Perempuan perdesaan berperan penting dalam mendukung transisi energi berkeadilan. Penerapan GEDSI dapat menguatkan peran mereka dan mengatasi tantangan saat ini.
KOAKSI INDONESIA—Hari Perempuan Perdesaan Internasional yang dirayakan setiap tanggal 15 Oktober menjadi pengingat peran penting perempuan perdesaan dalam pembangunan berkelanjutan, termasuk transisi energi berkeadilan. Di Indonesia, perempuan perdesaan berperan penting dalam sektor energi terbarukan. Mereka tidak hanya bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan energi keluarga, namun juga berkontribusi dalam peralihan ke sumber energi yang lebih berkelanjutan.
Sebagai contoh, perempuan perdesaan memiliki peran kunci dalam mendorong peralihan bahan bakar konvensional, seperti minyak tanah dan elpiji ke energi terbarukan, seperti surya. Energi terbarukan ini sering kali berasal dari potensi lokal yang tersedia di desa-desa. Inisiatif ini tidak hanya berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), namun juga meningkatkan kemandirian energi di tingkat desa.
Contoh nyata dari keberhasilan ini terlihat di Desa Batu Menyan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Perempuan di desa ini memimpin pelaksanaan transisi energi berkeadilan dengan mengadopsi energi surya. Mereka terlibat aktif dalam pemasangan solar rooftop di rumah mereka yang kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik rumah tangga.
Di samping itu, perempuan di Desa Batu Menyan mendirikan koperasi energi terbarukan yang mengelola penggunaan energi secara kolektif dan berkelanjutan. Tidak hanya berhenti di situ, peran perempuan di desa ini meluas ke kegiatan sosialisasi dan pelatihan kepada masyarakat sekitar untuk berkontribusi mendukung transisi energi berkeadilan. Mereka mengorganisasi kegiatan edukasi tentang manfaat energi terbarukan dan memberikan dukungan teknis bagi penduduk yang ingin beralih ke energi terbarukan.
Tantangan yang Dihadapi Perempuan Perdesaan
Akan tetapi, perempuan perdesaan masih menghadapi sejumlah tantangan dalam mendukung transisi energi berkeadilan. Tantangan pertama adalah akses terbatas terhadap sumber energi bersih. Menurut laporan Mongabay (2024) perempuan di wilayah seperti Halmahera, Salatiga, dan Kepulauan Seribu lebih memilih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak daripada elpiji karena harganya mahal.
Tantangan kedua yang dihadapi oleh perempuan perdesaan adalah pengetahuan dan kapasitas yang belum memadai untuk memanfaatkan sumber energi terbarukan. Sebagai contoh, temuan Indonesian Parliamentary Center atau IPC (2022) menunjukkan bahwa Desa Bener, Kota Semarang, memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah, seperti air. Akan tetapi, masyarakat termasuk perempuan di desa ini belum memiliki pengetahuan dan kemampuan teknis yang cukup untuk mengelola dan memanfaatkan sumber energi tersebut secara efektif.
Tantangan lainnya adalah partisipasi perempuan perdesaan yang minim dalam pengambilan keputusan, khususnya terkait pembangunan dan pengembangan energi terbarukan. Studi Koalisi Perempuan Indonesia (2020) menunjukkan bahwa laki-laki masih mendominasi proses pengambilan keputusan di sektor ini. Contoh konkret dari fenomena ini terlihat dalam studi NZMates (2023) yang dilakukan di enam desa di Provinsi Maluku. Hasil studi tersebut mengungkapkan bahwa partisipasi perempuan (55%) dalam pemasangan jaringan listrik di rumah termasuk memberikan ide atau pandangan masih lebih rendah dibandingkan laki-laki (71%).
Baca Juga: Semua Manusia Berhak dan Berperan Sama dalam Upaya Pengendalian Dampak Perubahan Iklim
Tantangan ini makin kompleks karena berpotensi memicu efek domino yang merugikan. Sebagai contoh, penggunaan kayu bakar untuk memasak dapat berdampak buruk pada kesehatan, terutama meningkatkan risiko pneumonia. Penelitian Marita dan Amelia (2024) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kebiasaan menggunakan kayu bakar untuk memasak dengan kejadian pneumonia pada balita di Desa Pemetung Basuki, Kecamatan Buay Pemuka Peliung, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Provinsi Sumatera Selatan.
Efek domino kedua berkaitan dengan ketahanan pangan. Laporan Green Network (2022) mengungkapkan bahwa harga bahan bakar yang mahal di Papua membatasi akses masyarakat terhadap sumber energi yang diperlukan untuk mengolah makanan pokok seperti sagu. Sagu yang merupakan sumber pangan utama masyarakat Papua menjadi sulit diolah karena keterbatasan energi sehingga berpotensi memengaruhi ketahanan pangan lokal.
Implementasi GEDSI untuk Menguatkan Peran Perempuan Perdesaan
Menurut Koalisi Perempuan Indonesia (2022), gender equality, disability, dan social inclusion (GEDSI) merupakan perspektif, kepercayaan, atau ideologi yang memperjuangkan kesetaraan hak dan kesempatan, serta partisipasi perempuan, disabilitas, dan kaum marginal di dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks transisi energi berkeadilan, GEDSI memiliki potensi untuk memperkuat peran perempuan perdesaan di sektor energi serta membantu mengatasi tantangan saat ini.
Buku saku ini juga menjelaskan bahwa penerapan GEDSI dapat memberdayakan keterampilan dan pengalaman unik dari setiap individu untuk mendorong inklusivitas dalam transisi energi. Dengan melibatkan perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan, transisi energi dapat dilaksanakan secara lebih adil. Penerapan prinsip ini akan menghasilkan manfaat berkelanjutan tidak hanya bagi individu dan keluarga, namun juga bagi komunitas dan masyarakat yang lebih luas.
Baca Juga: Mewujudkan Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia melalui Penerapan Prinsip GEDSI
Panduan tersebut juga menjelaskan bahwa pengarusutamaan GEDSI di seluruh proses pengembangan energi terbarukan dapat memastikan bahwa transisi energi mengintegrasikan kebutuhan, kepentingan, dan peran perempuan, penyandang disabilitas, serta kelompok rentan. Dengan demikian, implementasi GEDSI dapat berperan mengatasi ketimpangan dan mencegah makin lebarnya kesenjangan sosial yang ada.
Perayaan Hari Perempuan Perdesaan Internasional menjadi pengingat akan peran strategis perempuan perdesaan dalam mendukung transisi energi berkeadilan. Meskipun memiliki potensi besar, perempuan perdesaan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam berkontribusi pada sektor ini. Penerapan GEDSI tidak hanya berpotensi membantu perempuan perdesaan mengatasi hambatan yang ada, namun juga memperkuat peran mereka dalam mempercepat transisi energi berkeadilan.