Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Isu Keberlanjutan Biodiesel di Indonesia meliputi perubahan iklim dan penurunan emisi dari sektor energi, energy security (produksi minyak mentah menurun, konsumsi meningkat, impor BBM meningkat), biodiesel berbasis kelapa sawit ditujukan untuk memperbaiki neraca perdagangan dan mengendalikan harga CPO, ketergantungan Biodiesel dengan bahan baku berbasis lahan dapat memicu deforestasi, biodiesel dari bahan baku komoditas pangan menimbulkan kompetisi dengan pasokan bahan pangan dan subsidi biodiesel tidak berdampak pada kesejahteraan petani sawit.
Syarifah Nuli Nazilah selaku Direktur Eksekutif Coaction Indonesia (Colaborate Advocate Breaking Barriers) dalam paparannya mengatakan, Pengembangan kebijakan biodiesel harus dilakukan secara lebih terarah, terukur, serta mendorong integrasi yang lebih baik diantara sektor terkait dan dibutuhkan peningkatan produktivitas sebesar 1,4 ton / Ha dari rata-rata produksi sekarang yang masih terbilang rendah hanya 2,8 ton/ Ha.
Menurut Syarifah, Penguatan standar keberlanjutan (ISPO) yang sudah ada merupakan langkah safeguarding yang paling tepat saat ini terhadap isu keberlanjutan lingkungan.
“Selain itu, diperlukan sinkronisasi program biodiesel dengan skenario ketahanan energi nasional serta aksi mitigasi perubahan iklim dan dibutuhkan mekanisme perhitungan emisi dari hulu ke hilir untuk biodiesel,” ujar Syarifah dalam acara Journalist Workshop dengan Tajuk “Biodiesel dalam Bauran Energi Nasional” di Four Points Hotel, Jakarta. Rabu pagi, (31/7)
Indra Sari Wardani, Climate and Energy Manager WWF menjelaskan, untuk keberlanjutan biodiesel diperlukan integrasi hulu-hilir dari sisi kebijakan, penerapan sertifikasi hulu-hilir, serta kebijakan biodiesel (berbasis kelapa sawit) harus diikuti dengan moratorium kebijakan perijinan perkebunan kelapa sawit dengan peta indikatif yang jelas.
“Diversifikasi sumber bahan baku untuk biodiesel yang tidak berbasis lahan seperti minyak jelantah (UCO), adanya program peningkatan produktivitas petani swadaya dan plasma (penerapan praktik perkebunan yang baik dan dampingan untuk proses sertifikasi) serta perlu adanya mekanisme “tracebility” dan edukasi konsumen terkait biodiesel yang berkelanjutan,” tegas Sari.
Andi Novianto, selaku Asdep Produktivitas Energi Kemenko Perekonomian mengungkapkan, kebijakan penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) dimulai tahun 2006 melalui Inpres No. 1/2006 dan melalui Permen ESDM No. 12/2015 dibuat Roadmap Jangka Menengah untuk implementasi Mandatori Biodiesel dan terhitung mulai 1 September 2018 diterapkan kebijakan perluasan mandatori Biodiesel ke Non PSO.
Pada tahun 2018 terjadi penghematan devisa dari mandatori biodiesel mencapai USD 1,88 miliar, selain itu, kata Andi, dengan peningkatan penggunaan FAME menjadi 6,2 juta KL dan pada tahun 2019 diperkirakan akan ada penghematan devisa sampai USD 3 miliar.
“PT Pertamina sejak bulan Maret 2019 sampai dengan saat ini tidak melakukan impor solar lagi, dengan demikian, neraca perdagangan migas bulan Juni 2019 menurun 21,5% sebesar US 1,71 miliar, sedangkan pada tahun 2017 realisasi bauran energi EBT hanya mencapai 7,3% dari target 23% EBT pada tahun 2025,” ujar Andi.
Bioenergi/Biofuel untuk listrik dan non listrik mencapai 1,3%, atau lebih rendah dari hydro (3,3%), namun sama dengan geothermal (1,3%), lanjut Andi, terjadi penurunan emisi sektor energi tahun 2017 sebesar 44,9 juta Ton CO2e, atau sekitar 14,3% dari target pengurangan Gas Rumah Kaca (GRK) tahun 2030 sektor energi dan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari mandatory biodiesel 2018 mencapai 6,0 juta ton CO2e, dan tahun 2019 diperkirakan mencapai 9 juta ton CO2e.
Dalam rangka Keberlanjutan Biodiesel, Andi menuturkan, berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 12/2015, pada tahun 2020 akan diimplementasikan B30 untuk seluruh sektor. Penerapan B30 diperkirakan akan meningkatkan kebutuhan biodiesel ± 3 juta kL/tahun, selain itu, Road Test B30 tengah dilakukan pada tahun 2019.
“Pemerintah mulai tahun 2019 akan mengembangkan Green Fuel berbasis CPO melalui kilang milik PT Pertamina, baik secara co-processing maupun stand alone Refiniring Unit dan diperkirakan pada tahun 2023 kebutuhan CPO untuk Green Fuel akan mencapai 4.9 juta ton KL per tahun,” tutup Andi. (Arianto)
Penulis: Lakalim Adalin
Sumber: DutaNusantaraMerdeka.com