Fajar.co.id, Jakarta — Solusi buruknya kualitas udara Jakarta saat ini, sebenarnya berpulang kembali kepada komitmen Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta, mengingat kualitas udara sehat menjadi hak konstitusional setiap warganegara.
Dalam diskusi publik bertajuk “Kualitas Udara dan Energi,” di Jakarta, Kamis malam (15/8) yang diselenggarakan Koaksi Indonesia, saat ini saja di DKI Jakarta pada Jumat (16/8) menunjukkan angka Air Quality Index (AQI) adalah 161, dengan keterangan unhealthy.
Data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menyebutkan, sumber polusi ibu kota terbagi menjadi empat, yakni transportasi darat (75 persen), pembangkit listrik dan pemanas (9 persen), pembakaran industri (8 persen), dan pembakaran domestik (8 persen).
Berbagai solusi mengemuka dalam diskusi, di mana Adila Isfandiari selaku Climate and Energy Researcher Greenpeace Indonesia menyatakan, harus dilakukan inventarisasi emisi yang terbesar, dan juga melihat parameter apa yang mereka pergunakan.
“Demikian juga lokasi keberadaan, seperti industri yang kebanyakan berada di luar wilayah DKI Jakarta, apakah langsung berpengaruh ke DKI Jakarta. Bagaimana dengan kendaraan bermotor bernomor polisi di luar DKI seperti Tangerang dan Bekasi yang juga masuk melintas di DKI Jakarta.
Tidak hanya itu saja, pembangkit listrik yang ada juga berlokasi di luar Jakarta, atau jauh dari pusat kota Jakarta. Keberadaan pembangkit listrik dengan batubara (PLTU) milik PLN itu, tidak hanya terletak di luar kota, tetapi juga jauh dari potensi menyebarkan polusi.
Karena itu perlu ditilik lagi sumbernya disebabkan oleh apa saja, seperti misalnya pembakaran sampah.
Selain itu perlu dipertimbangkan di sini, kebijakan apa yang diambil terkait hal tersebut,” jelasnya.
Azis Kurniawan selaku Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia dalam kesempatan tersebut mengemukakan, Gubernur DKI yang mengeluarkan Instruksi Gubernur No. 66 tahun 2019 di awal bulan ini tentang Percepatan Pelaksanaan Pengendalian Kualitas Udara Jakarta, sekaligus juga sudah memerintahkan semua gedung milik Pemerintah Daerah akan dipasangi PLTS Rooftop.
Dalam pernyataan persnya, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait kampanye penggunaan listrik surya atap, Menteri ESDM memberi saran kepada badan usaha, pemerintah daerah, dan masyarakat mulai memanfaatkan atap bangunan dan gedung yang dimiliki dengan memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Rooftop (Atap).
Selain Kementerian ESDM yang telah memasang PLTS Rooftop di seluruh gedungnya, Pemda DKI juga akan segera mengikuti arahan Menteri ESDM tersebut. Targetnya tahun 2022 pemasangan PLTS Rooftop akan selesai di DKI.
Sejalan dengan hal tersebut, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Tanpa Timbal Ahmad Safrudin (Puput) mengatakan, “Upaya lain menekan emisi gas buang dari kendaraan bermotor salah satunya dilakukan melalui uji emisi. Sebenarnya aturan uji wajib uji emisi yang saat ini menjadi bagian dari Insgub No. 66 tahun 2019, beberapa tahun sebelumnya sudah ada dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Yang belum dilaksanakan adalah implementasinya, karena dalam peraturan lama tersebut, dikatakan kendaraan bermotor wajib memenuhi ambang batas emisi gas buang kendaraan; kendaraan bermotor juga wajib menjalani emisi sekurang-kurangnya setiap enam bulan. Sedangkan kendaraan yang lulus uji emisi akan mendapat tanda lulus uji emisi,” paparnya.
Sementara dalam aturan baru tercantum keinginan Pemda DKI, agar uji emisi dilakukan untuk semua jenis kendaraan pada tahun 2020, bersamaan dengan perpanjangan STNK. Nantinya uji emisi akan menentukan, apakah STNK kendaraan tersebut dapat diperpanjang dan akan terintegrasi dengan sistem perparkiran.
Dengan demikian, Pemda DKI nantinya akan memiliki data base mengenai uji emisi kendaraan bermotor, data lahan parkir tersedia, dan kendaraan yang akan diperpanjang STNK – nya.
Hal ini termasuk yang diamini dalam diskusi, karena sistem uji emisi akan membangkitkan kembali bengkel uji emisi, termasuk memperluas kesempatan kerja di bengkel. Mengapa ini penting, seperti dikemukakan oleh Puput, setiap hari ada 19 ribu polutan yang keluar dari kendaraan bermotor.
Sementara penyumbang terbesar emisi polutan, adalah berasal dari sepeda motor, yang besarnya 10 kali lipat dari emisi kendaraan bermotor 2000 cc.
Pengendalian Pencemaran Udara dan Penggunaan Energi Terbarukan
Sejalan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kendati pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) yang tidak akan habis, baru berkontribusi sebesar 13% dalam bauran energi nasional, namun dalam RUEN telah ditetapkan, Pemerintah akan terus meningkatkan pemanfaatan energi baru dan energi penggunaan bahan bakar pembangkit listrik di dalam negeri. Penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang mencapai 13%, di tahun 2025 ditargetkan menjadi lebih dari 23%, dan naik lagi menjadi lebih dari 31% di tahun 2050.
Menurut anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim, penggunaan bahan bakar pembangkit listrik di dalam negeri turut berpengaruh terhadap kecepatan mengatasi terjadinya pemadaman listrik secara mendadak.
Herman Darnel yang juga menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Provinsi Sumatera Barat, menyoroti juga soal penggunaan bahan bakar pembangkit listrik.`
Dijelaskan, jika bahan bakar pembangkit listrik itu berupa air atau sinar matahari, maka pembangkit listrik tersebut bisa bangkit atau hidup lagi dalam tempo sekitar 30 menit hingga satu jam setelah down.
“Namun, jika bahan bakarnya adalah batu bara, maka setidaknya dibutuhkan waktu dua jam untuk bisa menghidupkan lagi pembangkit listrik tersebut,” paparnya.
Dia mengakui kalau penggunaan bahan bakar berupa batu bara, air, gas dan tenaga surya masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan.
Untuk batu bara, harganya murah dan pasokannya di dalam negeri cukup aman. Namun kekurangannya memang emisinya lebih tinggi dan agak lamban dalam merespon pemadaman listrik.
Sementara bahan bakar air, harganya cukup mahal dan kontinuitas pasokannya tidak bisa terjamin sepanjang tahun karena adanya musim kemarau, dimana debit air yang masuk akan berkurang. “Kelebihan dari tenaga air adalah kadar emisinya rendah dan lebih cepat merespon,” ujar Herman.
Kondisi serupa juga terjadi pada bahan bakar berupa tenaga surya. Selain harganya lebih mahal, pasokannya juga tidak bisa terjamin sepanjang hari. Adapun kelebihan dari tenaga surya selain rendah emisi gas buang juga cepat merespon.
Herman mengakui, dalam kondisi di mana tuntutan pelanggan bagi tarif listrik yang murah dan terjamin kontinuitas pasokan bahan bakar, penggunaan bahan bakar batu bara masih dibutuhkan.
“Besaran biaya listrik itu dihitung dari biaya bahan bakar, distribusi, dan operasional, sehingga jika mau murah, penggunaan batu bara menjadi solusinya,” katanya.
Walaupun begitu, Herman tetap meminta dilakukannya penggunaan bahan bakar air dan tenaga surya serta gas, seperti yang diterapkan PLN saat ini di Pembangkit Listrik Muara Karang dan Pembangkit Listrik Tanjung Priok.
“Kombinasi penggunaan bakar itu tetap diperlukan guna menjaga emisi gas buang, tarif murah dan kontinuitas pasokan,” jelasnya
Dia juga menyarankan ke depan sumber energi utama yang dipakai pembangkit listrik PLN berasal dari energi terbarukan, adapun gas serta batu bara dijadikan sumber energi cadangan.
Sumber: Fajar.co.id