Diskusi publik Ruang Aksi ke-5 dilaksanakan pada Kamis 27-9 di GoWork Coworking and Office Space, Chubb Square, Jakarta. Diskusi yang bertajuk “Biodiesel untuk Ketahanan Energi” menghadirkan beberapa narasumber, yaitu Direktur Bionergi, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementrian ESDM, Andriah Feby Misna, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Dirjen Perkebunan, Kementrian Pertanian, Dedi Junaedi, Ketua Bidang Hukum dan Hubungan Kelembagaan APROBI (Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia) Manumpak Manurung, dan Program Manager Koaksi Indonesia, Azis Kurniawan. Selain beberapa narasumber, beberapa penanggap juga dihadirkan yaitu dari birokrat maupun LSM seperti dari Wakil Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Beni Hernedi, Sustainable Palm Oil Technical Officer WWF Indonesia, Rico Pratama, Peneliti Kebijakan Ekonomi Auriga, Wiko Saputra dan Kordinator Publish What You Pay (PYWP) Indonesia, Maryati Abdullah. Dipandu oleh Juris Bramantyo dari Koaksi Indonesia, diskusi tersebut dihadiri oleh berbagai kalangan mulai dari jurnalis, blogger, mahasiswa, perwakilan sektor swasta, masyarakat sipil hingga perwakilan pemerintah.
Topik Biodiesel dipilih karena beberapa waktu terakhir biodiesel menjadi hal yang sering dibicarakan oleh khalayak. Mulai 1 September lalu, Presiden Jokowi menerapkan kebijakan B20 (Biodiesel 20 persen) yang akan berlaku tidak hanya pada bahan bakar solar bersubsidi namun juga pada solar nonsubsidi. Menurut CIFOR (2018), terdapat empat faktor yang mendorong perkembangan biodiesel, yaitu: (1) Sebagai salah satu solusi mengatasi ketahanan energi, (2) Upaya Indonesia memproduksi biodiesel didorong oleh motivasi untuk mendayagunakan energi bersih dalam menanggapi kekhawatiran pada dampak buruk emisi gas rumah kaca (GRK), (3) Perkembangan biodiesel sebagai instrumen pengendalian harga komoditas pertanian, dalam hal ini sawit dan (4) Dilihat sebagai salah satu solusi untuk mendorong perekonomian lokal, regional dan Nasional melalui pembangunan pertanian. Apabila ditinjau dari sisi ketahanan energi, Dewan Energi Nasional (DEN) menyatakan bahwa ketahanan energi adalah suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi, akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Berdasarkan faktor pendorong perkembangan biodiesel dan definisi ketahanan energi, diskusi ini bertujuan untuk mendekatkan isu biodiesel dengan isu keseharian karena telah dinikmati oleh masyarakat, agar publik juga dapat memahami bahwa setiap produk yang kita konsumsi tidak dipandang sebelah mata karena ada rantai pasok yang cukup dan perlu kita ketahui prosesnya. Selain itu, agar publik juga dapat memahami Bahwa ketersediaan dan akses biodiesel yang dimiliki oleh masyarakat kota besar, belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah lain dan tentunya agar publik memahami aspek lingkungan dalam produk yang mereka konsumsi, termasuk biodiesel.
Menurut Feby, walau isu biodiesel ramai dibicarakan akhir-akhir ini sebenarnya program biodiesel ini telah lama diberlakukan. Pada tahun 1997 sudah mulai dibahas untuk program biodiesel dengan berbagai uji dan identifikasi. Tahun 2006 Sudah menerapkan biodiesel dengan campuran 2,5 persen dengan proses yang panjang. Lalu, pada tahun 2015 Kementrian ESDM melakukan uji road test dengan campuran B20 untuk berbagai macam kendaraan, dengan mini bus di beberapa kondisi jalan berbeda, dengan melihat performa mesin kendaraan dan kondisi kendaraan tersebut KESDM mendapatkan hasil bahwa B20 layak digunakan dengan sedikit modifikasi pada filter. Pada 1 September diberlakukan perluasan B20 secara intensif di semua sektor, bahkan untuk pembangkit listrik, PLN telah menggunakan B30.
Walaupun masyarakat sering menyoroti dampak negatif dari sawit, menurut Dedi sawit merupakan anugrah bagi negeri ini. Hal tersebut dikarenakan sawit telah menjadi komoditas andalan negara yang menyumbang devisa dalam jumlah besar. Dedi menyadari adanya dampak negatif dari penggunaan sawit, namun Kementrian Pertanian dapat menjamin rantai pasok yang ramah lingkungan dengan adanya pemberlakuan sertifikasi sawit. Dari total 350 sertifikasi yang diajukan, hanya 200 perizinan yang lolos sertifikasi sawit dengan standar Indonesia. Selain itu, Dedi juga menjamin bahwa perkebunan rakyat akan dilakukan peremajaan dan jumlah perkebunan rakyat akan diperbanyak dan akan menguntungkan rakyat. Ditinjau dari segi industri, Manumpak dari APROBI menyatakan bahwa ketersediaan biodiesel saat ini masih dalam taraf cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan konsumsi 42 juta ton per tahun, B100 masih dapat terpenuhi. Lain lagi apabila akan ada ekspansi pada bahan bakar pesawat, menurut Manumpak hal itu belum dapat terpenuhi karena produsen bio avtur hanya ada satu. Berbeda dengan pesawat, persediaan untuk kendaraan darat dan kapal masih dirasa cukup aman bahkan apabila terjadi hal-hal lain seperti diputusnya pasokan minyak bumi, persediaan sawit masih banyak karena sawit masih panen.
Ditinjau dari sisi dampak terhadap lingkungan, Azis Kurniawan dari Koaksi menyatakan bahwa emisi dari penguunaan bahan bakar Nabati memang lebih bersih dari bahan bakar fosil, namun terdapat dampak lain yaitu emisi yang dihasilkan di sisi hulu, terutama pada tingkat perkebunan (indirect land used change). Hal tersebut juga ditanggapi oleh Rico dari WWF, yang sepakat agar jangan sampai kemudian biodiesel menjadi penyebab bertambahnya luas daerah rambahan lahan sawit yang tidak semestinya, misalnya di kawasan hutan. Selain itu, Rico juga menanyakan bagaimana aplikasi ISPO telah berjalan pada tingkat kabupaten maupun provinsi. Rico juga menambahkan agar sebaiknya diskusi mengenai biodiesel tidak hanya fokus pada pengurangan impor, tapi juga bagaimana dampak sosial, lingkungan maupun ekonomi yang kemudian akan muncul. Menanggapi hal tersebut, Wakil Bupati Musi Banyuasin sebagai salah satu kabupaten dengan lahan kebun sawit terluas menyatakan bahwa sawit kini menjadi komoditas yang cukup populer di daerahnya. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang kini menekuni usaha sawit. Pada 20 tahun terakhir terdapat 49 perusahaan sawit yang memiliki luas kebun 300.000 hektar dengan 238 perizinan kelas A. Mengenai perizinan, Beni menyatakan bahwa ISPO telah diberlakukan dan sawit telah mempengaruhi tingkat ekonomi masyarakat. Dengan demikian, Beni berharap program B20 ini dapat menyejahterakan masyarakat Musi Banyuasin dengan mekanisme produksi yang sustainable.
Menanggapi dari sisi keadilan, Maryati Abdullah dari PYWP selama ini perekonomian Indonesia masih bergantung pada sumber daya alam, terbukti dari beratnya beban petani apabila kebijakan tidak berpihak pada mereka. Permasalahan biodiesel tidak hanya dapat dilihat dari sisi pendapatan, defisit maupun pelemahan dollar saja, namun lebih luas juga perlu memperhitungkan ekonomi secara makro dan kebijakan fiskal. Tidak Hanya itu, jangan lupakan kunci utamanya yaitu keadilan, jangan sampai kita terpaku pada kebijakan yang hanya berfokus pada satu energi. Kesenjangan antara petani kecil dan petani besar perlu diperhatikan dengan membuka akses modal, teknologi dan pemerintah. Permasalahan biodiesel memang tidak terbatas hanya dari aspek ekonomi yang berkaitan dengan stabilitas harga bahan bakar di Indonesia namun lebih luas, aspek hulu hingga hilir juga perlu diperhatikan. Pemanfaatan biodiesel memang diharapkan mengatasi beberapa permasalahan perekonomian di Indonesia, salah satunya adalah untuk menekan impor minyak bumi. Namun, perlu diperhatikan pula bahwa penggunaan biodiesel yang berasal dari minyak nabati juga perlu diawasi pada tahap hulu agar lahan perkebunan sawit tidak mengganggu lahan hutan yang sudah menjadi tumpuan hidup bagi banyak mahluk hidup, tidak terlepas bagi manusia. Kemudian, pemerataan akses biodiesel juga tidak kalah penting agar pemanfaatan biodiesel sebagai Sumber energi dapat merata ke seluruh lapisan masyarakat.