prioritas yang perlu terus diupayakan, baik untuk kesejahteraan generasi sekarang maupun generasi mendatang, guna memastikan jutaan jiwa yang menggantungkan hidupnya di Jakarta dapat menikmati kualitas hidup yang lebih baik.