Tepat setahun berlalu, pada September 2017, “Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap” resmi dideklarasikan. Gerakan yang dideklarasikan oleh beberapa instansi seperti Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) serta beberapa pihak terkait ini merupakan sebuah upaya bertujuan untuk mencapai target penggunaan energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen di tahun 2025.
Adapun, hal itu dilakukan dengan mendorong dan mempercepat pembangunan pembangkit listrik surya atap di perumahan, fasilitas umum, gedung, baik perkantoran maupun pemerintahan, bangunan komersial dan kompleks industri hingga orde GigaWatt sebelum 2020. Selain itu, gerakan ini bertujuan agar mendorong tumbuhnya industri nasional fotovoltaik/photovoltaic (PV), yaitu sebutan teknologi penelitian yang berhubungan dengan aplikasi panel surya untuk energi dengan mengubah sinar matahari menjadi listrik yang berdaya saing dan menciptakan lapangan kerja yang layak dan ramah lingkungan (green jobs), mendorong penyediaan listrik yang handal, berkelanjutan dan kompetitif, mendorong dan memobilisasi masyarakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim dan terakhir, mendukung terlaksananya komitmen Indonesia pada Paris Agreement dan upaya pencapaian SDGs (Sustainable Development Goals).
Surya atap atau yang biasa dikenal dengan panel surya atap (rooftop) adalah perangkat dengan teknologi yang digunakan memenuhi kebutuhan listrik rumah maupun jenis bangunan lain. Berbeda dengan listrik konvensional, teknologi ini memungkinkan masyarakat dapat menikmati aliran listrik dengan sumber energi baru terbarukan yang berasal dari sinar matahari. Penggunaan energi yang berasal dari sinar matahari ini tentu lebih efisien karena berasal dari sinar matahari dan tidak menghasilkan emisi yang memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Selain lebih ramah lingkungan, teknologi surya atap juga mampu menekan biaya tarif listrik yang biasa dibayarkan kepada PLN sebesar 50 persen.
Dikutip dari Berita Satu, AESI (Asosiasi Energi Surya Indonesia), mencatat 400 rumah telah dilengkapi dengan panel surya atap pada Juli 2018. Andika Prastawa selaku ketua umum AESI menilai, animo masyarakat terhadap pemasangan instalasi surya atap semenjak Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap diberlakukan terus meningkat. Hal tersebut terlihat dari pemasangan instalasi surya atap yang tersambung dengan jaringan PLN (grid-tief) lebih dari dua kali lipat dalam enam bulan. Selain itu, pemasangan surya atap juga banyak dilakukan di gedung perkantoran, bangunan komersial dan perumahan yang dikembangkan oleh developer.
Penggunaan surya atap memberikan angin segar bagi para pengguna listrik konvensional mengidamkan energi listrik yang lebih ramah lingkungan. Meskipun demikian penggunaan teknologi ini tidaklah murah. Pemasangan instalasi panel surya atap dapat memakan biaya sekitar Rp 40 juta untuk satu rumah dengan kapasitas dua kilo Watt peak. Layaknya investasi, penggunaan panel surya atap ini dapat menjadi solusi jangka panjang dalam pemenuhan kebutuhan listrik di rumah maupun bangunan lainnya. Penggunaan panel surya atap ini dapat menekan biaya tagihan listrik hingga 50 persen.
Penggunaan listrik dengan panel surya atap dapat digunakan hingga sore hari lalu kemudian dapat dilanjutkan dengan listrik PLN pada malam harinya. Menurut Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementrian ESDM, Noor Arifin Muhammad, dengan perawatan rutin yaitu dengan cara dibersihkan setiap tiga bulan sekali panel surya dapat digunakan hingga 20 tahun. Dalam wawancara bersama Antara, Noor juga menambahkan bahwa dengan penghematan 50 persen dari iuran listrik per bulan, pengguna panel surya atap sudah mendapatkan return of investment (ROI) atas investasinya dalam waktu kurang lebih tiga tahun.
Namun, pemanfaatan listrik dengan surya atap tidak dibarengi dengan regulasi yang memadai. Bahkan, terdapat sebuah peraturan menteri ESDM Nomor 1/2017 yang justru menghambat penggunaan listrik yang menggunakan surya atap khususnya pada bangunan komersial, industri dan fasilitas publik. Peraturan tersebut memungkinkan adanya biaya yang dibebankan kepada pemilik gedung dan pabrik serta kawasan industri yang telah memasang instalasi surya atap kepada PLN sebagai biaya kapasitas. Kementrian ESDM perlu untuk membuat regulasi yang mendukung penggunaan teknologi surya atap karena teknologi ini telah terbukti memiliki keunggulan lain, di sejumlah Negara yang menggunakan energi listrik surya dapat menekan biaya produksi listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga uap.