Melalui pasar karbon, Indonesia dapat memperoleh penghasilan hingga ribuan triliun rupiah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus menghemat biaya penanganan emisi.
KOAKSI INDONESIA—Pasar karbon secara sederhana dapat didefinisikan sebagai jual beli kredit karbon (carbon credit). Jadi, yang diperjualbelikan bukanlah karbon penghasil emisi gas rumah kaca (GRK). Namun, upaya untuk menurunkan emisi GRK yang dinyatakan dalam bentuk kredit. Satu unit kredit karbon setara dengan 1 ton karbon dioksida penurunan emisi.
Dalam jual beli ini, penjual bisa merupakan badan usaha yang bergerak dalam proyek-proyek hijau atau perusahaan yang menghasilkan emisi di bawah ambang batas yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sementara badan usaha yang menjadi pembeli adalah yang mengeluarkan emisi melebihi standar yang telah ditetapkan.
Konsep perdagangan karbon pertama kali diajukan dalam Protokol Kyoto 1997. Sesuai dengan namanya, Protokol Kyoto 1997 merupakan komitmen global yang berkekuatan hukum untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang diadopsi berbagai negara pada 1997 di Kyoto, Jepang.
Mekanisme Perdagangan Karbon
Dilansir dari kajian Indonesia Business Council 2023 (IBC), ada dua mekanisme perdagangan karbon di Indonesia, yaitu Pasar Karbon Sukarela (Voluntary Carbon Market [VCM]) dan Pasar Karbon Wajib (Compliance Carbon Market [CCM]). Mekanisme Pasar Karbon Sukarela (PKS) lebih dulu dilakukan Indonesia daripada Pasar Karbon Wajib (PKW).
Dalam PKS, badan usaha atau organisasi secara sukarela melakukan pembelian kredit karbon yang berasal dari proyek-proyek yang mencegah emisi karbon dioksida (CO2), mengurangi emisi, dan menghilangkan emisi untuk mengimbangi sebagian atau seluruh emisi yang dihasilkan organisasi itu. Sukarela berarti organisasi yang melakukan PKS ingin berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim. Proyek Katingan Mentaya pada 2010 menjadi pionir PKS diikuti beberapa proyek lain, seperti Pertamina Geotermal, Platform Pasar Karbon ICDX Indonesia, Clean Development Mechanism, dan Joint Credit Mechanism.
Berbeda dengan PKS. PKW merupakan pasar karbon yang dijalankan berdasarkan kebijakan pemerintah. Kredit karbon yang diperjualbelikan di sini berupa izin emisi karbon yang ditetapkan pemerintah. Salah satu bentuk PKW adalah sistem perdagangan emisi (emissions trading system [ETS]).
Dengan kata lain, perusahaan atau organisasi yang terlibat dalam PKW merupakan perusahaan yang “wajib lapor” emisi karena aktivitas usaha mereka memengaruhi emisi negara ini dalam mencapai Nationally Determined Contributions (NDC)-nya.
NDC merupakan komitmen iklim setiap negara yang telah meratifikasi Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi GRK, sehingga kenaikan suhu tidak melebihi 1,5°C.
PKW baru dilakukan setahun terakhir. Dimulai Februari 2023 untuk sektor pembangkit tenaga listrik. Kemudian, pada 26 September 2023 Presiden Jokowi secara resmi meluncurkan Bursa Karbon Indonesia.
Prospek Bursa Karbon
Pasar karbon tertua dan terbesar di dunia, yaitu Uni Eropa (UE) menerapkan sistem perdagangan emisi (ETS) sejak 2005. Perdagangan itu mencakup sekitar 40% emisi yang dihasilkan UE. Emisi itu berasal dari 10.000 instalasi di sektor energi dan industri manufaktur serta pengoperasian pesawat dalam Kawasan UE maupun yang terbang menuju Swiss dan Inggris. Pada 2024, perdagangan emisi diperluas hingga mencakup emisi dari transportasi laut. Dengan menjalankan ETS, UE telah menghasilkan pendapatan lebih dari 152 miliar Euro sejak 2013.
Pasar karbon Indonesia pun dapat menjadi pemain penting di dunia karena memiliki penyimpan dan penyerap karbon yang besar.
Sebagai negara dengan keunikan biodiversitas yang tinggi, Indonesia memiliki kapasitas menyerap dan menyimpan karbon dioksida dari atmosfer penyebab emisi GRK hingga 80%. Penyimpan dan penyerap karbon Indonesia adalah 3,31 juta hektar hutan mangrove yang dapat menyimpan 20% kredit karbon global (setara 33 Gt karbon), lahan gambut yang menyimpan 37% kredit karbon global (setara 55 Gt), dan 125,9 juta hektar hutan hujan yang menyimpan 25,18 Gt karbon.
Baca Juga: Yuk, Kenali Blue Carbon di Hari Laut Sedunia! Superhero yang membuat Bumi Sehat Berseri
Kajian IBC menyatakan beberapa proyeksi pendapatan pasar karbon Indonesia. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, pendapatan pasar karbon bisa mencapai Rp8.000 triliun dengan nilai kredit karbon 5 dolar Amerika Serikat per ton CO2. Sementara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi memproyeksikan pendapatan pasar karbon mencapai Rp3.000 triliun. Sekalipun proyeksinya berbeda, pendapatan dengan nilai sebesar itu menunjukkan bahwa pasar karbon menjadi elemen penting dalam perekonomian Indonesia.
William Sabandar, COO IBC, saat diwawancarai CNBC Indonesia menyatakan, potensi ekonomi karbon kita bisa mencapai Rp160 ribu triliun, dua puluh kali lebih besar daripada saat ini yang senilai Rp8.000 triliun. Hanya, kita perlu lebih aktif bermain dalam diplomasi internasional untuk memastikan kebijakan dunia internasional dapat diimplementasikan di dalam negeri.
Selain itu, institusi pasar karbon harus benar-benar didorong. Caranya dengan perbaikan tata kelola, membuat pasar kita menarik bagi pasar-pasar di sekitar negara kita dalam mekanisme Asia Tenggara atau Asia, sehingga kita dapat meningkatkan harga karbon kita yang tadinya 2 dolar menjadi 5 kemudian menjadi 50 bahkan 100 dolar per ton. Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Menurut William, salah satu inisiatif besar untuk mencapai target itu adalah bursa karbon.
Bursa karbon sebagai salah satu elemen penting untuk mengakses pendanaan iklim internasional. Pendanaan iklim internasional saat ini sangat besar. Namun, Indonesia belum mengaksesnya secara maksimal. Padahal, untuk mencapai target penurunan emisi GRK dalam NDC sebesar 31,89% atas usaha sendiri dan sebesar 43,20% dengan dukungan internasional pada 2030, kita harus berpartisipasi dalam pendanaan iklim global.
Selain mendorong pertumbuhan ekonomi, bursa karbon memiliki prospek untuk penurunan emisi yang hemat biaya. Kajian IBC menunjukkan penerapan mekanisme penyeimbangan pasar karbon (carbon offsetting) bernilai USD 6,5/ton CO2e. Nilai ini jauh lebih murah dibandingkan penerapan teknologi penangkapan karbon (carbon capture technology) senilai USD 92,5/ton CO2e. Carbon Offsetting dapat diakses melalui bursa karbon.
Tantangan Bursa Karbon
Menurut William, ada dua tantangan untuk mengembangkan bursa karbon, yaitu tantangan jangka pendek (infrastructure challenge) dan tantangan jangka panjang (systemic challenge). Tantangan jangka panjang membutuhkan waktu lebih lama karena memerlukan lembaga ekonomi iklim yang kuat, koordinasi dengan pemerintah, dan peta jalan bursa karbon yang sampai saat ini belum ada.
Tantangan dalam jangka pendek adalah bagaimana menyiapkan berbagai instrumen. Pertama, kementerian yang terkait dengan sektor energi, transportasi, dan kehutanan perlu menyiapkan batas atas emisi karena perdagangan karbon menggunakan emission trading system (ETS). Kedua, mempersiapkan sistem registri nasional (SRN) sebelum masuk ke bursa karbon. Sistem registri ini ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Semua ini harus bersinergi, sehingga proses bursa karbon menjadi kredibel.
Baca Juga: Indonesia’s Newly-Launched Carbon Exchange: Reigniting Climate Commitments?
Senada dengan William, Periset di Yayasan Indonesia Cerah Mahawira Dillon dalam Katadata menyatakan ada dua hal yang perlu dicermati berkaitan dengan bursa karbon. Pertama, implementasi pembatasan emisi sektoral di Indonesia belum dijalankan dengan jelas dan konsisten. Kedua, transparansi dan integritas proses SRN untuk menjaga kepercayaan pasar pada kualitas kredit karbon yang diperjualbelikan di bursa karbon.
Untuk mengatasi tantangan ini, IBC memberikan rekomendasi jangka pendek, menengah, dan panjang secara lengkap dalam kajiannya yang berjudul Preparing an Innovative and Globally Competitive Carbon Market in Indonesia: Strategic Actions towards an Impactful Carbon Market. Kajian ini merupakan kolaborasi dengan berbagai mitra, yaitu Koaksi Indonesia, LPEM FEB UI, Landscape Indonesia, dan Dentons HPRP.