Seri Energi Terbarukan: Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Sinar mentari dapat diubah menjadi listrik melalui pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Listrik dari energi terbarukan ini dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia sekaligus menyukseskan transisi energi nasional.
KOAKSI INDONESIA—Sebagai negara yang terletak di khatulistiwa, Indonesia disinari matahari hampir sepanjang tahun. Kekayaan sinar matahari yang dimiliki Indonesia merupakan potensi besar yang apabila dimanfaatkan secara optimal dapat memenuhi kebutuhan listrik masyarakat Indonesia. Sebagai energi terbarukan, pemanfaatan sinar surya menjadi energi listrik sekaligus mendukung transisi energi nasional menuju keberlanjutan.
Potensi Energi Terbarukan Surya
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan potensi energi surya terdapat di seluruh Indonesia dan mencapai 3.295 gigawatt (GW). Namun, pemanfaatannya baru mencapai 0,27 GW. Data ini memperlihatkan bahwa pemanfaatan energi terbarukan surya belum mencapai satu persen (1%). Betapa besarnya potensi energi terbarukan surya yang bisa dimanfaatkan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakatnya melalui pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Beberapa data lain pun memperlihatkan pemanfaatan energi matahari menjadi listrik merupakan solusi untuk menjawab kebutuhan energi masyarakat. Kajian Deep Decarbonization IESR menunjukkan bahwa Indonesia mampu mencapai nol emisi dan 100% energi terbarukan pada 2050, dengan bauran PLTS mencapai 88%.
Sebuah penelitian oleh Fakultas Teknik Universitas Nasional Australia menunjukkan Indonesia dapat menghasilkan energi listrik lebih dari 200.000 terawatt jam per tahun dengan solar panel terapung. Jumlah ini jauh melampaui kebutuhan listrik nasional pada 2050 yang sebesar 9.000 terawatt jam.
Bahkan, menurut Departemen Energi Amerika Serikat, jumlah sinar matahari yang menyinari permukaan bumi selama satu setengah jam cukup untuk memenuhi konsumsi energi seluruh dunia selama setahun penuh.
Konversi Sinar Surya Menjadi Listrik
Sinar matahari dikonversi menjadi listrik oleh PLTS. Secara sederhana, kerja PLTS dimulai dari panel surya yang menyerap sinar matahari melalui sel-sel surya yang membentuk panel surya. Kumpulan sel surya ini mengandung komponen fotovoltaik yang dapat mengubah sinar matahari menjadi energi listrik.
Energi listrik yang dihasilkan panel surya berarus searah (DC), sedangkan peralatan elektronik serta jaringan listrik di Indonesia pada umumnya bekerja dengan arus bolak-balik (AC). Oleh karena itu, dibutuhkan inverter untuk mengubah arus listrik dari DC menjadi AC.
Sekarang, energi listrik sudah dapat digunakan. Jika energi itu tidak langsung digunakan atau ingin disimpan dulu, diperlukan peralatan lain, yaitu baterai. Kapasitas baterai yang akan digunakan tergantung pada seberapa besar energi yang akan disimpan. Energi dalam baterai dapat digunakan saat panel surya tidak bisa memproduksi listrik akibat ketiadaan sinar matahari pada malam hari atau ketika mendung dan hujan.
Operasionalisasi PLTS
Ada tiga sistem pengoperasian PLTS.
- PLTS On-Grid. PLTS sistem ini terhubung dengan jaringan listrik PLN, sehingga cocok digunakan di wilayah dengan akses listrik yang stabil. Karena terhubung dengan jaringan listrik PLN, PLTS On-Grid tidak memerlukan baterai penyimpanan.
- PLTS Off-Grid. PLTS sistem ini tidak terhubung dengan jaringan listrik PLN, sehingga cocok digunakan di daerah yang belum terjangkau jaringan listrik. Karena tidak terhubung dengan jaringan listrik, diperlukan baterai untuk menyimpan energi listrik. Dengan demikian, saat ketiadaan cahaya matahari pada malam hari atau saat mendung dan hujan, wilayah dengan PLTS Off-Grid tetap memperoleh aliran listrik dari listrik yang disimpan dalam baterai.
- PLTS Hybrid. PLTS sistem ini merupakan penggabungan dari sistem On-Grid dan Off-Grid. Dengan kata lain, PLTS Hybrid terhubung ke jaringan PLN sekaligus memiliki baterai penyimpanan.
Perkembangan PLTS di Indonesia
PLTS dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan listrik skala rumah tangga hingga skala nasional. Saat ini, pemanfaatan PLTS atap dan pembangunan PLTS terapung makin banyak di Indonesia. Kedua jenis PLTS ini dapat beroperasi dengan sistem On-Grid, Off-Grid, ataupun Hybrid.
Selain itu, baik PLTS atap maupun PLTS terapung menjadi solusi untuk keterbatasan lahan. Sesuai dengan namanya, PLTS atap ditempatkan di atap rumah, gedung atau bangunan, sedangkan PLTS terapung ditempatkan di waduk, sungai atau danau. Oleh karena itu, tidak diperlukan pembukaan lahan baru untuk penempatan kedua jenis PLTS ini.
Bahkan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah berhasil mengembangkan PLTS terapung mobile pertama di Indonesia. PLTS terapung yang dapat berpindah tempat ini memiliki kelebihan lain, yaitu air di sekitar panel surya bertindak sebagai pendingin alami, sehingga meningkatkan efisiensi energi dalam menghasilkan listrik serta energi yang dihasilkan dapat digunakan untuk menggerakkan pompa untuk irigasi pertanian.
- PLTS Atap
Untuk PLTS atap, pemerintah telah menetapkan target pemasangan PLTS atap pada 2025 sebesar 3,6 GW. Sementara realisasi pemasangannya hingga Januari 2024 baru mencapai 149 megawatt peak (MWp), meskipun pelanggan PLTS atap melonjak dua kali lipat pada 2023 jika dibandingkan tahun sebelumnya, sebagaimana dilansir dari Katadata.
PLTS atap makin populer digunakan di kalangan rumah tangga dan industri. Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, sebagai energi terbarukan, sinar matahari tidak menimbulkan emisi. Dengan demikian, penggunaan PLTS atap akan mengurangi jejak karbon rumah tangga dan industri.
Kedua, khusus bagi industri, penggunaan PLTS atap menjadi lebih penting lagi mengingat makin banyak konsumen yang sadar lingkungan. Survei mengenai keberlanjutan yang dilakukan konsultan global Bain & Company kepada 23.000 konsumen di seluruh dunia, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa konsumen Indonesia rela membayar 15 sampai 20% lebih mahal untuk produk-produk ramah lingkungan.
Alasan lain, yaitu pemanfaatan PLTS atap akan menciptakan rumah tangga dan industri yang mandiri energi baik secara sebagian maupun total. Kemandirian ini akan menghemat pengeluaran rumah tangga untuk pembayaran listrik dan biaya operasional industri. Turunnya biaya operasional industri bisa menurunkan harga jual produk.
Sekalipun hanya untuk skala rumah tangga, pemasangan PLTS atap On-Grid tidak boleh dilakukan secara pribadi. Pemasangan PLTS ini hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang telah terdaftar secara resmi sebagai Badan Usaha Pembangunan dan Pemasangan PLTS di Kementerian ESDM, sebagaimana dikutip dari Kompas.com.
- PLTS Terapung
Beberapa realisasi pemanfaatan PLTS terapung di Indonesia, yakni PLTS Terapung Cirata. PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara yang telah diresmikan penggunaannya pada November 2023 ini berkapasitas 192 MWp. Dengan kapasitas sebesar itu, menurut data Kementerian ESDM, PLTS ini mampu mengurangi emisi hingga 214.000 ton CO2 per tahun dan menghasilkan energi hijau lebih dari 200 juta kilowatt jam yang bisa melistriki 50.000 rumah.
Realisasi lain, berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga Juli 2024, kapasitas terpasang PLTS terapung di berbagai waduk milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di 257 lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia telah mencapai 193,01 MW dari total kapasitas sebesar 14,7 GW.
Beberapa realisasi itu menunjukkan kemajuan yang telah dicapai dalam pengembangan PLTS terapung di Indonesia. Namun, realisasi itu masih jauh dari potensi yang ada. Oleh karena itu, pemerintah terus mendorong pemanfaatan PLTS terapung untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat dengan energi terbarukan sekaligus sebagai salah satu upaya mencapai emisi nol bersih (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Upaya yang akan diteruskan antara lain peningkatan kapasitas PLTS terapung di berbagai waduk milik Kementerian PUPR. Kemudian, membangun PLTS terapung skala utilitas (berkapasitas besar) seperti PLTS Terapung Cirata.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021–2030, ada dua PLTS terapung yang sedang dibangun, yaitu (1) di Saguling, Jawa Barat dengan kapasitas 60 MW dan (2) di Singkarak, Sumatra Barat dengan kapasitas 48 MW. Sementara itu, ada lima PLTS terapung yang akan dibangun, yaitu (1) di Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, Jawa Tengah dengan kapasitas 100 MW; (2) di Waduk Sutami, Jawa Timur dengan kapasitas 122 MW; (3) di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat dengan kapasitas 100 MW; (4) di Waduk Mrica, Jawa Barat dengan kapasitas 60 MW; dan (5) di Waduk Wonorejo, Jawa Timur dengan kapasitas 122 MW (Kementerian ESDM).
Tantangan Pengembangan PLTS di Indonesia
Meskipun memiliki potensi besar, pengembangan PLTS di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah kemampuan industri dalam negeri untuk memproduksi komponen PLTS. Studi IESR menunjukkan industri komponen PLTS di Indonesia belum memiliki produk dengan daya saing harga, kualitas, dan bankability. Hingga saat ini, penggunaan modul surya impor masih mendominasi proyek-proyek PLTS, terutama pada proyek PLTS skala utilitas. Selain itu, tantangan alih teknologi tinggi dan persaingan dengan produsen global dalam pengembangan industri inverter.
Tantangan lain berkaitan dengan perubahan aturan PLTS atap. Aturan baru itu tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) yang menggantikan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang hal yang sama.
Salah satu perubahan dalam aturan baru itu terdapat pada Pasal 13 yang menyatakan bahwa kelebihan energi listrik dari Sistem PLTS Atap yang masuk ke jaringan Pemegang IUPTLU tidak diperhitungkan dalam penentuan jumlah tagihan listrik Pelanggan PLTS Atap. Padahal, pada peraturan sebelumnya, kelebihan produksi listrik yang masuk ke jaringan IUPTLU akan diperhitungkan, sehingga mengurangi tagihan listrik bulan berikutnya.
Dilansir dari Kompas.id, saat kelebihan produksi listrik yang masuk ke jaringan IUPTLU masih diperhitungkan, investasi PLTS atap rumah tangga baru mencapai titik impas (break even point) lebih dari delapan tahun. Dengan peraturan baru ini, titik impas itu mungkin lebih dari delapan tahun.
Terakhir, tantangan dalam pengelolaan komponen PLTS atap setelah masa pakainya berakhir. Dilansir dari Kementerian ESDM, umur teknis komponen PLTS atap bergantung pada kualitas dan perawatannya. Namun, secara teknis, prediksinya sebagai berikut.
Nama Komponen | Prediksi Umur Teknis |
Modul surya | 20–25 tahun |
Inverter | 10 tahun |
Meter ekspor impor | 20 tahun |
DC breaker | 20 tahun |
Panel bagi/panel distribusi AC | 10 tahun |
Dari tabel terlihat bahwa masa pakai komponen PLTS atap termasuk singkat. Oleh karena itu, perlu dipersiapkan tatalaksana pengelolaan limbah ini dan pihak yang bertanggung jawab untuk melaksanakannya.
Sebuah studi dalam Jurnal Kajian Ilmu Sosial, Politik, dan Hukum menunjukkan bahwa Indonesia sudah memiliki regulasi terkait pengelolaan limbah, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, yang masih perlu ditegaskan adalah implementasi terkait pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan limbah agar kelestarian lingkungan hidup tetap terjaga.
Dengan strategi pengembangan yang tepat, PLTS dapat memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus mendukung transisi energi nasional menuju sumber energi bersih dan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.