Sejak tahun 2017, Koaksi Indonesia tertarik untuk mengeksplorasi beberapa wilayah di Provinsi Sulawesi Tengah guna mengembangkan energi terbarukan, salah satunya Kabupaten Tojo Una-Una. Terletak disebelah timur kota palu, berjarak sekitar 30 menit perjalanan menggunakan pesawat udara, tibalah saya di Kota Ampana, pusat pemerintahan dan ekonomi Kabupaten Tojo Una Una. Pada Februari 2018, bersama rekan saya Suhartono, kami memiliki misi untuk melakukan serangkaian survei dan eksplorasi ditanah Tojo Una Una. Tujuan utama kami adalah untuk memetakan potensi energi terbarukan dibeberapa desa yang sampai saat ini belum memiliki fasilitas kelistrikan dari PLN.
Sesuai rencana yang sudah disusun dari Jakarta, saya dan Suhartono berbagi daerah survei. Kecamatan Ampana Tete merupakan daerah yang saya harus kunjungi. Setelah beristirahat semalam, keesokannya, ditemani mini bus silver milik Bapak Mansur (supir penyewa di Ampana), saya menghabiskan hampir 4 jam perjalanan untuk mencapai Desa Bulan Jaya. Perlu kesabaran ekstra untuk mencapai Desa Bulan Jaya, disamping jalannya yang belum baik, fasilitas seperti jembatan di beberapa sungai juga tidak ada. Alhasil, mini bus harus memaksakan diri melintasi sungai-sungai tersebut. Selama diperjalanan, Bapak Mansur bercerita bahwa beberapa tahun yang lalu, dirinya masih sering bertemu dengan rusa bahkan anoa yang melintas dijalan-jalan pedalaman Sulawesi. Namun, hewan-hewan liar tersebut kini semakin langka untuk ditemui.
Singkat cerita, saya tiba di dataran bulan. Saya langsung menyambangi kediaman Bapak Hudaizin, beliau merupakan Sekdes Desa Bulang Jaya. Lewat keterangannya, saya mendapatkan fakta bahwa desa-desa didataran bulan merupakan Desa Transmigrasi. Desa-desa lain yang berdekatan dengan Bulang Jaya yaitu Wanasari, Mpoa, Sukamulya, dan Giri Mulyo.
Program Transmigrasi di dataran bulang sudah dimulai sejak tahun 1992 hingga 1998. Para transmigran berasal dari berbagai provinsi, seperti jawa tengah, jawa timur, bali, dan Sulawesi selatan. Ada kisah menarik mengenai dataran bulang. Warga setempat menyebut daerah mereka sebagai Dataran Bulang, kata bulang sendiri berasal dari masyarakat adat Tau Taa Wana yaitu Bulang, yang artinya pertemuan sungai-sungai.
Sebelum program transmigrasi ditahun 1992, selama ratusan tahun masyarakat adat Tau Taa Wana menempati daerah dataran bulang. Namun, setelah program transmigrasi hadir, masyarakat adat Tau Taa Wana memilih untuk tinggal lebih jauh didalam hutan ketimbang bersama masyarakat transmigran.
Kondisi Elektrifikasi Dataran Bulang
Sejak tahun 2017, melalui BUMDes, masyarakat di dataran bulang memanfaatkan dana desa untuk mengelola genset dengan kapasitas sekitar 45kva. Genset tersebut beroperasi mulai pukul 5 sore sampai pukul 12 malam. Sebelum program elektrifikasi yang digagas oleh BUMDes tersebut, masyarakat dataran bulang cenderung menggunakan genset pribadi, atau jika perekonomiannya terbatas mereka sama sekali tidak memiliki penerangan.
Mata Pencaharian Masyarakat
Mayoritas masyarakat di dataran bulang berprofesi sebagai petani, komoditas utama seperti padi, jagung, coklat dan kedelai dapat tumbuh subur didaerah ini. Namun, karena harga komoditas tersebut tidak pernah stabil, saat ini masyarakat lebih memilih untuk berpindah komoditas menjadi petani nilam. Disamping harganya yang kompetitif, masyarakat merasa harga perekonomian nilam lebih stabil, terlebih jika mereka mengelola dengan penyulingan menjadi minyak nilam, maka harga yang diperoleh bisa sangat baik untuk meningkatkan taraf hidup.
Risiko Banjir dan Terisolasi
Dengan kondisi yang begitu jauh dari Ampana, dataran bulan juga memiliki risiko bencana alam, seperti banjir. Warga setempat bercerita bila musim hujan datang, biasanya dataran bulan akan terisolasi hingga satu minggu karena tidak bisa menyebrang sungai akibat debit air yang meluap. Artinya jika musim hujan datang maka semuanya akan lumpuh.
Alat Komunikasi
Disamping risiko banjir dan terisolasi, terdapat permasalahan lain, yaitu belum ada alat komunikasi yang bisa beroperasi di dataran bulan. Dengan jumlah populasi yang mencapai ribuan orang, sepertinya sangat disayangkan bila pembangunan alat pemancar komunikasi tidak dibangun didaerah ini. Padahal hampir setiap rumah memiliki smartphone, tetapi hanya dipergunakan sebatas untuk mendengarkan musik ataupun bermain game.
Pembangunan yang kolaboratif
Sebetulnya cukup mengherankan melihat program transmigrasi pemerintah di dataran bulan. Selama hampir 20 tahun mereka belum mendapatkan listrik dan penerangan yang memadai dari negara. Padahal, didaerah asalnya, para transmigran sudah memiliki sumber listrik yang dapat diandalkan dan beroperasi 24 jam.
Permasalahan lain, pemerintah terkesan mengabaikan masyarakat adat tau taa wana sebagai pemilik asli hutan adat didataran bulan. Karena daerah mereka kini menjadi pusat permukiman dan pertanian, masyarakat adat tau taa wana tinggal jauh didalam hutan. Mungkin, pemerintah berpikir dengan menghadirkan transmigran kedalam hutan, maka masyarakat adat tau taa wana akan beradaptasi, belajar dan bertukar pengetahuan dengan para transmigran. Namun pada kenyataannya, pembangunan tidak bisa berjalan secara top-down semata, tetapi perlu pendekatan yang lebih komprehensif sehingga hak masyarakat adat tidak tergadaikan.
Berdasarkan pre-feasibility study yang saya lakukan, potensi energi terbarukan terutama dari sungai-sungai didataran bulan sangat besar.Untuk memastikan hal tersebut, perlu adanya riset yang lebih mendalam mengenai potensi energi didaerah ini, terutama energi air. Dan jika ternyata terdapat temuan bahwa potensi energi di dataran bualan bisa diandalkan, maka lewat pendekatan yang kolaboratif energi terbarukan dapat menjadi motor sekaligus katalisator pembangunan berkelanjutan.
Oleh: Aziz Kurniawan