Penulis: Ridwan Arif (Knowledge Management Coordinator, Koaksi Indonesia)
Produk biodiesel yang ada di Indonesia merupakan produk campuran antara biodiesel murni dengan minyak solar, komposisi campuran biodiesel telah diulas pada artikel sebelumnya yang berjudul “Mengenal Lebih Dekat tentang B30”. Artikel ini akan membahas lebih mendalam mengenai produk biodiesel murni itu sendiri, baik dari proses pembuatan, bahan baku yang dapat dijadikan biodiesel, serta sifat fisiknya. Di Indonesia, Biodiesel dijadikan sumber energi alternatif karena mampu mengurangi emisi gas rumah kaca sehingga menjadikannya energi yang ramah lingkungan.
Biodiesel dihasilkan dari proses transesterifikasi dengan bahan baku minyak nabati atau lemak hewan yang direaksikan dengan senyawa alkohol seperti metanol. Bahan baku tersebut mengandung rantai trigliserida yang dapat disederhanakan menjadi rantai methyl esters monogliserida dengan bantuan katalis. Senyawa methyl esters tersebutlah yang dikenal dengan biodiesel murni atau biasa disebut dengan Fatty Acid Methyl Esters (FAME).1 Proses transesterifikan diperlihatkan pada gambar dibawah ini.
Trigliserida merupakan senyawa yang terkandung dalam minyak nabati. Di Indonesia, bahan bakar nabati ini umumnya dihasilkan dari sawit. Selain dari sawit, minyak nabati juga dapat dihasilkan dari bunga matahari, kedelai, rapeseed, kacang tanah, kelapa, dan kapas. Namun minyak yang dihasilkan jumlahnya berbeda-beda, bergantung pada bahan bakunya. Di Indonesia, produktivitas minyak nabati dari sawit yang biasa disebut dengan crude palm oil (CPO) baru berkisar 3,65 Ton/Ha/Tahun.2 Sebagai perbandingan hasil dari minyak nabati dapat dilihat pada tabel di bawah.
Tabel Perbandingan Produkvitas Minyak Nabati
dari Berbagai Sumber3
Jenis Tanaman | Produktivitas minyak (Ton/Ha/Tahun) |
Sawit | 4,27 |
Rapeseed | 0,69 |
Bunga Matahari | 0,52 |
Kacang Tanah | 0,45 |
Kedelai | 0,45 |
Kelapa | 0,34 |
Kapas | 0,19 |
Selain bahan baku di atas, ada juga bahan baku lain yang dapat dikembangkan menjadi minyak nabati bahan baku biodiesel seperti minyak jelantah atau used cooking oil (UCO) dan mikroalga. Penggunaan UCO sudah dilakukan di Indonesia namun masih dalam skala kecil. Pada dasarnya, UCO dapat menjadi bahan baku biodiesel karena UCO sendiri berasal dari minyak nabati, sehingga dapat diproses lebih lanjut menjadi biodiesel. Sedangkan mikroalga memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi bahan baku biodiesel, yield minyak dari mikroalga dapat mencapai 75 persen dari berat kering massa. Namun proses pemurnian minyak nabati dari mikroalga masih terbilang cukup mahal sehingga bahan baku ini masih dalam tahap pengembangan.
Bahan baku yang berasal dari sawit melewati berbagai proses hingga sampai menjadi CPO. Untuk mendapatkan CPO dari tandan buah segar (TBS), diawali dengan proses perebusan yang bertujuan untuk membuat tandan buah segar menjadi layu dan mudah ditekan agar menghasilkan minyak. Setelah tandan buah segar sudah layu, maka dilumatkan dengan mesin digester dan kemudian ditekan agar menghasilkan CPO kotor. CPO kotor kemudian dimurnikan melalui beberapa proses untuk mendapatkan CPO murni. Selain menghasilkan CPO, tandan buah segar juga akan menghasilkan beberapa produk samping seperti tandan buah kosong, palm oil mill effluent (POME), serat, dan minyak kernel. Dalam produksi dengan bahan baku tandan buah segar sebanyak 1 ton akan menghasilkan CPO murni sebanyak 240 kg.4
CPO yang dihasilkan akan menjadi bahan baku untuk proses pembuatan biodiesel. Proses yang umum digunakan adalah proses transesterifikasi seperti yang telah disebutkan di awal artikel ini. Pada dasarnya proses ini memisahkan gliserin pada rantai trigliserida sehingga menghasilkan methyl esters dan gliserol. Proses ini membutuhkan alkohol dan katalis berupa senyawa basa kuat. Alkohol yang digunakan seperti methanol, etanol, isopropanol, dan lain-lain. Namun, perlu diperhatikan kandungan air yang terdapat pada alkohol yang digunakan karena akan mempengaruhi kualitas biodiesel yang dihasilkan. Jika kandungan air pada alkohol tinggi maka kualitas biodiesel yang dihasilkan akan rendah.5
Selain alkohol, terdapat katalis yang digunakan pada proses transesterifikasi. Fungsi dari katalis ini adalah meningkatkan daya larut saat reaksi berlangsung. Katalis yang digunakan merupakan senyawa basa kuat seperti NaOH atau KOH atau Natrium Metoksida. Katalis ini bersifat higroskopis sehingga kinerjanya akan terganggu jika banyak air yang diserap. Setelah reaksi transesterifikasi, senyawa basa dinetralkan dengan menambahkan senyawa asam dan akan menghasilkan senyawa garam ionik.6
Produk FAME atau biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi harus memenuhi standar mutu yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, khususnya Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi. Standar mutu tersebut disajikan pada tabel dibawah ini.
Tabel Standar Mutu (Spesifikasi) Biodiesel7
Parameter Uji | Persyaratan | Satuan |
Massa jenis pada 40 0C | 850 – 890 | Kg/m3 |
Angka setana | 51 | Minimal |
Titik nyala | 130 | 0C, minimal |
Kadar ester metil | 96,5 | %-massa, minimal |
Monogliserida | 0,55 | %-massa, minimal |
Kadar air | 350 | Ppm, maksimal |
CFPP (Cold Filter Plugging Point) | 15 | 0C, maksimal |
Seluruh proses ini merupakan proses yang umum digunakan di Indonesia, dimana perkembangan teknologi dalam produksi bahan bakar nabati terus berkembang. Ada pula pengembangan teknologi biodiesel yang terbaru, yaitu produksi green fuel sebagai bahan bakar pengganti avtur. Namun, pengembangan teknologi tersebut masih dalam skala laboratorium dan terkendala biaya produksi jika akan diproduksi massal. Diharapkan dengan adanya pengembangan biodiesel di Indonesia dapat menjadikan bahan bakar nabati menjadi sebuah industri yang berkelanjutan, tak hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga mampu menjaga lingkungan agar tetap lestari.
Referensi
Jon Van Gerpen, “Biodiesel processing and production”, Elsevier: Fuel Processing Technology 86, 2005, h. 1097 – 1107.
2 Arif Rahmanulloh, “Indonesia Biofuels Annual Report 2019”, Jakarta: USDA Foreign Agricultural Service, 2019.
3GAPKI,https://gapki.id/news/4017/mitos-2-02-perkebunan-kelapa-sawit-dunia-lebih-luas-dari-perkebunan-minyak-nabati-lainnya, diakses pada tanggal 27 November 2019.
4 Sri Amini dan Rini Susilowati, “Produksi Biodiesel dari Mikroalga Botryococcus braunii”, Squalen Vol. 5, 2010, h. 23.
5 E Hambali dan M Rivai, “The Potential of Palm Oil Waste Biomass in Indonesia in 2020 and 2030”, IOP Conference Series: Earth Environmental Science 65, 2017, h. 5.
6 Rahayu, Martini. “Teknologi Proses Produksi Biodiesel.” Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi, 2007.
7 ibid
8 Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Dan Konservasi Energi, Keputuran Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Dan Konservasi Energi Nomor 189 K/10/DJE/2019 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Jenis Biodiesel Sebagai Bahan Bakar Lain Yang Dipasarkan Di Dalam Negeri.